Selasa, 16 November 2010

TAFSIR III.Bag 2

DR. H. Hasan Basri, MA

MATERI TAFSIR III: PUASA RAMADHAN
Bagian 2


B. HUKUM PUASA
[Al-Baqarah: 183-187]

Sabab al-Nuzul

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mu’adz bin jabal, dia mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah tiba di Madinah maka beliau berpuasa pada hari ‘Asyura (tanggal 10 bulan Muharram) dan tiga hari setiap bulan; kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadhan, maka turunlah surat al-Baqarah ayat 183-185.”


Kajian Ayat:

• Al-Baqarah: 183

Kewajiban Puasa Ramadhan, Sejarahnya, dan Tujuan Puasa

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Ayat ini mengandung pengukuhan tentang kewajiban ibadah puasa di bulan Ramadhan, sekaligus memberi dorongan untuk melaksanakannya, di samping memberi hiburan kepada orang-orang yang ikhlas menjalankannya. Memang ibadah puasa itu berat dan banyak godaannya, apalagi menyangkut persoalan makan, minum, dan hubungan seksual. Sesuatu yang berat jika diwajibkan kepada orang beriman, maka akan menjadi ringan dan mudah melaksanakannya karena didorong oleh iman dan niat yang ikhlas. Oleh sebab itu, kewajiban berpuasa dikhususkan untuk orang-orang yang beriman saja; tidak kepada kelompok lain.

Kata “kutiba” dalam ayat di atas bermakna “wujiba” atau “furidha” artinya diwajibkan. Karena itu, meninggalkan ibadah puasa dengan sengaja, tanpa alas an yang dibenarkan syara’, adalah berdosa besar dan termasuk kedalam kelompok kafir. Untuk menyadarkan manusia dalam melaksanakan ibadah puasa, Allah menjelaskan bahwa kewajiban puasa itu sudah pernah diberlakukan kepada umat-umat terdahulu, seperti umat Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Zakariya, Nabi Dawud, Nabi Musa, dan Nabi Isa. Ini sebagai motivasi bagi umat Nabi Muhammad agar tidak mengabaikan perintah puasa tersebut.

Kata “al-shiyam” bermakna “al-imsak” yaitu mengekang atau menahan diri dari melakukan sesuatu. Menurut istilah syara’, “shiyam” berarti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan seksual sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan mengharapkan pahala dan pengampunan dari Allah. Puasa merupakan salah satu pilar Islam yang amat penting, yang diwajibkan setahun sekali setiap bulan Ramadhan. Dalam pelaksnaannya puasa wajib dapat dibagi tiga:

1) Puasa Ramadhan
2) Puasa Kaffarat
3) Puasa Nadzar

Selanjutnya, Allah menegaskan bahwa tujuan akhir dari ibadah puasa itu adalah diharapkan orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa dapat mencapai derajat taqwa. Derajat taqwa merupakan posisi ideal bagi seorang mukmin untuk dapat meraih tiket ke surga, karena Allah memberikan peluang masuk surga kepada orang-orang bertaqwa (muttaqin). Bahkan, untuk orang beriman diperintahkan untuk berlomba-lomba menuju surga yang disiapkan Allah untuk orang-orang bertawa, seperti tertera dalam surat Ali Imran ayat 133.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Bersegeralah menuju kepada pengampunan dari Allah dan meraih surga-Nya seluas langit dan bumi yang disiapkan untuk orang-orang bertaqwa.”

• Al-Baqarah: 184

Ketentuan Hari Puasa, Dispensai Puasa, dan Cara Membayar Fidyah

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Puasa sudah ditetapkan hari-harinya, yaitu selama satu bulan dalam bulan Ramadhan, yang jumlah harinya secara normal 30 hari; namun, dalam pelaksanaan puasa mungkin saja terjadi 29 hari, tidak selamanya persis 30 hari. Pada hari-hari yang sudah ditentukan itulah ibadah puasa dilaksanakan. Namun, Allah memberi keringanan bagi orang-orang yang tidak sanggup berpuasa karena sakit kronis, ketuaan, lemah atau wanita yang sedang hamil dan menyusui bayi, maka bagi mereka dibolehkan menggantikan puasanya dengan membayar fidyah (tebusan sebagai ganti puasa). Fidyah diberikan dalam bentuk makanan siap saji setiap hari sekurang-kurangnya satu orang miskin. Namun, memberi lebih dari yang dianjurkan lebih baik dan dilipatgandakan pahala. Pemberian fidyah lebih dari yang diperintahkan, dalam ayat di atas, disebut tathawwu’. Tetapi, Allah tidak menghalangi hamba-Nya untuk lebih memilih berpuasa karena kebaikan dan hikmah yang dikandungnya, itu adalah lebih baik.

• Al-Baqarah: 185

Sejarah Turun dan Fungsi Al-Qur’an, Awal dan Akhir Puasa

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Ayat di atas menjelaskan tentang permulaan diturunkan al-Qur’an, yaitu dalam bulan Ramadhan. Bahkan, kitab-lain pun diturunkan dalam bulan Ramadhan. Allah memilih bulan Ramadhan sebagai bulan diturunkan wahyu kepada para Rasul-Nya karena bulan itu memiliki keistimewaan dan keberkatan, yang tidak ada dalam bulan-bulan lain. Bahkan, dalam surat al-Qadr disebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam al-Qadr (malam penentuan yang penuh keberkatan dan kasih saying). Kemudian Allah menegaskan fungsi al-Qur’an dalam kehidupan, yakni sebagai pedoman atau petunjuk bagi seluruh manusia (hudan li al-nas), penjelasan tentang pedoman hidup (bayyinat min al-huda), dan sebagai pembeda (al-furqan) antara yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram, antara keadilan dan kezaliman, antara jalan terang dan kegelapan, antara ketaatan dan keingkaran, dan antara tauhid dan syirik.

Selanjutnya, Allah menerangkan tentang saat mulai puasa yaitu ketika tampak bulan sabit (hilal) sebagai tanda awal masuk bulan Ramadhan. Cara melihat bulan ini kemudian dijelaskan dalam hadits Rasulullah:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإغم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما.

Puasalah ketika melihat bulan (hilal) dan berhari rayalah ketika melihat bulan, jika bulan tertutupi awan (mendung), maka genapkan jumlah hari dalam bulan Sya’ban menjadi 30 hari. (HR. Bukhari dan Muslim)

تراءى الناس هلال فأخبرت رسول الله صلعم أني رأيته فصام وأمر الناس بصيامه.

Sekolompok orang saling melihat hilal, maka aku (Ibnu ‘Umar) memberitahukannya kepada Rasulullah, bahwa aku sudah melihat hilal, maka beliau memulai puasa dan menyuruh manusia untuk melaksanakan ibadah puasa (HR. Abu Dawud, Hakim, dan Ibnu Hibban).

Penentuan awal bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan tiga cara:

1) Ru’yat al-Hilal (melihat langsung bulan sabit baik dengan mata telanjang maupun menggunakan teropong)
2) Istikmal (menggenapkan jumlah hari dalam bulan Sya’ban, dari 29 hari menjadi 30 hari)
3) Hisab (menghitung dengan rumus matematika atau ilmu falak/astronomi berdasarkan perjalanan matahari/solar system).


وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ maksudnya, Allah tidak memaksa hamba-Nya untuk melaksanakan ibadah puasa. Ibadah puasa ini sangat kondisional, disesuaikan dengan tingkat kemampuan seseorang; jika dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (musafir), maka tidak usah berpuasa. Untuk kelompok ini diperintahkan untuk meng-qadha (membayar puasanya) di hari yang lain.

َ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ adanya keringanan bagi orang sakit dan musafir membuktikan bahwa Allah amat belas kasihan terhadap hamba-Nya. Meskipun ibadah puasa hukumnya wajib, Allah tetap memberikan keringanan (rukhshah) kepada hamba-Nya sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk meninggalkan kewajiban. Dan sekaligus membuktikan bahwa ajaran Islam sangat fleksibel, tidak kaku, dan mudah dilaksanakan, karena memang Allah tidak ingin agama Islam memberatkan manusia.

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ pada bagian akhir ayat ini, Allah menyuruh setiap orang berpuasa agar menyempurnakan puasanya sampai sebulan penuh. Kemudian, setelah selesai melaksanakannya dengan baik, sebagai rasa syukur kepada-Nya, Allah memerintahkan agar memperbanyak takbir sambil merayakan ‘Idul Fithri. Inilah puncak kemenangan yang dianjurkan untuk merayakannya sebagai pertanda orang beriman telah mampu mengalahkan syaitan dan menundukkan hawa nafsunya. Dengan demikian, Allah akan menambah hidayah-Nya kepada para hamba-Nya yang bersyukur.

Dari kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan ibadah puasa, ada tiga golongan manusia, tergantung pada tingkat kemampuan masing-masing:

1) Orang yang muqim (menetap di tempat), sehat dan mampu melakukan ibadah puasa, tanpa ada kesulitan (masyaqqah). Bagi kelompok ini wajib berpuasa dan kalau meninggalkannya merupakan dosa besar.
2) Orang sakit, musafir, wanita haidh, dan nifas dibolehkan bagi kelompok ini untuk tidak berpuasa tetapi wajib membayar puasanya (qadha’) pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkannya.
3) Orang yang tidak sanggup berpuasa karena ‘uzur, ketuaan, sakit yang menahun, wanita hamil, ibu yang menyusui bayi, dan pekerja berat maka bagi kelompok ini dibolehkan tidak berpuasa, tetapi harus membayar fidyah sebagai gantinya dan tidak wajib meng-qadha-nya.


• Al-Baqarah: 186

Cara Berdo’a dan Syarat Diterima Do’a

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Sabab al-Nuzul

Ayat 186 di atas diturunkan berkenaan dengan do’a kaum Muslimin dalam perang Khaibar di mana mereka berdo’a dengan suara keras dan kencang, tiba-tiba Rasulullah mendengar suara keras itu, maka beliau langsung menegur mereka agar mengendalikan dan merendahkan suara dalam memohon kepada Allah, dengan sabdanya:

أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم.

Wahai manusia, kendalikan dirimu karena sesungguhnya kamu tidak meminta kepada yang pekak (tuli) dan tidak pula kepada yang jauh, sesungguhnya kamu sedang memohon kepada Allah yang maha mendengar, dan Dia ada bersamamu.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah sangat dekat dengan hamba-Nya dan mengabulkan permohonan atau do’a hamba-hamba-Nya dengan syarat: pertama, melaksanakan segala perintah-Nya; dan kedua, memantapkan iman kepada-Nya, yaitu tidak berbuat syirik. Karena, orang berbuat syirik tidak dikabulkan do’anya oleh Allah; dan syirik itu adalah dosa paling besar yang sulit diampuni (lihat surat al-Nisa’ ayat 48 dan 116). Orang yang mau mengikuti petunjuk Allah dan Rasulullah dalam berdo’a maka dia akan mendapat bimbingan dan petunjuk dalam kehidupannya. Ayat ini menegaskan bahwa cara berdo’a kepada Allah tidak mengeraskan suara, tetapi dengan suara pelan atau rendah dengan penuh pemahaman dan penghayatan. Ayat ini ada korelasi (munasabah) dengan ayat 55-56 dalam surat al-A’raf:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ. وَلاَتُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ.

Kedua ayat tersebut menegaskan bahwa cara berdo’a harus dengan sikap tadharru’ (penuh ketaatan dan ketundukan) dan khufyah (merasa hina di depan Allah dan merendahkan suara). Kemudian, dijelaskan lagi bahwa ketika berdo’a harus ada perasaan khauf (perasaan takut akan azab Allah di akhirat) dan thama’ (optimistik atau yakin akan dikabulkan oleh Allah). Dengan kata lain dalam berdo’a, seorang hamba harus khusyu’ (serius dan konsentrasi) dan khudhu’ (khidmat dan tenang). Pada hakikatnya, do’a adalah munajat artinya berbisik-bisik dengan Allah sambil mengadu dan mengharap kasih sayang dan pengampunan dari-Nya; dan meyakini bahwa Allah sangat dekat. Sehubungan dengan ini, Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَاتُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat dengannya, bahkan lebih dekat daripada urat lehernya (QS. Qaf: 16).

• Al-Baqarah: 187

Hukum Menggauli Isteri, Batas Waktu Makan Sahur, dan I’tikaf

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ



Sabab al-Nuzul

Imam Ahmad, Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang diterima dari Mu’adz bin Jabal, yang menceritakan bahwa para sahabat Rasulullah menganggap bahwa makan, minum dan menggauli isteri pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara sebelum mereka tidur. Di antara mereka adalah Qa`is ibn Sharimah dan ‘Umar ibn Khattab merasa lelah setelah bekerja pada siang harinya. Setelah shalat Isya’ ia tertidur sebelum sempat makan dan minum hingga pagi. Sementara ‘Umar ibn Khattab menggauli isterinya menjelang tidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap Rasulullah seraya melaporkan peristiwa tersebut, maka turunlah ayat 187 al-Baqarah.

Kajian Ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ dihalalkan bagi kamu untuk melakukan hubungan seksual dengan isterimu di waktu malam bulan Ramadhan; tetapi dilarang melakukan hubungan itu di siang hari. Dengan turunnya ayat ini, para sahabat tidak merasa ragu lagu tentang pembolehan menggauli isteri pada malam hari. Pada awalnya mereka ragu untuk melakukan hubungan suami-isteri karena khawatir dikenakan sanksi hokum harus membayar kaffarat. Ternyata larangan melakukan hubungan seksual dengan isteri itu hanya di siang hari hari saja, sedangkan di malam hari dihalalkan.

هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ Allah telah memberi kemurahan kepadamu dengan dibolehkannya menggauli isteri (jima’) pada waktu malam bulan Ramadhan. Hal ini karena hubungan antara suami dan isteri telah menyatu sehingga sulit dipisahkan antara satu dengana yang lain, ibarat pakaian di badan. Fakhr al-Razi dalam kitabnya, al-Tafsir al-Kabir dengan sangat indah menggambarkan hubungan suami-isteri ibarat pakaian pada tubuh.

لما كان الرجل والمرأة يعتنقان فيضم كل واحد منهما جسمه إلى جسم صاحبه حتى يصير كل واحد منهما لصاحبه كالثوب الذي يلبسه سمي كل واحد منهما لباسا.

Begitulah ilustrasi hubungan suami dan isteri yang diberikan kesempatan oleh Allah untuk mencurahkan perasaan cinta, kasih sayang, dan kerinduan sebagai bagian dari anugerah Allah yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa berpuasa itu hanya sekedar mengendalikan syahwat di siang hari, bukan menghilangkannya, dan menggunakannya pada tempat yang dihalalkan oleh Allah. Syahwat yang digunakan pada tempat yang halal menjadi sedekah dan dibrikan pahala oleh Allah.

عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ Allah mengetahui bahwa kamu telah mengkhianati dirimu sendiri karena tidak melakukan sesuatu yang dihalalkan Allah untukmu, yaitu menggauli (jima’) isterimu. Tetapi setelah Allah menjelaskan hukumnya, maka kamu dapat menikmatinya sebagaimana yang diperintahkan.

فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ Allah sudah menerima tobatmu dengan memberikan pengampunan atas pengkhianatan yang pernah kamu lakukan untuk dirimu sendiri, yaitu mengharamkan dirimu dari menggauli isterimu di malam bulan Ramadhan. Sekarang, Allah telah menghalalkannya untukmu dengan turunnya wahyu sebagai penegasan status hukum yang pasti, tanpa keraguan lagi. Maka gaulilah isteri-isterimu sembari menjaga dan memelihara aturan-aturan hokum yang telah ditetapkan Allah.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ dibolehkan untukmu makan, minum, dan menggauli isteri sepanjang malam bulan Ramadhan sampai batas tampak sinar atau terbit fajar. Ayat ini menerangkan batas akhir makan sahur, yaitu sampai terbit fajar atau masuk waktu shubuh, yang diistilahkan dengan “tampak benang putih dari benang hitam.” Dalam praktinya, pada masa Rasulullah, para sahabat diperintahkan makan sahur ketika mendengar lantunan suara azan pertama shubuh oleh Bilal bin Rabah; dan mereka berhenti makan ketika mendengar lantunan azan shubuh yang kedua, oleh Abdullah bin Ummi Maktum.

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ masuknya waktu malam atau terbenam matahari di ufuk barat menandakan saat berbuka puasa (ifthar). Oleh sebab itu, puasa disuruh sempurnakan sampai masuk waktu malam, yaitu waktu maghrib yang ditandai dengan azan Maghrib.

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ tidak boleh melakukan hubungan suami-isteri pada saat kegiatan i’tikaf di masjid berklangsung. I’tikaf adalah kegiatan sacral yang dilakukan oleh orang beriman dengan menetap di dalam masjid dalam keadaan suci dari hadats dan najis dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, tidak pantas bagi suami-isteri melakukan hubungan seksual pada saat i’tikaf tersebut. Inilah batasan yang digariskan oleh Allah agar tidak dilanggar.

تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ segala aturan hukum (hudud) yang telah ditetapkan itu wajib ditaati dan tidak boleh ingkari karena mematuhi batasan-batasan yang telah ditetapkan Allah merupakan bagian dari pancaran iman dan ketaatan kepada perintah Allah. Maka, barangsiapa mentaati hukum Allah maka dia akan mencapai derajat taqwa seperti yang diharapkan oleh Allah pada bagian akhir ayat ini. Sebab itulah Allah mewajibkan ibadah puasa kepada hamba-Nya yang sudah beriman, karena orang beriman itulah yang mampu melaksanakan hukum-hukum-Nya.

Hikmah Puasa Ramadhan

1) Puasa mendidik manusia agar ikhlas dalam beramal atau menjalankan perintah Allah.
2) Puasa dapat mendidik manusia supaya berlaku jujur dalam melaksanakan amanah.
3) Puasa menjadikan manusia hidup seimbang dan adil antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, jasmani dan ruhani dan menjauhkan manusia dari sifat rakus (tamak).
4) Puasa membiasakan seseorang untuk takut melanggar hukum-hukum Allah baik dalam keadaan sunyi maupun ramai, sendirian maupun bersama orang banyak.
5) Puasa dapat mengendalikan gejolak syahwat dan dapat menjadikan jiwa seseorang tenang dalam menyikapi dan menghadapi berbagai persoalan hidup.
6) Puasa dapat melatih diri orang beriman untuk memupuk rasa kasih sayang kepada sesama manusia.
7) Puasa dapat menciptakan persamaan sosial (musawah ijtima’iyyah) di dalam masyarakat, sehingga tidak ada perbedaan status antara orang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, semua berkedudukan sama di depan Allah, yang membedakannya adalah nilai taqwa.
8) Puasa mendidik kedisiplinan dalam melaksanakan syari’at atau hukum Allah.
9) Puasa dapat membuat manusia sehat jiwa dan raga serta menormalkan fungsi anatomi dan metabolisme tubuh.
10) Puasa dapat mendidik manusia menjadi hamba Allah yang sabar, karena puasa adalah separuh kesabaran (al-shiyami nishfu al-shabr).


• Maryam: 26
Puasa Nadzar


فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنَا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا

Ayat di atas menjelaskan tentang puasa nadzar yang dilakukan oleh Maryam (ibunda Nabi Isa). Cara Maryam berpuasa antara lain, tidak berbicara dengan siapa pun di antara manusia. Dalam hal ini Maryam diuji untuk mampu bersabar agar tidak menanggapi fitnah yang dilontarkan kepadanya. Dan Maryam dilatih untuk bersabar terhadap cemoohan manusia terhadap dirinya, tanpa membalas dengan caci maki. Karena kesabaran dan ketaatannya, akhirnya Maryam tergolong ke dalam kelompok al-Qanitat (perempuan yang sangat taat) kepada Allah.


• An-Nisa’: 92

Puasa Kaffarat

وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلاَّ خَطَئًا وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةُُ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنُُ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقُُ فَدِيَةُُ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللهِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Ayat di atas menerangkan tentang puasa kaffarat atau diyat sebagai tebusan terhadap dosa membunuh orang lain. Sebagai salah satu sanksi bagi si pembunuh agar diterima tobatnya, maka diperintahkan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dengan melaksanakan puasa kaffarat ini, si pembunuh dinilai sudah bertobat kepada Allah atas dosa dan kesalahannya.



• Al-Ahzab: 35

Laki-Laki dan Perempuan yang Berpuasa

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Ayat di atas menjelaskan tentang kelompok orang beriman yang memiliki derajat yang sama di sisi Allah karena amal-amal mereka. Salah satu amal yang sangat penting adalah melaksanakan ibadah puasa. Maka, orang yang berpuasa baik dari kalangan orang laki-laki maupun perempuan, maka Allah akan memberikan pengampunan dan pahala yang besar kepada mereka.

• Al-Maidah: 89

Puasa sebagai Kaffarat Sumpah

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ اْلأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُم ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Surat al-Maiad ayat 89 menjelaskan tentang tiga opsi untuk kaffarat sumpah. Orang yang melanggar sumpahnya, maka diwajibkan membayar kaffarat (tebusan) dengan tiga opsi:

1) Memerdekakan seorang budak.
2) Memberi makanan atau pakaian kepada 10 orang miskin.
3) Melaksanakan puasa selama 3 hari.

Jadi, puasa selama tiga hari sebagai opsi terakhir bagi orang yang melanggar sumpahnya, jika opsi lain tidak mampu dipenuhi.








• Al-Baqarah: 196

Puasa sebagai Denda Haji Tamattu’

ٍ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدِْي فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Ayat di atas menerangkan tentang denda yang harus dibayar oleh orang yang melaksanakan haji tamattu’, yaitu menyembelih hewan berupa seekor kambing atau kibasy. Jika tidak mampu menyembelih hewan, maka dibolehkan berpuasa selama 10 hari dengan perincian:

1) 3 hari di musim haji di Makkah.
2) 7 hari ketika sudah kembali ke tanah airnya.

Puasa ini sebagai hadyu atau kaffarat yang wajib dilaksanakan sebagai denda karena melaksanakan haji dengan metode tamattu’ (haji yang menyenangkan) karena dalam haji ini banyak kemudahan, sehingga pada umumnya jama’ah haji dari Indonesia melaksanakan ibadah haji dengan metode tamattu’ ini. ◙ HB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar