Minggu, 14 November 2010

KAJIAN SURAT AL-FURQAN 1-16


KAJIAN SURAH AL-FURQAN AYAT 1 – 16

Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA



Surah al-Furqan terletak pada urutan ke-25 dalam susunan mushaf al-Qur’an; dan terdiri dari 77 ayat. Surah ini termasuk Makkiyyah, yaitu surah yang diturunkan di Mekah sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Penamaan surah al-Furqan diambil dari kata “al-Furqan” yang terdapat dalam ayat pertama surah ini. Al-Furqan artinya “pembeda” karena dalam surah ini dijelaskan perbedaan antara yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram, yang haq dan yang batil, ketauhidan dan kemusyrikan, kenikmatan surga dan siksaan api neraka, perbedaan antara kehidupan dan kematian, dan perbedaan antara Allah dan makhluk-Nya.
            Pokok-pokok isi kandungan surah ini meliputi keimanan, hukum, kisah, dan peringatan. Surah ini menegaskan kembali tentang kekuasaan Allah, fungsi al-qur’an sebagai pemberi peringatan ke seantero dunia, keluasaan ilmu Allah, tugas kerasulan Muhammad, peristiwa yang bakal terjadi menjelang hari Kiamat, dan sikap hamba Allah yang mulia. Selain itu, surah ini juga mengingatkan kita agar tidak mengabaikan al-Qur’an, tidak bersedekah secara boros, tidak membunuh dan berzina, kewajiban membasmi kekafiran, dan tidak menggunakan kesaksian palsu. Mengenai kisah, dalam surah ini diceritakan tentang kisah Nabi Musa AS, kaum Tsamut, kaum Nabi Nuh AS dan kaum Nabi Syu’aib AS.
            Metode kajian surah ini tidak berbeda dari kajian yang lalu, yaitu mengelompokkan ayat ke dalam topik-topik yang relevan kemudian menafsirkanya; jika ada hubungan dengan ayat-ayat lain, maka disebutkan nama dan nomor surat dan ayatnya. Tentu saja, secara keseluruhan, dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an diperlukan motivasi dan niat yang ikhlas agar cahaya Allah dapat menembus relung hati  kita. Maka, secara bertahap kajian secara mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur’an diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

  • Membaca ayat demi ayat secara tartil, fasih dan sesuai dengan ilmu qira’ah dan atau ilmu tajwid.
  • Memahami arti kata per kata dan makna secara utuh setiap ayat yang dibaca.
  • Mengetahui sebab-sebab turun ayat (asbabun nuzul), jika ayat tersebut ada latar belakang turunnya.
  • Menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan mengkaji maksud yang terkandung di dalamnya.
  • Mencari korelasi ayat yang sedang dibahas dengan ayat yang lain.
  • Mencari hadits-hadist Rasulullah untuk mendapatkan keterangan atau penjelasan yang lebih detil tentang ayat yang dibahas.
  • Menghayati dan meresapi makna, hikmah, hukum atau pesan-pesan (mau’idhah) yang terkandung di dalamnya.
  • Mengamalkan pesan-pesan ayat al-Qur’an dalam kehidupan individu, keluarga, dan kehidupan sosial.

Kalau kedelapan langkah di atas dapat kita terapkan dalam mengkaji al-Qur’an, maka kita akan mampu meraih predikat insan Qur’ani, yaitu manusia yang menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman, sistem, dan hukum dalam setiap aspek kehidupan.
            Dari rangkaian ayat 1 sampai 16 dibagi ke dalam empat topik utama, yaitu: pesan universal al-Qur’an, al-Qur’an bukan dongeng, Nabi Muhammad SAW manusia biasa. Keempat topik ini diklasifikasikan ke dalam empat kelompok ayat yang mempunyai relevansi makna antara satu dengan yang lain.

Pesan Universal al-Qur’an [Ayat 1-3]

            Surah al-Furqan dimulai dengan kata tabaraka yang artinya sama dengan subhana atau taqaddasa, yaitu “suci”. Pengertian suci di sini berkaitan dengan sifat-sifat Allah yang maha sempurna dan mulia serta terbebas dari segala sifat kekurangan; dan tidak ada sedikit pun cacat. Makna lain dari tabaraka ialah meminta keberkatan dan hikmah agar mendapat ketengangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Ini berarti al-Qur’an mengandung banyak hikmah dan keberkatan karena ia adalah kalam Allah. Jadi, apa saja yang difirmankan Allah, berupa kumpulan ayat dan surah yang terhimpun dalam mushaf al-Qur’an, merupakan kebaikan yang mendatangkan pahala dan rahmat bagi setiap orang yang membacanya. Ketika seorang manusia melantunkan ayat-ayat Allah, pada saat yang sama ia melakukan dialog dengan Allah. Tentu saja Allah membuka pintu dialog setiap saat bagi siapa saja yang berdialog dengan-Nya. Maka, begitu kita membaca al-Qur’an, Allah mendengar dan memperhatikan apa yang kita baca karena kita sedang mengajak-Nya untuk berbicara. Tidak mungkin Allah lalai atau lupa memperhatikan setiap pembaca al-Qur’an. Selain itu, kata al-Furqan dalam ayat ini adalah nama lain dari al-Qur’an; dengan demikian, al-Furqan adalah al-Qur’an itu sendiri. Dan fungsi al-Furqan adalah untuk memberi peringatan atau pelajaran kepada seluruh umat manusia (lil’alamina nadzira). Oleh karena itu, al-Qur’an tidak dikhususkan untuk umat Islam saja, tetapi ditujukan kepada seluruh umat yang ada di dunia. Maka, barangsiapa mau memperhatikan dan mengimaninya, maka ia akan memperoleh cahaya Allah.
            Ayat 2 menerangkan wujud kekuasaan Allah di langit dan di bumi. Dalam mengatur alam ini, Allah tidak memerlukan bantuan dari siapa pun. Sebab itulah ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam mengatur kerajaan langit dan bumi. Bahkan, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini telah ditetapkan sistem dan hukumnya secara rapi, indah, dan harmonis. Maksudnya, Allah telah menetapkan pola atau ukuran bagi setiap makhluk-Nya. Dan semuanya berjalan menurut kapasitas dan ukurannya masing-masing sehingga tidak terjadi benturan antara satu dengan yang lain. Maka, dalam kehidupan kita dapat merasakan perjalanan waktu dan musim berjalan secara sistematis; demikian juga bulan, matahari, dan bintang gemintang senantiasa mengikuti sunnatullah dengan penuh ketaatan. Semua sistem kehidupan di alam ini berjalan di bawah pengawasan Allah. Ayat ini menyadarkan orang-orang kafir bahwa jika ada tuhan selain Allah, maka akan terjadi disharmonis atau ketidakteraturan dalam sistem kehidupan di alam ini. Karena, kalau tuhan lebih dari satu, maka akan terjadi perbedaan pandangan dan kepentingan dan akan berbeda pula kebijakannya. Maka, dalam surah al-Anbiya’ ayat 22 secara tegas Allah menyatakan: “Sandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, maka akan rusak semuanya …”  Sebab itulah turunnya al-Qur’an, antara lain, untuk menjelaskan kepada manusia bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya.
            Kemudian dalam ayat 3 dijelaskan bahwa kecendrungan orang-orang kafir menjadikan makhluk sebagai tuhan atau sembahan mereka. Maka ayat ini menegaskan bahwa tuhan yang mereka sembah itu tidak sama dengan Allah. Allah mampu menciptakan dari tiada menjadi ada, mampu memberi kemudaratan dan mendatangkan manfaat, mampu menghidupkan dan mematikan. Sedangkan tuhan mereka tidak mampu melakukan semua itu. Kalau memang demikian mengapa mereka tetap berada dalam kekufuran? Ini disebabkan mereka tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan Rasulullah karena hati mereka sudah mengeras seperti batu; bahkan lebih keras daripada batu (al-Baqarah: 74). Di samping itu, mereka terlalu fanatik terhadap tradisi nenek moyang mereka. Karena melestarikan tradisi ini, mereka mengingkari kebenaran yang disampaikan kepada mereka, mungkin menurut pandangan mereka mengikuti tradisi nenek moyang lebih penting daripada menerima pesan-pesan Rasulullah yang berdasarkan wahyu. Padahal Allah telah mengingatkan bahwa nenek moyang atau bapak-bapak mereka tidak mengetahui apa-apa, bahkan mereka hidup dalam kesesatan (al-Baqarah: 170).

Al-Qur’an Bukan Dongeng [Ayat 4-6]

            Ayat 4 memberitakan kepada kita bahwa orang-orang kafir menuduh al-Qur’an adalah kebohongan dan karangan Nabi Muhammad SAW. Padahal sebelumnya Allah sudah mengingatkan mereka bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang ummiy, artinya tidak pandai menulis dan membaca (al-Jumu’ah: 2). Sifat ummiy ini sengaja diberikan kepada Nabi Muhammad SAW agar orang-orang kafir menyadari bahwa al-Qur’an itu bukan karya tulisnya; dan tidak mungkin pula ditulis oleh orang lain. Karena, Allah telah menantang orang-orang kafir untuk membuat satu surah saja semisal al-Qur’an, ternyata mereka tidak mampu membuatnya (al-Baqarah: 23-24). Padahal mereka ahli syair yang pandai merangkai kata secara puitis. Apalagi Nabi Muhammad SAW yang tidak pandai menulis dan membaca, mana mungkin beliau membuat atau menulis al-Qur’an. Karena tuduhan mereka yang sudah melampaui batas, maka Allah menyatakan bahwa mereka termasuk orang-orang yang sangat zalim.           
            Dalam ayat 5 dikemukakan bahwa orang-orang kafir tidak hanya menuduh al-Qur’an sebagai karya Nabi Muhammad SAW tetapi juga mereka mengklaim bahwa al-Qur’an adalah dongeng orang-orang zaman dulu. Nabi Muhammad SAW bersama para pengikutnya membaca dongeng-dongeng itu setiap hari. Inilah tuduhan mereka terhadap al-Qur’an, yang kemudian oleh sebagian orientalis Barat mengatakan dengan nada yang sama, yaitu al-Qur’an hanyalah karangan Nabi Muhammad SAW. Namun, tuduhan mereka dibantah oleh kawan-kawan mereka sendiri. Tuduhan mereka ini tidak dilandasi akal sehat, lebih kepada sentimen dan kebencian mereka kepada Nabi Muhammad SAW dan agama Islam.
            Selanjutnya, ayat 6 menerangkan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada manusia agar manusia dapat mengetahui rahasia langit dan bumi. Ini berarti al-Qur’an dapat berfungsi sebagai kunci pembuka rahasia. Dapat diduga bahwa pada suatu saat nanti ketika manusia sudah memiliki perhatian yang besar terhadap al-Qur’an, dengan mengkaji seluruh pesan-pesannya secara mendalam, maka manusia akan dapat mengungkapkan rahasia di balik alam ini. Ayat ini menantang kita agar terus mengakaji sampai kita mendapat “kunci pembuka rahasia.” Salah satu caranya adalah menguasai ilmu dan teknologi, yang dasar-dasarnya ada dalam al-Qur’an. Kalau sekarang, dengan ilmu dan teknologi, sudah dapat menginjak kakinya di bulan, maka tidak mustahil manusia akan dapat melanjutkan petualangannya ke planet yang lebih tinggi lagi dengan kekuatan ilmu. Motivasi ini terkandung dalam al-Qur’an (al-Rahman: 33).

Nabi Muhammad SAW Manusia Biasa [Ayat 7-10]

                Ayat 7 menginformasikan kepada kita bahwa orang-orang kafir salah paham terhadap pribadi Nabi Muhammad SAW. Mereka menganggap nabi layaknya seorang malaikat yang tidak memerlukan makan dan minum; dan tidak perlu berdagang di pasar-pasar. Bahkan, mereka mengharapkan agar Allah mengutus malaikat saja sebagai pengganti nabi. Ini sebagai alasan saja sebagai dalih keingkaran mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut perkiraan mereka, seorang nabi adalah yang memiliki kecukupan segala fasilitas dan keperluan sehari-hari. Jadi, nabi tidak perlu bekerja mencari nafkah, dan jika perlu memberikan santunan kepada umatnya apa saja yang mereka minta.
            Maka, dalam ayat 8 dijelaskan bahwa mereka mendambakan adanya seorang nabi yang dapat memberikan fasilitas hidup kepada mereka, berupa sandang pangan. Ironisnya, mereka menuduh nabi, karena keterbatasan fasilitas yang beliau miliki, sebagai orang yang sudah terkena sihir. Memang pada kenyataannya nabi menghadapi banyak tantangan dari umatnya. Ayat mengajarkan kita tentang pribadi Nabi Muhammad SAW sebagai manusia biasa yang mempunyai kekurangan dan kelemahan. Untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, beliau harus bekerja mencari nafkah. Sebagai Rasulullah, beliau menjalankan tugas sebagai utusan Allah kepada umat manusia untuk menyampaikan kebenaran. Adapun kesalahpahaman dari pihak kafir merupakan suatu kewajaran karena nabi tidak ingin orang lain memujinya karena beliau juga manusia biasa yang diamanahkan untuk menyampaikan wahyu Allah. Dalam konteks penerimaan wahyu, maka Rasulullah berbeda dari manusia biasa (al-Kahfi: 110).
            Ayat 9 menyatakan bahwa orang-orang yang membuat perbandingan seorang nabi dengan orang yang serba berkecukupan adalah sesat. Kesesatan mereka tidak hanya tuduhan yang mereka lontarkan kepada pribadi nabi, tetapi juga sifat pembangkang mereka terhadap seruannya. Mereka diajak kepada kebenaran, cahaya, hidayah, dan keimanan tetapi mereka menolak. Seakan-akan telinga mereka pekak, mata mereka buta, dan hati mereka terkunci; begitulah perumpamaan orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran. Keadaan seperti ini merendahkan posisi mereka ke peringkat yang lebih rendah daripada binatang. Kondisi orang-orang yang tidak mau memperhatikan, tidak mau mendengar, dan tidak mau memahami ayat-ayat Allah, dalam surah al-A’raf ayat 179, digambarkan sebagai orang-orang yang sesat, bahkan lebih sesat daripada hewan.
            Ayat 10 menjelaskan kembali tentang kekuasaan Allah terhadap makhluk-Nya. Jika Allah menghendaki, tidak ada kesulitan bagi-Nya untuk memperlengkapi rasul-Nya dengan berbagai fasilitas dan kekayaan. Bahkan, Allah sudah pernah menawarkan kepada Nabi Muhammad SAW agar seluruh padang pasir dan gunung-gunung di jazirah Arabia dijadikan emas dan perak. Tetapi, Rasulullah menolak karena belau lebih mendambakan kebahagiaan akhirat. Jadi segala kemudahan, kekayaan, dan kesenangan diberikan di akhirat nanti. Bahkan dalam ayat ini ditandaskan bahwa Allah akan membangun istana-istana di dalam surga kepada rasul-Nya.  Keyakinan ini semakin memperkokoh kepribadian dan keimanan Rasulullah akan kekuasaan Allah. Sebagai seorang rasul dan pemimpin umat, Nabi Muhammad SAW siap hidup menderita dan tabah menghadapi tantangan. Ayat ini mengingatkan manusia agar dalam meneladani dan mengikuti Rasulullah tidak karena memandang harta dan kekayaannya; tetapi semata-mata berdasarkan kebenaran yang disampaikannya.

Karakteristik Neraka dan Surga [Ayat 11-16]

            Ayat 11-14 menggambarkan tempat orang-orang yang tidak mau beriman kepada hari akhirat, yaitu neraka Sa’ir. Yakin kepada hari akhirat termasuk salah satu fondasi iman. Oleh karena itu, mengingkarinya termasuk kufur dan bahkan termasuk pendusta. Pada masa awal penyiaran agama Islam, kebanyakan orang tidak begitu yakin akan hari kiamat. Mereka menyangka bahwa hari kiamat itu hanyalah ilusi belaka. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang telah mati sejarah ribuan tahun yang lalu sudah menjadi tulang belulang yang tak mungkin hidup lagi. Kemudian, Allah meyakinkan mereka dengan wahyu-Nya bahwa bagi Allah sangat mudah menciptakan manusia, mematikannya, dan menghidupkannya kembali meskipun telah menjadi tulang belulang. Informasi mengenai ini diungkapkan dalam surah al-Waqi’ah ayat 47-50 dan surah Yasin ayat 78-79.
            Sifat neraka Sa’ir dijelaskan dalam ayat 12-14, yakni neraka dapat mengenal siapa penghuninya. Orang-orang yang mendustakannya dibelenggu di dalamnya dengan penuh kesengsaraan. Selain itu, lidah api neraka yang menyala-nyala dengan suara gemuruh sembari sembari mengeluarkan suara seperti harimau mengaum. Ini menandakan bahwa sifat neraka itu sangat menakutkan. Dari jauh saja sudah terdengar suara yang menyeramkan seakan-akan harimau lapar yang sedang menanti mangsanya. Maka, bagi calon penghuni neraka sudah terasa azab sebelum ia memasukinya. Lebih-lebih lagi para malaikat yang menjaga neraka pun sangat mengerikan; dan dalam keadaan siaga penuh menyeret orang-orang kafir ke dalamnya (at-Tahrim: 6). Begitu mereka menghuni neraka, secara spontan berdo’a kepada Allah agar dibebaskan dari azab. Tetapi Allah menegaskan bahwa tidak ada gunanya do’a mereka karena selama di dunia mereka mengingkarinya. Di saat orang kafir merasakan pedihnya siksaan, ia mengeluh, “aduh, seandainya aku dulu menjadi tanah saja.” Keluhan ini muncul di saat tidak ada lagi peluang untuk bertobat dan beramal. Alangkah sialnya orang-orang kafir yang tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan Rasulullah.
            Sebaliknya, ayat 15-16 menerangkan bahwa orang-orang yang beriman kepada hari akhirat akan semakin kokoh iman mereka; dan mereka akan menempati surga yang disediakan Allah. Perlu dicatat bahwa surga disiapkan oleh Allah untuk orang-orang bertaqwa. Kehidupan surga didambakan oleh setiap manusia; karena itu, segala bentuk kesenangan duniawi selalu dianalogikan dengan surga atau dengan istilah “surga dunia.” Memang, menurut informasi al-Qur’an, surga merupakan akhir perjalanan orang beriman. Barangsiapa yang diizinkan Allah memasukinya, maka ia akan kekal di dalamnya. Sudah pasti kesenangan surga tidak dapat disamakan dengan kesenangan duniawi. Rasulullah menyebutkan, kesenangan surga itu tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak pernah terbetik kenikmatannya oleh perasaan manusia. Oleh karena itu, Allah menyuruh kita untuk berlomba-lomba menuju surga-Nya dengan meningkatkan amal salih dan senantiasa memohon keampunan dari-Nya (Ali Imran: 133). Di dalam surga setiap orang diberikan kebebasan untuk menikmati apa saja yang diinginkannya. Ini membuktikan janji Allah itu benar, dan Allah memberikan apa saja yang diinginkan hamba-Nya. Begitulah buah dari iman di mana hasil kerja atau amal baik yang kita kerjakan selama di dunia terinvestasi; dan dengan amal baik itulah  yang dapat mengantarkan ke surga. Dalam hal ini, Allah menyediakan banyak jalan ke surga. Kita dapat menempuh jalan mana saja, dari yang paling rumit sampai yang paling mudah. Jihad di jalan Allah, dengan mengorbankan harta, tenaga, fisik, dan nyawa adalah jalan yang paling berat dan sulit; sedangkan jalan yang paling mudah adalah zikir dan berbuat baik kepada sesama manusia dan semua makhluk Allah di dunia. Rasulullah mengingatkan, “raihlah surga walau hanya dengan sekeping buah kurma.” “Menuntut ilmu atau belajar dengan sungguh-sungguh juga termasuk menempuh jalan ke surga.” ■         

Renungan:

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan kepadamu Furqan; dan menghapuskan segala kesalahan dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah mempunyai keutamaan yang agung [al-Anfal/8: 29]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar