ISLAM DI ACEH (2)


ISLAM DI ACEH [II]
APLIKASI SYARI’AT ISLAM DALAM PERDEBATAN

 

Oleh: Hasan Basri



… Islam is not concerned with only one of the many departments of human life, it covers all the departments; it covers life as a whole lived according to the will of God. It is an all embracing system, a complete code of life, bearing on and including every phase of human activity and every aspect of human conduct. All its laws, social, political, and other are religious laws. They all tend to realization of the one and same ideal, viz., obedience to God and to His laws.[1]  

Islam tidak hanya mengatur salah satu dari sekian banyak bidang kehidupan, ia meliputi seluruh kehidupan yang mengacu kepada keridhaan Allah. Islam mengandung seluruh sistem dan tatacara hidup yang lengkap, yang berhubungan dengan derap langkah, aktivitas, dan setiap aspek prilaku manusia. Semua hukumnya, sosial, politik dan lain-lain adalah berdasarkan hukum agama. Semuanya bertujuan untuk merealisasikan satu tujuan yang sama yaitu ketaatan kepada Allah dan hukum-hukum-Nya.

Pemberlakuan hukum Islam (syari’at Islam) di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) masih menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli. Perdebatan ini muncul setelah lahir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh dan Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan sekaligus pembentukan Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.[2] Selain itu, secara geografis Nanggroe Aceh Darussalam merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang seharusnya penerapan hukumnya tunduk kepada hukum nasional atau hukum ketatanegaraan Indonesia. Namun, pada kenyataannya daerah tersebut memiliki sistem hukum tersendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Perbedaan ini kemudian memicu persoalan dualisme hukum dalam satu negara yang mengarah kepada diskriminasi sistem hukum antara satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan ini diduga dapat menimbulkan efek domino atau pengaruh secara simultan terhadap daerah-daerah lain sehingga mereka menuntut pemberlakuan hukum yang sama, yaitu hukum Islam.
Selanjutnya, dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, yang dijabarkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam, maka daerah Aceh yang sebelumnya memiliki keistimewaan bidang agama, adat istiadat, dan pendidikan tanpa undang-undang, sekarang sudah memiliki undang-undang secara sah dan meyakinkan. Namun, masih ada persoalan mendasar tentang bagaimana pelaksanaan hukum publik terutama hukum pidana Islam di Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan dalam bingkai undang-undang yang ada atau hukum nasional. Asumsi ini tentu saja memerlukan kajian lebih lanjut untuk memposisikan pelaksanaan syari’at Islam dalam kerangka hukum nasional.  
Dalam pada itu, usaha-usaha yang ditempuh untuk menjalankan syari’at Islam baik dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, sekurang-kurangnya, memerlukan tiga perangkat utama: pertama, penguatan akidah; kedua, pemantapan akhlak; dan ketiga, aplikasi syari’at. Aspek akidah dan akhlak lebih dipentingkan sisi pendalaman dan penghayatan maknanya terlebih dahulu. Sementara aspek syari’at lebih menjurus kepada penekanan sisi pelaksanaan dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, baik aspek lahiriah maupun batiniah merupakan dua hal yang saling memperkuat satu sama lain dalam membentuk manusia yang paripurna (insan kamil).[3]
Secara yuridis, pemberlakuan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peristiwa pertama setelah kemerdekaan di mana ada sebuah wilayah dalam kekuasaan hukum Indonesia menerapkan sistem hukum yang relatif berbeda dengan hukum nasional yang berlaku secara umum. Namun secara historis, masyarakat Aceh dengan hukum Islam sudah senyawa, yang hidup ratusan tahun dan merupakan bagian yang tak terpisahkan. Di samping itu, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengandung butir-butir pasal yang tidak hanya merupakan pintu gerbang bagi masuknya norma-norma hukum, yang  secara kuantitatif dan kualitatif sangat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia karena sifatnya yang sangat membuka diri bagi masuknya nilai-nilai agama dalam sistem hukum positif nasional, tetapi juga sekaligus dapat menjadi motor pendorong lahirnya sebuah sistem hukum nasional di masa-masa mendatang.[4]
Pasal 29 UUD 1945, misalnya, menyatakan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal 29 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, pada dasarnya mengandung tiga muatan makna, yaitu: pertama, negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya. Dan ketiga, negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.[5]
Kata “menjamin” sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 di atas bersifat “imperatif”. Maksudnya, negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan negara di sini adalah untuk memberikan jaminan agar setiap penduduk dapat merdeka menentukan pilihan atas agama yang hendak dipeluknya; dan jaminan agar tiap penduduk dapat menjalankan ibadatnya menurut agama dan kepercayaan yang ditetapkan oleh agama yang dipeluknya. Tentu saja, keaktifan negara bukan untuk menampuri aturan-aturan internal yang telah ditetapkan oleh setiap agama. Jaminan negara atas kemerdekaan tiap penduduk untuk memilih agama yang hendak dipeluknya selama ini tampak tidak pernah menjadi masalah serius. Namun, yang menjadi masalah adalah jaminan negara atas kemerdekaan setiap penduduk untuk menjalankan ibadatnya menurut aturan-aturan agama yang dianutnya.[6]
Proposisi yang diungkapkan Hartono Mardjono di atas semakin mempertegas adanya kemungkinan masuknya hukum Islam secara formal ke dalam sistem hukum nasional atau ketatanegaraan Indonesia. Kendatipun demikian, tidak dapat dipungkiri, bahwa Pancasila dan UUD 1945 tetap sebagai dasar negara yang harus diakui oleh seluruh rakyatnya. Dilihat dari segi ini maka tidak dapat dipastikan bahwa hukum Islam dapat berajalan secara efektif  dalam sistem hukum nasional. Ketidakefektifan ini sangat beralasan mengingat tatanan hukum yang diberlakukan kepada segenap lapisan rakyat adalah hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan hukum Islam atau hukum agama-agama lain hanyalah sebagai realisasi aspek historis dan demografis dari kemajemukan rakyat Indonesia.
Seperti diketahui bahwa ada tiga sistem hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu: hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam. Tetapi ketiga hukum ini tidak pernah menemukan titik temu yang harmonis. Bahkan, oleh kaum kolonialis dipertentangkan antara ketiga hukum tersebut, seperti pertentangan hukum adat dan hukum agama. Karena ketiga hukum itu berlaku dalam masyarakat Indonesia, maka sejak masa penjajahan Belanda ketiga hukum tersebut penuh dengan konflik dan perbenturan.[7]
Berkenaan dengan hukum Barat terdapat beberapa kodifikasi hukum, yaitu berupa hukum perdata,  hukum pidana, hukum dagang, hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Semua kitab kodifikasi itulah yang sampai sekarang masih dipergunakan dan dalam penerapannya telah banyak menyimpang dari jalur jurispridensi sebelumnya. Dan yang lebih ironis lagi adalah bahwa sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai suatu teori hukum yang sesuai dengan budaya bangsa; teori-teori hukum yang berlaku selama ini adalah peninggalan kolonialis Belanda. Sistem hukum ini pun telah ditambah dengan beberapa pandangan individual dari pakar hukum, baik yang diambil dari teori-teori hukum negara lain maupun yang dianggap bersumber dari adat setempat.[8] Sejauh ini, belum ada keberanian para pakar untuk menghilangkan sama sekali teori-teori lama itu dan diganti dengan yang baru agar lebih sesuai dan relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Adapun hukum adat sesungguhnya tidak berasal dari pemikiran bangsa Indonesia sendiri melainkan ditemukan oleh sarjana hukum Belanda, C. van Vollenhoven. Bangsa Indonesia hanya mengenal adat yang kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh ahli hukum sehingga menjadi hukum adat. Sudah barang tentu, hukum adat ini sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh berbagai etnis yang ada di negeri ini. Namun, dalam hal-hal tertentu hukum adat memainkan peranan penting dalam penyelesaian konflik antar individu dan kelompok dalam masyarakat. Bahkan, hukum nasional dalam kasus-kasus tertentu tidak dapat menyelesaikan persoalan. Potensi hukum adat untuk dikembangkan lebih lanjut agar sesuai dengan kondisi masyarakat dan mempunyai karakteristik keindonesiaan adalah sangat signifikan. Kemudian, hukum adat ini dapat dijadikan solusi bagi sistem hukum nasional.
Hukum Islam adalah peraturan atau ketentuan yang didasarkan pada ajaran Islam. Hukum Islam telah banyak mempengaruhi hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Di antara faktor-faktor penyebabnya ialah karena kurang lebih 83 persen dari 203 juta jiwa penduduk Indonesia menganut agama Islam. Di samping itu, agama Islam berbeda dengan agama-agama lain yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Tetapi, Islam adalah agama yang mengatur seluk beluk kehidupan manusia di dunia ini dan mengatur berbagai hubungan baik hubungan manusia dengan Tuhannya maupun hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya dalam bentuk aturan dan hukum.
Secara lebih rinci, Daud Ali[9] menjelaskan bahwa sistem hukum Indonesia, sebagai akibat perkembangan sejarah, bersifat majemuk. Dikatakan demikian karena hingga kini di negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan susunan sendiri, yaitu sistem hukum Adat, hukum Barat, dan hukum Islam. Ketiga sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum Adat telah lama ada dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia walaupun sebagai sistem hukum baru dikenal pada permulaan abad ke-20. Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1902. Sedangkan hukum Islam telah ada sejak Islam diperkenalkan dan dianut secara resmi oleh masyarakat Indonesia abad ke-7 sampai dengan 13 Masehi. Ketiga sistem hukum tersebut diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh dalam masyarakat, dan dikembangkan secara teoretis dan dipraktikkan di pengadilan.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah sangat besar. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa kalau seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita tersebut diislamkan terlebih dahulu dan pernikahannya dilangsungkan menurut hukum Islam. Setelah Islam mengakar di masyarakat, peranan saudagar digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal hukum Islam. Kemudian, hukum Islam diikuti dan dilaksanakan juga oleh para pemeluk agama Islam dalam kerajaan-kerajaan seperti kerajaan Aceh Darussalam, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, dan Mataram. Hal ini dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup di masa itu, antara lain Sajinatul Hukum. [10] Dalam kerajaan Aceh, para ulama yang berperan pada waktu itu adalah Nuruddin Ar-Raniry (w. 1658 M), Syamsuddin As-Sumatrani (w. 1661), dan Abdurrauf As-Singkili (w. 1691 M). Sebuah karya yang lebih akhir tentang aturan-aturan hukum perdata dan pidana, Safinatul Hukkam fi Takhlish al- Khashsham ditulis oleh Jalaluddin At-Tarusani. Kitab ini ditulis secara khusus atas perintah Sultan Alaiddin Johansyah (1735-1760 M).[11]
Dalam percaturan politik hukum di Indonesia, kata “syari’at” baru mengemuka pada tahun 1945, tepatnya ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menawarkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang di dalamnya antara lain tercantum anak kalimat: “Negara berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tapi sayangnya, anak kalimat yang amat Islami ini, setelah melalui perdebatan panjang di kalangan para pendiri negara ini, harus dihilangkan dari Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 itu.
Pada tahun 1955, kata “syari’at Islam” mulai menggema kembali di gedung Parlemen (Konstituante) ketika terdapat sikap pro dan kontra yang mengundang perdebatan sengit tentang pengembalian Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Hasilnya, untuk kedua kalinya kata “syari’at Islam” tergusur dari konstitusi karena Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang pada intinya mencabut UUD Sementara 1950 dan menyatakan kembali kepada UUD 1945. Sejak Dekrit 5 Juli 1959 itu, kata “syari’at Islam” menjadi momok yang menakutkan di tengah-tengah masyarakat luas, terutama di kalangan oknum pejabat.[12]
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak tokoh Islam yang merasa menyesal atas persetujuan mereka menghapuskan tujuh kata dalam anak kalimat dalam Piagam Jakarta tersebut. Selain itu, mereka juga kecewa dengan sikap dan kebijakan pemerintah tentang sikap antipati terhadap “syari’at Islam” pada waktu itu. Sungguh pun tidak seheboh pada dasawarsa era 1950-an, kata “syari’at Islam” kembali berkumandang di gedung Parlemen Senayan, pada saat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) menggelar Sidang Tahunan (ST) pada tahun 2000 yang lalu. Tetapi, lagi-lagi keinginan untuk merealisasikan syari’at Islam secara utuh dan menyeluruh itu menjadi gagal karena hanya didukung oleh dua fraksi, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB).[13] Secara korum, mereka tidak cukup suara untuk menghasilkan sebuah keputusan. Namun, mereka tetap berlapang dada menerima dan menghormati suara terbanyak. Begitulah sekilas perjalanan sejarah dalam kaitannya dengan hukum Islam di Indonesia.
Menyangkut dengan Nanggroe Aceh Darussalam, maka dapat dikatakan bahwa syari’at Islam di daerah itu , seperti telah disinggung di atas, sudah ada sejak Islam datang di sana.[14] Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang penduduk Nanggroe Aceh Darussalam adalah masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran Islam, teguh dalam akidah dan taat menjalankan syari’at Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan: “Adat bak Po Teumeureuhom, hukum bak Syiah Kuala,” sebuah ungkapan yang mencerminkan perwujudan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sultan Aceh Darussalam yang bertukar silih berganti semuanya taat menjalankan fatwa ulama dalam melaksanakan hukum Islam sampai datangnya penjajahan Belanda pada tahun 1873, yang mencoba menaklukkan Aceh berikut hukum syari’atnya.[15]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perberlakuan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam bukanlah hal yang baru; dan bukan pula monopoli Aceh saja. Bahkan, masyarakat Islam di Jawa, Banten, Cirebon, dan daerah-daerah lain pada masa lampau telah menerapkan hukum Islam secara utuh sebagai sistem yang mengatur kehidupan mereka. Ditinjau dari sudut pandang sejarah ilmu hukum, pada dasarnya hukum Islamlah yang telah berakar dalam masyarakat Muslim Indonesia.
Perlu dicatat bahwa pemberlakuan syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dalam konteks hukum nasional atau ketatanegaraan tidak terlepas dari konflik yang berkepanjangan di daerah itu. Konflik sosial dan politik dalam masyarakat Aceh sebenarnya sudah berlangsung lama, yang diawali pemberontakan Daud Beureueh pada 21 September 1953[16] dan kemudian berlanjut dengan pemberontakan Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 sampai sekarang.[17] Menyikapi konflik yang berkepanjangan ini, oleh Pemerintah Pusat dicari solusinya; dan salah satu cara penyelesaian konflik tersebut adalah dengan dikabulkan permintaan rakyat Aceh untuk diberlakukan syari’at Islam dengan batasan-batasan tertentu dalam konteks hukum nasional. Sebagai realisasi pelaksanaan syari’at Islam ini lahirlah dua undang-undang, yaitu UU RI No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU RI Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, satu Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, dan dua Qanun masing-masing Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam dan Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam dalam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.

‘Lampu hijau’ pemberlakuan syari’at Islam di bumi Aceh telah menyala. Banyak pandangan dari luar tertuju ke negeri (Aceh: nanggroe) yang mendapat julukan ‘Serambi Mekah’ itu. Mereka menanti-nanti kapan syari’at Islam diaplikasikan secara kaffah (totalitas) di bumi Iskandar Muda. Kalau memang masyarakat Aceh benar-benar ingin menegakkan hukum Allah, maka bagaimana format pelaksanaannya. Dan bagaimana pula kedudukannya dalam bingkai hukum Nasional? Sudah siapkah masyarakat Aceh mengaplikasikan syari’at Islam dalam kehidupan nyata; atau hanya semangat yang menyala-nyala kemudian redup dan padam seketika? Banyak lagi pertanyaan yang serupa muncul begitu ‘lampu hijau’ pemberlakuan syari’at Islam di Tanah Rencong itu dinyalakan. Dalam waktu yang sama, gema dan semangatnya juga merebak ke daerah-daerah lain di Indonesia. Hal ini terjadi, seperti dapat diduga, adalah karena umat Islam, sebagaimana diungkapkan dalam proposisi yang dikutip di atas, sedang merindukan suatu sistem hukum yang paripurna untuk mengatur kehidupan mereka.
Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, misalnya, pada tanggal 16 April 2003 yang lalu digelar Diskusi Publik dengan tema: “Prospek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.” Dalam diskusi itu timbul pula pertanyaan seperti tertera di atas secara spontan. Seakan-akan ada keraguan dari banyak pihak tentang kemampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat Aceh untuk memanfaatkan dan merealisasikan peluang yang diberikan Pemerintah Pusat kepada mereka. Pertanyaan yang muncul, terutama dalam menyikapi berdirinya Mahkamah Syar’iyah tanggal 1 Muharram 1424 H, antara lain: sudahkah berakhir segala permasalahan yang menjadi tuntutan masyarakat Aceh selama ini? Akankah ia bertahan di tengah keraguan sementara pihak terhadap eksistensinya pada tingkat implementasi di lapangan? Bukankah ini mahkamah ‘istimewa’ yang masih perlu disosialisasikan? Sudah siapkah Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pelaksanaannya?

Mahkamah Syar’iyah: Tugas dan Wewenang

A. Salim Ruhana menulis sebuah artikel dalam Buletin Cipta dengan judul “Kerikil Tajam di Sekitar Mahkamah Syar’iyah.” Menanggapi kehadiran Mahkamah Syar’iyah, Ruhana mengajukan sejumlah pertanyaan: pertama, dengan wider mandate atau kewenangan yang lebih luas, yakni menangani hal perdata dan pidana Islam, patut dipertanyakan seberapa jauhkah kesiapan hukum materil dan formil Mahkamah Syar’iyah, termasuk kesiapan aparat peradilan, yang tentu saja dalam hal ini mereka harus paham betul tentang jinayat, misalnya. Bukankah ketergesaan dalam pelaksanaan hukum yang belum matang dapat terjadi kontra produktif, bahkan merusak citra baik hukum itu sendiri?
KeduaMahkamah Syar’iyah akan menampung kewenangan Peradilan Agama (PA) dan sekaligus Peradilan Negeri (PN), lalu di mana PTUN dan Peradilan Militer? Bukankah di Indonesia ini kita mengenal empat jenis badan peradilan, sesuai UU No. 14/1970? Apa landasan hukum ‘penyatuan’ wewenang PA dan PN dalam Mahkamah Syar’iyah ini? Cukupkah suatu Perda (Peraturan Daerah), yang kekuatannya rendah dalam hirarki hukum kita, dijadikan landasan? Bayangkan, polisi sesuai dengan undang-undang yang berlaku harus menyerahkan kasus yang ditanganinya kepada Pengadilan Negeri, yang berhadapan dengan perintah Qanun (setara Perda) yang menyuruh polisi menyerahkan kasusnya kepada Mahkamah Syar’iyah. Tentu, Perda akan kalah dengan Undang-undang. Ketiga, selama ini hukum di Indonesia bersifat civil law, yang bottom-up, fenomena apa yang terjadi di masyarakat kemudian dibuat hukumnya? Dengan adanya hukum syari’at yang akan dicobapraktikkan Mahkamah Syar’iyah, tentu sifat ini akan ‘bergeser’ ke arah top-down. Dalam kasus ini, hukum syari’at ada dan kemudian diterapkan dalam kehidupan  masyarakat. Begitukah? Kesiapan masyarakat perlu dipertimbangkan. Dan keempat, ada beberapa hal yang dikecualikan di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah, satu di antaranya adalah agama. Jika Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memberlakukan hukum Islam, tidakkah ini mengotonomikan agama? Bukankah hal ini, jika pun ditolerir hanya untuk NAD sebagai langkah kompromis pemerintah meredam gejolak Aceh, pada gilirannya akan menjadi preseden baik daerah-daerah lain yang mendambakan hal yang sama, yakni formalisasi syari’at Islam, seperti Pamekasan, Sumenep, Gresik, Malang, Sulawesi Selatan, Cianjur, Banten, Garut, Tasikmalaya, dan banyak lagi. Atau mungkin juga hukum agama lain di beberapa provinsi yang mayoritas non-muslim. Demikian tulis Salim Ruhana.
Apa yang dipertanyakan Salim Ruhana sesungguhnya juga menjadi pertanyaan dan sekaligus pertimbangan Pemerintah. Dan apa yang dikhawatirkan Ruhana terhadap overlapping tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah sebenarnya sudah diatur dalam Qanun NAD Nomor 10 Tahun 2002. Hanya saja pengejawantahan dalam bentuk praxis-nya masih memerlukan kajian lebih lanjut. Penting dicatat bahwa pemberlakuan syari’at Islam di Aceh bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik; dan bukan pula satu-satunya cara Pemerintah untuk memenuhi harapan masyarakat. Karena, tanpa peraturan atau undang-undang itu pun sebagian syari’at Islam sudah berjalan di dalam kehidupan masyarakat. Suatu hal yang paling penting adalah syari’at Islam tidak menjadi beban bagi masyarakat yang sudah benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena, bagaimana pun juga, pelaksanaan syari’at merupakan konsekuensi iman. Kalau hukum negara bersifat civil law dan bottom-up, maka jika dibandingkan dengan syari’at sangatlah berbeda. Hukum negara adalah produk manusia; sedangkan syari’at produk Allah. Manakah yang lebih tinggi kedudukannya? Tentu saja, hukum Allah adalah di atas segalanya. Maka, wajar kalau masyarakat Islam memilih hukum Allah untuk mengatur kehidupannya. Secara faktual, hukum yang dibuat oleh manusia tidak menjamin keselamatan dan keadilan, apalagi supremasi hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Akibatnya, pelanggaran hukum terjadi di mana-mana. Sedangkan hukum Allah menjamin keselamatan dan keadilan. Siapa yang melanggarnya, selain mendapat hukuman di dunia, ia akan mendapat hukuman di Akhirat. Tentu saja Allah lebih mengetahui apa yang bakal terjadi dalam kehidupan manusia sehingga Dia menciptakan hukum yang sesuai dengan fithrah manusia itu sendiri. Di sinilah, antara lain, letak keunggulan syari’at Islam.
Kalau dibiarkan orang untuk terus bertanya, maka akan lahir banyak pertanyaan lainnya yang memerlukan waktu untuk mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan tentu saja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Atau mungkin saja persoalan-persoalan tersebut tak terjawabkan. Memang, jawaban tidak semudah pertanyaan. Semuanya berproses dan terus bergulir mengitari waktu. Pepatah Aceh mengatakan, “pat ujeuen nyang hana pirang, pat prang nyang hana reuda.” Artinya, setiap hujan itu pasti ada masa berhentinya. Demikian juga peperangan pasti akan ada saat berakhirnya.  Setiap konflik akan ada solusinya. Salah satu solusi konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah penandatangan kesepakatan damai, Memorandum of Understanding di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Demikian pula halnya dengan syari’at Islam, yang terpenting bukan pada pertanyaan-pertanyaan filosofis yang sulit ditemukan jawabannya; tetapi kesediaan dan keikhlasan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika syari’at Islam diamalkan secara konsisten dan konsekuen oleh para penganut agama Islam maka dalam waktu yang sama pertanyaan-pertanyaan skeptik tersebut akan sirna. Inilah antara lain makna dari: “Jika kebenaran sudah tiba, maka kebatilan akan sirna” (Qur’an Surat al-Isra’/17: 81).
Adapun tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah antara lain ialah memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang: ahwal al-syakhsiyah (hukum perdata), mu’amalah, dan jinayah (hukum pidana). Selain itu, Mahkamah Syar’iyah juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangannya dalam tingkat banding; mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam.

Syari’at Islam sebagai Living Law
            Sesungguhnya jika direnungkan dan dipikirkan secara seksama, dengan berbagai faktor kelemahan dan kelebihannya, maka kita akan sampai pada pilihan “pengembangan hukum nasional haruslah menjadi hukum Islam sebagai inspirasi utama, dilengkapi dengan hukum adat untuk memberi muatan ‘lokal’ dan hukum Barat dalam kerangka mengambil manfaat kemajuan teknologi dan peradaban yang ‘terlebih dahulu’ berkembang, terutama yang menyangkut ketentuan-ketentuan praktis.” Hukum Islam menjadi mainstream; sedangkan hukum adat dan hukum Barat menjadi komplementer.[18]
            Lebih lanjut, Mutammimul Ula menyebutkan bahwa pilihan tersebut didasarkan pada alasan kuat. Salah satunya adalah kesepakatan ahli hukum di mana hukum yang ideal haruslah memenuhi syarat-syarat: pertama, filosofis (berorientasi dan bervisi keadilan). Kedua, yuridis (berorientasi dan bervisi kepastian hukum); dan ketiga, sosiologis (berorientasi pada manfaat dan penerimaan sosial).
            Secara filosofis, syari’at Islam memiliki kandungan yang sarat dengan tema keadilan yang cocok dengan fithrah manusia. Secara yuridis, kecuali persoalan-persoalan ijtihadi, hukum Islam merupakan ‘sistem nilai’ yang paling rinci mengatur kehidupan manusia dari persoalan individual, keluarga sampai kepada kehidupan sosial. Dan secara sosiologis, penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim, paling tidak, secara keyakinan mereka telah memilih Islam sebagai agama. Di samping itu, hukum Islam dalam perjalanan sejarah bangsa telah menjadi living law dalam masyarakat. Karena itu, penerapan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat bukan hal yang baru dan tidak pula terasa asing.
            Dalam pada itu, hukum Islam mempunyai prospek yang cerah untuk menuju kepada keadilan dan kepastian hukum. Ditinjau dari segi revitalisasi syari’at Islam, pembentukan hukum di masa mendatang dengan melihat ragam politik hukum dan kerangka teori maka agaknya ‘teori pertingkatan hukum’ seperti yang dijelaskan oleh Padmo Wahyono menarik dikemukakan di sini. Menurut teori ini, hukum harus dapat dikembalikan kepada hukum yang lebih tinggi kedudukannya. Berdasarkan pandangan ini, sebenarnya, tidak ada masalah akademis dan politis menyangkut prosedur integrasi hukum Islam ke dalam hukum Nasional. Syari’at Islam sebagai produk Ilahi adalah lebih tinggi kedudukannya daripada hukum Nasional sebagai produk insani. Maka, sangat logis jika syari’at Islam menjadi sistem hukum yang mengatur kehidupan masyarakat.  Bahkan, hukum Barat yang sebagiannya telah diadopsi ke dalam hukum Nasional pun tidak lagi signifikan. Dengan demikian, hukum Barat seperti yang diajukan Mutammimul Ula sebagai komplementer mainstream hukum Islam di atas dengan serta merta tidak diperlukan lagi ketika syari’at Islam telah ‘membumi’.

Aplikasi Syari’at Islam: Tipologi dan Karakteristik
            Suasana keberagamaan (baca: Islam) akhir-akhir ini semakin mengarah kepada tuntutan pemberlakuan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Fenomena ini dapat dilihat pada perkembangan syi’ar Islam dan semangat keislaman semakin marak di kalangan umat Islam dalam berbagai level. Perhatian untuk membangun dan mengembangkan lembaga-lembaga keagamaan juga mengindikasikan betapa Islam sudah semakin akrab dengan kehidupan publik. Sikap ‘Islam phobia’, yang dulu  sering menghantui, kini secara gradual semakin memudar. Simbol-simbol keislaman di berbagai tempat sudah semakin transparan. Begitu juga terma-terma Islami, yang dulu jarang terdengar di forum-forum resmi, sekarang bukan hal yang aneh lagi. Begitu pula di kampus-kampus terdapat spanduk-spanduk yang menggunakan logo dan pesan-pesan Islami. Bahkan, para birokrat dan pemimpin partai politik tidak segan-segan menggunakan istilah-istilah Islam penyampaian aspirasi dan pidato politik mereka.
            Pada sisi lain, jumlah mesjid yang kian bertambah kuantitasnya, meskipun kualitasnya masih dipertanyakan, di seantero Indonesia. Agaknya, motivasi mendirikan mesjid ini sudah menjadi karakteristik sebagian masyarakat Muslim di negeri ini. Namun, amat disayangkan, jarang sekali muncul pemikiran tentang pemakmuran mesjid itu sendiri oleh para pendirinya. Di samping itu, pengajian, halaqah kajian agama, tabligh akbar, penyiaran berbagai aktivitas keagamaan melalui media cetak dan elektronik semakin menunjukkan momentumnya. Suatu hal yang juga sangat fenomenal adalah kecendrungan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke pesantren, sekolah agama atau madrasah. Hal ini menunjukkan perubahan pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
            Selain itu, penerbitan buku-buku dan majalah-majalah tentang Islam, pagelaran seni  yang bernuansa Islami, ‘Islamisasi lembaga pendidikan’ dengan meniadakan dikotomi sistem pendidikan, semisal IAIN (Institut Agama Islam Negeri) menjadi UIN (Universitas Islam Negeri), juga mengindikasikan bahwa semangat keislaman semakin meningkat. Demikian pula tentang pembentukan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat), pengelolaan harta atau dana wakaf , hibah, dan infaq, penertiban manajemen haji, dan seumpamanya menunjukkan perhatian serius pemerintah terhadap pengamalan ajaran Islam. Fenomena lain adalah meningkatnya jama’ah haji dari tahun ke tahun; bahkan melebihi kuota yang ditetapkan. Semua ini menandakan bahwa semangat keislaman umat Islam tidak diragukan lagi. Tampaknya, citra Islam tidak lagi terpinggirkan dari kehidupan para penganutnya. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, memberikan keteladanan kepada masyarakat luas. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa munculnya kelompok ekstremis Muslim, seperti aksi teroris baik dalam skala regional, nasional maupun internasional, di beberapa kawasan dunia Muslim,  dapat menodai citra baik Islam di mata dunia.  
Berdasarkan realitas di atas, keberagamaan masyarakat Islam di Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam lima tipe: tipe nominalistik, tipe simbolistik, tipe ritualistik, tipe legalistik, dan tipe holistik

1.      Tipe Nominalistik
Tipe ini biasanya disebut dengan Islam nominal atau Islam hanya sekedar nama saja (dalam istilah sehari-hari dikenal dengan ‘Islam KTP’). Keislaman seseorang sebagai akibat dari garis keturunan yang lebih dulu menganut agama Islam. Islam ditandai adanya syahadat primordial, adanya khitan, nikah secara Islam, dan mati diurus secara Islam. Shalat dilakukan setahun dua kali: shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha; tipe ini lebih mementingkan tradisi daripada ajaran Islam secara murni.

2.      Tipe Simbolistik
Tipe ini, selain memiliki ciri-ciri yang terdapat pada tipe pertama, bukti keislamannya dapat ditandai pada simbol-simbol yang digunakan untuk menunjukkan indentitasnya. Model pakaian cendrung kearab-araban, memakai selempang, peci haji, biji tasbih di tangan bahkan di mobil pribadi, al-Qur’an hanya sekedar di pajang di lemari.  Selain itu, aktivitas keagamaan agak meningkat yang ditandai dengan kehadirannya  setiap shalat Jum’at, ikut serta dalam kegiatan acara Hari-Hari Besar Islam, kenduri, penggalangan massa di lapangan terbuka untuk melakukan istighatsash akbar, do’a bersama, zikir akbar, partai politik berlabel Islam, dan sejenisnya. Islam model ini lebih mementingkan formalitas atau penampilan luar daripada subtansinya.

3.      Tipe Ritualistik
Tipe ini selain memiliki karakteristik kedua tipe di atas, dengan beberapa pengecualian atau meninggalkan hal-hal yang tidak perlu, juga tekun melakukan shalat fardhu lima waktu, shalat sunat rawatib, dan shalat-shalat sunat lainnya, gemar membaca al-Qur’an, berpuasa Ramadhan dan puasa sunat, melakukan i’tikaf, menunaikan zakat harta (zakat mal), mengeluarkan zakat fithrah, berzikir secara individual, berdo’a dengan khusyu’, berqurban, melaksanakan ‘aqiqah, memenuhi nadzar, dan menunaikan ibadah haji. Islam model ini memadukan formalitas dan subtansi. Islam tidak hanya pada penampilan luar tetapi juga diamalkan ajaran-ajarannya secara konsisten dan konsekuen.

4.      Tipe Legalistik
Di samping memiliki karakteristik ketiga tipe diatas, pengamalan ajaran Islam semakin meningkat sampai kepada domain (ranah) yang lebih luas atau menyentuh ranah sistem politik kenegaraan. Pengamalan hukum Islam harus mendapat legalitas kekuasaan negara terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan mu’amalah, misalnya kegiatan ekonomi, pelaksanaan zakat, wakaf, hibah, warisan, pernikahan, dan sebagainya. Dalam hal-hal tertentu kemapanan implementasi ajaran sangat ditentukan oleh legalisasi pemerintah. Hal ini, misalnya, dapat dilihat pada pentingnya pengesahan tanah wakaf atau hibah dengan sertifikat atau akta dari notaris,  penunaian zakat, terutama bagi pegawai negeri, melalui birokrasi, dan pernikahan di depan pegawai KUA (Kantor Urusan Agama). Demikian juga penentuan awal Ramadhan dan hari raya.  

5.      Tipe Holistik
Tipe ini melampuai keempat tipe di atas. Tipe yang kelima ini disebut juga ideal Islamic type (tipe Islam yang ideal); atau lazim disebut, menurut istilah al-Qur’an, dengan Islam kaffah. Maksudnya, mengamalkan ajaran Islam secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupan sesuai dengan misi dan ciri Islam itu sendiri yang bersifat universal. Islam dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Pada taraf ini, ajaran Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari berbagai aspek kehidupan, individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintahan. Tipe ini merujuk kepada ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar orang beriman menjalankan syari’at secara kaffah (al-Baqarah: 208). Islam dipahami sebagai sistem Ilahiyah; bukan sistem Jahiliyah. Hukum yang diterapkan adalah hukum Allah; bukan hukum Jahilyah. Ini diisyaratkan dalam al-Qur’an: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka cari; dan hukum manakah yang lebih baik selain hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (Qur’an Surat al-Maidah/5: 50). Tipe kelima ini, agaknya, belum terealisasi dalam kehidupan keseharian umat Islam saat ini. 

Implementasi Syari’at Islam di Aceh: Format Awal
Melihat tipologi dan karakteristik pelaksanaan syari’at Islam seperti digambarkan di atas, implementasi ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan ternyata tidak semudah wacana yang berkembang selama ini. Apalagi kita dihadapkan kepada persoalan yang sangat esensial yakni ‘syari’at’. Selama ini kita disibukkan dengan persoalan-persoalan fiqhiyyah yang cendrung membingungkan; dan pada tataran tertentu menimbulkan iftiraq (perpecahan) di antara umat Islam. Tentu saja antara syari’at dan fiqh berbeda. Syari’at adalah aturan-aturan atau hukum Allah dan Rasul-Nya yang bersifat umum dan objektif dengan rujukan al-Qur’an dan al-Sunnah. Sedangkan fiqh adalah pemahaman tentang syari’at yang cendrung bersifat subjektif. Dengan demikian fiqh melahirkan pemahaman yang bervariasi; sedangkan syari’at menyatukan keanekaan pemahaman yang bervariasi karena rujukannya jelas, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa syari’at adalah ajaran Ilahi yang ‘melangit’; sedangkan fiqh ialah ajaran Ilahi yang ‘membumi’. Jadi, tugas kita adalah bagaimana menerjemahkan syari’at Ilahiyah-samawiyah ke lughat insaniyah-ardhiyah yang applicable.

  Penting dicatat bahwa penegakan syari’at Islam tidak akan berjalan dengan baik dan sukses tanpa keterlibatan semua pihak. Selain insan akademik, umara, ulama, kaum santri, tokoh adat, dan pemuka masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap suskses atau tidaknya aplikasi syari’at Islam di Aceh. Tambahan pula, keberadaan Mahkamah Syar’iyah berikut tugas-tugasnya adalah kunci utama keberhasilan penegakan hukum Allah di bumi para syuhada’ itu. Last but not least, adalah memberikan wewenang penuh atau otonomi, tanpa ada intervensi dari ‘luar’, kepada Mahkamah Syar’iyah untuk menentukan kebijakannya dalam menjalankan roda syari’at Islam tersebut. Tanpa itu, Undang-undang Otonomi Khusus dan Qanun Nanggroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam akan menjadi dokumen sejarah; yang suatu ketika menjadi collective memory generasi Aceh. Kita dan kebanyakan umat Islam di daerah-daerah lain yang komitmen dengan Islam mengharapkan agar Aceh menjadi sampel atau contoh dalam penerapan syari’at Islam. Kita tidak ingin ‘lampu hijau’ itu mati di tengah-tengah antrian panjang para musafir. Barangkali syari’at Islamlah yang mampu menyatukan dan mendamaikan insan-insan yang bertikai dan sekaligus melestarikan perdamaian yang sedang berlangsung. Peluang untuk menjalankan syari’at Islam patut disikapi secara arif, bijak, dan penuh keikhlasan. Kalau tidak demikian, maka ‘lonceng kegagalan’ akan berbunyi lagi dan rakyat Aceh  akan tenggelam dalam fiasco yang mengecewakan.

Hukuman Cambuk: Fenomena Awal Penerapan Syari’at Islam

            Untuk mengetahui bagaimana hukuman cambuk diaplikasikan, perlu kiranya belajar dari negara-negara yang sudah memberlakukannya. Di sini akan paparkan pelaksanaan hukuman cambuk di beberapa negara, antara lain: Malaysia, Pakistan, dan Iran. Ketiga negara ini sudah lama menerapkan hukuman cambuk sebagai sanksi yang diberikan kepada para pelanggar di bidang tindak pidana tertentu. Sebagai format awal pelaksanaan hukuman cambuk ini, Aceh perlu belajar dari ketiga negara tersebut sebagai perbandingan. Sebab itulah kajian ini merasa perlu mengemukakan kasus hukuman cambuk di tiga negara tersebut dengan karakteristik yang berbeda.

1. Pengertian Hukuman Cambuk

            Hukuman cambuk, sebat atau dera dalam bahasa Arab disebut jald  berasal dari kata jalada  yang berarti memukul di kulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Jadi hukuman itu sangat terasa di kulit meskipun sebenarnya ia lebih ditujukan untuk membuat malu dan mencegah orang untuk berbuat kesalahan daripada menyakitinya. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa orang yang dihukum cambuk tidak disuruh membuka pakaian sama sekali, tetapi hanya diminta untuk menanggalkan  pakaian yang tebal yang dapat menahan pukulan.  Ini juga disebut oleh Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa orang yang dihukum cambuk harus memakai pakaian dalam, sepotong atau rangkap. Dalam sebuah riwayat disebutkan pula bahwa sebaiknya bagian tubuh yang didera bukan hanya pada satu tempat, melainkan di beberapa tempat dengan tujuan agar tidak mengakibatkan luka pada satu tempat tertentu.   Walaupun demikian harus dijaga jangan sampai memukul muka dan kemaluan. Ketentuan-ketentuan ini seperti terlihat nanti, sepenuhnya di adopsi oleh kaidah-kaidah hukuman sebat yang diterapkan di Malaysia tahun 1987.
           
2. Hukuman Fisik: Antara Pro dan Kontra
            Fiqh jinayat atau hukum pidana mengandung kontradiksi dalam dirinya.  Aturan hukum dibuat sebenarnya adalah untuk melindungi manusia dari berbagai kesulitan, kerugian, derita dan nestapa. Tetapi hukum pidana justru mengatur pemberian nestapa dan derita kepada manusia yakni mereka yang melanggar hukum.  Jadi, untuk menegakkan hukum, hukum pidana terpaksa menempuh jalan menghukum pelanggarnya dengan menjatuhkan nestapa dan derita kepada masyarakat.
            Dalam syari’at Islam terdapat berbagai macam ketentuan hukuman yang tentu saja berupa derita dan nestapa terhadap pelaku kejahatan, seperti zina, pencurian, pembunuhan dan penuduhan.    Dalam al-Qur’an pelaku zina dikenakan hukuman cambuk.  Namun, berdasarkan hadits-hadits nabi pelaku zina terbagi dua: muhshan dan ghairu muhshan. Pezina muhshan ialah pelaku zina yang telah kawin (nikah); sedangkan ghairu muhshan artinya pelaku zina yang belum kawin.  Pelaku zina yang telah kawin akan dirajam sebagai hukumannya; sedangkan yang belum kawin akan dicambuk seratus kali dan kemudian diasingkan ke suatu tempat yang kedua pelakunya tidak mungkin bertemu (selama satu tahun), sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam teks al-Qur’an dan keterangan dalam hadits Rasulullah.
            Mengenai masalah ini, telah muncul pandangan pro dan kontra di kalangan para sarjana Muslim: benarkah ada ketetapan hukum rajam (melempar dengan batu) dalam Islam? Bukankah itu adalah hukuman yang terdapat dalam hukuman tradisi Yahudi? Mengapa Islam kembali menerapkannya?  Karena itu, ada anggapan bahwa hukuman rajam yang diterapkan pada masa nabi adalah terhadap pelaku zina di kalangan Yahudi, karena Islam juga memerintahkan Yahudi dan Nasrani menjalankan hukum-hukum yang tertera dalam kitab mareka.  Selain itu, muncul pula perdebatan mengenai hukuman syari’at Islam terhadap pelaku kejahatan yang bukan Muslim.  Jumhur ulama mengatakan bahwa hukuman diterapkan kepada semua pelaku kejahatan, baik muslim maupun non-Muslim; namun ada pendapat yang mensyaratkan agar seseorang dapat dikenakan hukuman had sesuai dengan syari’at Islam.
            Dalam teori hukum modern pun ada diskusi tentang asas teritorial dan asas personal. Akan tetapi umumnya yang dianut asas personal yang berlaku dalam hukum perdata; sedangkan asas teritorial berlaku dalam hukum pidana.  Ini berarti bahwa dalam hukum pidana jurisdiksi hukumnya adalah berdasarkan wilayah. Siapa pun yang melanggar kaidah hukum pidana di suatu wilayah, ia terkena ketentuan hukum pidana yang berlaku di wilayah tersebut. 

3.      Hukum Islam: Interpretasi dan Kontekstualisasi

            Perdebatan di atas memperlihatkan terbukanya hukum Islam terhadap interpretasi yang luas.  Nabi sendiri agaknya telah melakukan interpretasi ketika menerapkan rajam bagi palaku zina Muslim.  Sebab, al-Qur’an sama sekali tidak menyebutkan hukuman seperti itu.  Mungkin saja nabi terinspirasi oleh tradisi Yahudi yang menerapkan hukuman rajam itu, sehingga menambahkannya ke dalam tradisi Islam; dan diterapkan khusus bagi pezina yang telah kawin. Ini mengisyaratkan bahwa orang yang telah kawin kemudian melakukan zina, maka hukumannya harus lebih berat.
            Hukuman terhadap pelaku pencurian mungkin dapat dijadikan contoh lebih konkret. Dalam al-Qur’an ditetapkan bahwa pencuri, baik laki-laki maupun perempuan dipotong tangannya. Tidak ada keterangan lebih jauh disebutkan, misalnya tentang jumlah curian, kondisi saat terjadi pencurian dan sebagainya.  Karena itu ada pemikir Muslim, seperti al-Hasan dan kelompok Zahiri yang mengatakan setiap pencurian, dalam bentuk apa pun dan sejumlah apa pun, dikenakan had potong tangan.  Ini berbeda dengan pandangan jumhur ulama yang berpendapat bahwa ada syarat-syarat tertentu yang menjadikan seseorang dipotong tangannya jika ia mencuri.  Mareka berdalil dengan hadist nabi yang menyebutkan: tangan seorang pencuri yang dikenakan hukuman potong tangan itu ada nisab atau batasnya yang jelas.
            Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, pernah seorang pencuri tidak dihukum potong tangan karena ia mencuri dalam keadaan krisis pangan.  Umar sepertinya mengerti bahwa pencurian yang dilakukan orang tersebut bukan terdorong oleh semangat jahatnya, tetapi karena terdesak oleh kesulitan ekonomi semata.  Jadi dia “benar-benar” dalam keadaan “darurat”.  Dalam hal ini Umar telah melakukan suatu interpretasi hokum yang belum pernah dilakukan  oleh siapa pun pada masa tersebut. Tindakan Umar ini memperlihatkan kejeniusannya dalam memahami semangat hukum Islam.  Pada dasarnya, hukuman adalah dalam rangka meredam kejahatan.  Jadi, jika kejahatan itu sendiri bersifat “semu”, tidak sengaja, atau tidak diniatkan untuk menzalimi orang lain atau hanya karena terpaksa dan bersifat kasuistik. Umar menyimpulkan bahwa pencurian dalam keadaan terpaksa itu dapat dimaafkan.  Dan kalau pun dihukum, maka hukumannya dapat diringankan.
            Semua ini memperlihatkan kelenturan hukum Islam dalam sejarah sebagaimana dipraktikkan oleh nabi sendiri dan para sahabat.  Kelihatannya hukum itu dapat diinterpretasikan sejalan dengan perkembangan budaya, sosial dan psikologi masyarakat yang berada di suatu tempat dan zaman tertentu.  Tidak ada kekakuan dalam hukum Islam sebab Islam bertujuan untuk menyejahterakan umat dan menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan untuk keselamatan hidup mereka di dunia ini dan di akhirat nanti.
            Terlebih lagi jika diperhatikan bahwa hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan secara sangat hati-hati. Umar pernah menyatakan bahwa kekeliruan dalam meniadakan hukuman lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman.  Empat orang saksi bagi ketetapan hukuman terhadap pelaku zina hampir-hampir saja dapat dikatakan mustahil dalam konteks zaman sekarang ini.  Karena itu, tidak ada salahnya persoalan ini didiskusikan kembali secara lebih mendalam sesuai dengan semangat hukum yang dikenal masyarakat sekarang ini.



4.      Praktik Hukuman Cambuk di Malaysia


            Di negara Malaysia ketentuan-ketentuan hukuman cambuk terdapat paling kurang dalam empat undang-undang jinayah yaitu; Undang-undang Pidana (F.M.S. Cap. 45), Undang-undang persenjataan 1960 (Akta 206), senjata api (hukuman-hukuman tambahan Akta 1971, dan Ordinansi obat-obat berbahaya 1952. Dalam hukum Pidana persoalan cambuk terdapat dalam tiga puluh lima seksi, kebanyakannya sebagai hukuman tambahan untuk penahanan dan sebuah alternatif untuk sebuah denda.
            Dalam Akta persenjataan 1960 dan akta 206 cambuk tidak kurang dari  enam kali disiapkan sebagai hukuman tambahan untuk tahanan hidup sementara untuk hukuman mati tidak dijalankan  dalam pasal 14 (1). Ini hukuman bagi produksi senjata tanpa izin dan yang melanggar peraturan dalam surat izin (pasal 14 (1) (ii) Akta persenjataan 1960 dan Akta 206). Sebat juga disediakan sebagai hukuman tambahan untuk denda dan penahanan untuk sebuah kejahatan pemilikan persenjataan dan amunisi secara tidak sah (pasal 33 Akta persenjataan 1960 dan Akta 206), jumlah cambuk di sini tidak dipastikan.
            Dalam akta senjata api (hukuman-hukuman tambahan) Akta 1971 sebat dilakukan tidak kurang dari enam kali sebagai hukuman tambahan bagi hukuman penjara yang bukan hukuman mati karena memiliki senjata api dalam ketentuan jadwal kejahatan (pasal 5 Akta senjata api 1971). Cambuk yang tidak kurang dari tiga pukulan disediakan sebagai hukuman tambahan untuk hukuman penjara dan untuk masa yang bisa diperpanjang sehingga sepuluh tahun bagi yang memamerkan sebuah senjata api palsu dalam ketentuan jadwal kegiatan (pasal 6 Akta senjata api 1971).
            Cambuk yang tidak kurang dari enam pukulan disediakan sebagai hukuman tambahan untuk hukuman penjara hidup, jika hukuman mati tidak dijatuhkan (pasal 7 (1) (b) Akta senjata api 1971). Cambuk yang tidak kurang dari enam kali pukulan juga disediakan sebagai hukuman tambahan untuk masa yang bisa diperpanjang selama empat belas tahun untuk pemilikan senjata api yang tidak sah (pasal 8 Akta senjata api 1971). Terakhir cambuk yang tidak kurang dari enam kali pukulan disediakan sebagai hukuman tambahan untuk hukuman penjara dalam masa yang bisa diperpanjang sehingga empat belas tahun bersama-sama dengan orang yang membawa persenjataan (pasal 9 Akta senjata api 1971).
            Dalam Ordinansi Obat-obat berbahaya 1952 sebagaimana yang diamandemenkan oleh Akta Obat-obat Berbahaya 1975, Akta A293, pasal 6A telah ditambah dalam Ordinansi di mana pelaku kejahatan akan dihukum dengan hukuman cambuk tidak kurang dari tiga kali pukulan dalam kasus candu buruk yang mempunyai bobot lebih dari dua kilogram (pasal 6A Ordinansi  1952 amandemen seksi 3 dari Akta Amandemen A 293).
            Cambuk yang tidak kurang dari tiga kali pukulan juga dikenakan kepada kriminal pemilik candu yang lebih dari 250 gram (pasal 9 (2) Ordinansi  1952 amandemen pasal 4 dari Akta Amandemen A 293). Tetapi profesi ini kemudian telah diulang. Berkenaan dengan tempat pelaksanaan cambuk, pasal 286 Undang-undang pelaksanaan kriminal menetapkan pelaksanaannya dapat dilakukan  di mana-mana tempat dan waktu atas penetapan pengadilan.
            Berkenaan dengan waktu pemberian hukuman, pasal  287 (1) Undang-undang yang sama menjelaskan;  ketika tertuduh dihukum cambuk sebagai tambahan hukuman penjara cambuk tidak akan dilaksanakan sampai  sesudah  berakhirnya tujuh hari dari tanggal penetapan hukuman, atau jika hukuman penjara memperpanjang sehingga empat belas hari sampai sesudah berakhir dari empat belas hari sejak tanggal hukuman, atau jika sebuah pengajuan banding dibuat dalam waktu itu sampai hukuman dipastikan oleh pengadilan banding.
            Dalam ayat dua dijelaskan: cambuk akan dijatuhkan sesegera yang dapat dipraktikkan sesudah berakhirnya masa tujuh atau empat belas hari, seperti dalam kasus naik banding sesegera dapat dipraktikkan setelah penerimaan peraturan dari pengadilan banding yang memastikan hukuman.
            Beberapa ayat dalam pasal 288 Undang-undang Pelaksanaan Kriminal menggambarkan model-model eksekusi. Ayat satu, ketika tertuduh dihukum cambuk jumlah pukulan akan dikhususkan dalam hukuman. Untuk kasus orang dewasa cambuk sampai dua puluh empat kali pukulan, dan sepuluh kali cambuk bagi  kejahatan yang dilakukan remaja.
            Ayat dua, cambuk akan dijatuhkan pada beberapa bahagian tubuh tertuduh sebagaimana menteri telah merobah dengan tanggung jawab kepada peraturan umum dari waktu ke waktu secara umum berlangsung. Ayat 3, rotan yang digunakan untuk cambuk tidak boleh lebih dari setengah satu inci dalam diameter. Ayat empat, dalam kasus penjahat remaja, cambuk dapat dikenakan dalam konteks disiplin sekolah dengan sebuah rotan yang jelas.
            Ayat 5, ketika seseorang dikurung dalam sebuah penjara dari satu atau lebih pelanggaran-pelanggaran yang berbeda, dua atau lebih yang secara legal dapat dihukum dengan cambuk, hukuman ganda dari cambuk dapat diberikan oleh pengadilan bagi mana-mana pelanggaran tidak dapat sesuatu yang terdapat dalam hukum tertulis bagi yang kontra demikian, dua puluh empat pukulan untuk kasus dewasa dan sepuluh kali sebat bagi remaja yang tersalah.
            Selanjutnya, pasal 289 menggambarkan orang-orang yang tidak kena cambuk dalam hal ini adalah: (a) wanita, (b) orang lelaki yang telah dikenakan hukuman mati, (c) orang-orang lelaki yang oleh pengadilan telah mengakui berusia lebih dari lima puluh tahun.
            Berkenaan dengan kesehatan badan pelaku kesalahan, pasal 290 menerangkan: ayat satu, hukuman cambuk tidak akan dijatuhkan kecuali kalau ada sebuah surat keterangan dokter yang menegaskan bahwa tertuduh berada dalam keadaan kesehatan yang sangat baik untuk dilaksanakan hukuman. Ayat dua, apabila sedang berlangsungnya eksekusi cambuk lalu didapati sebuah keterangan dokter bahwa sang tersangka tidak fit kesehatannya, lalu cambuk harus diberhentikan. Pasal tiga, di mana cambuk dilakukan di bawah pasal 293 sebuah surat keterangan kesehatan dokter tidak perlu dihadirkan, namun cambuk tidak bisa dilakukan kecuali kalau itu muncul pada pengadilan bahwa tersangka adalah berada dalam perasaan kesehatan yang fit untuk melaksanakan hal yang sama.
            Pasal 291 menggambarkan prosedur apabila cambuk tidak dapat dilaksanakan,. Ayat satu, apabila ada kasus di bawah pasal pelaksanaan hukuman cambuk secara penuh atau sebahagiannya dicegah dari eksekusi, tersangka dapat diamankan dalam tempat yang terjamin keamanan sehingga pengadilan melepaskan hukuman yang dapat merefisikannya. pengadilan tersebut boleh dalam keputusannya membebaskan hukuman atau hukuman tertuduh dalam sebagai pengganti cambuk atau dalam sebagai pengganti terlalu banyak hukuman cambuk sebagaimana yang telah tidak dieksekusikan terhadap hukuman penjara dari masa yang dapat diperpanjang sehingga dua belas bulan, yang barangkali dalam tambahan untuk mana-mana hukuman lain kepada yang dia sudah menghukumnya terhadap kesalahan yang sama. Ayat dua, tiada suatu pun dalam pasal ini yang dapat didalami terhadap otorisasi pengadilan dalam menjatuhkan hukuman penjara untuk sebuah perpanjangan waktu bahwa tertuduh dapat dijatuhkan oleh hukum atau pengadilan berkompeten untuk memberikan hukuman.
            Selama ini Malaysia juga telah menetapkan hukuman cambuk kepada pendatang asing yang tidak memiliki dokumen yang sah, peraturan ini juga berlaku di negara Singapura. Di negara singa ini beberapa tahun yang lalu pernah menjatuhkan hukuman sebat (cambuk) terhadap warga negara asing karena merusak mobil orang di sana. Sementara di Malaysia khusus berkenaan dengan Undang-undang khalwat (pacaran atau berkencan pria dan wanita) ada petugas khusus yang melacak orang-orang ber-khalwat di seluruh negara untuk kemudian dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sebagai gambaran mengenai qanun jinayat khususnya tentang hukuman sebat di Malaysia, di sini dipaparkan butir-butir ketetapan atau kaidah-kaidah hukum sebat yang berlaku di Kerajaan Kelantan, yang dikutip sebagaimana aslinya. Hukuman sebat ini diberi nama:  Kanun Jenayah Syariah 1985 (Kedah-kaedah Hukuman Sebat 1987), sebagai berikut:

Pada menjalankan kuasa-kuasa yang diberi oleh seksyen 35 Kanun Jenayah Syariah 1985, Raja dengan ini membuat Kaedah-Kaedah yang berikut :
1.            Kaedah-Kaedah ini bolehlah dinamakan Kaedah-Kaedah Hukuman Sebat 1987 dan hendaklah disifatkan telah mula berkuatkuasa pada Hib Mei 1987.
2.            Dalam Kaedah-Kaedah ini melainkan isi kandungannya menghendakkan makna lain: "rotan" ertinya rotan yang berukuran satu meter panjang dan satu sentimeter garis pusat; "sebat" ertinya pukulan dengan rotan oleh pegawai yang ditugas khas oleh pihak berkuasa penjara.
3.            Apabila seseorang pesalah dihukum sehat maka hukuman itu hendaklah dijalankan di tempat dan masa seperti yang diarahkan oleh Mahkamah.
4.            Pelaksanaan sebat hendaklah disaksikan oleh sekurang-kurangnya empat orang lelaki Islam.
5.            (1) Hukuman sebat itu tidak boleh dijalankan sehingga tamat tempoh empat belas hari daripada tarikh hukuman itu atau, jika ada rayuan, sehingga keputusan dibuat oleh Mahkamah Rayuan Syariah.
(2) Hukuman sebat itu hendaklah dijalankan seberapa segera yang boleh selepas tamat tempoh seperti di bawah sub-kaedah (1).
6.            Pukulan hendaklah dengan menggunakan rotan yang ditetapkan.
7.            Pukulan sebat hendaklah di merata-rat anggota tubuh kecuali muka, kepala, dada dan kemaluan.
8.            (1) Pukulan sebat hendaklah dengan cara sederhana.
   (2) Orang yang menyebat tidak boleh mengangkat rotan hingga ke atas kepalanya.
         (3) Pukulan sebat hendaklah berturut-turut dan tidak melebihi bilangan   yang diperintahkan oleh Makamah.
9.            Ketika disebat pesalah hendaklah berdiri dan memakai pakaian nipis yang menutup auratnya mengikut Hukum Syarak.
10.        (1)Tiada pukulan sebat boleh dibuat melainkan di hadapan pegawai perubatan yang beragama Islam dan telah mengesahkan bahawa pesalah itu sihat dan layak menerima pukulan itu.
(2)Jika dalam masa menjalankan pukulan itu pegawai perubatan menge­sah­kan yang pesalah itu tidak boleh lagi menerima pukulan maka ianya hendaklah diberhentikan.
(3)Jika pegawai perubatan mengesahkan pesalah tidak sihat maka tindakan di bawah kaedah 11 hendaklah diambil.
11.        Tertakluk kepada kaedah 10 (2) dan 10 (3), jika pukulan sebat tidak dapat dijalankan sebahagian daripadanya atau semua sekali, maka pesalah hendaklah ditahan atau dibebaskan dengan jaminan sehingga Mahkamah yang menjatuhkan hukuman itu menyemak semua laporan pegawai perubatan yang memeriksa pesalah itu dan Mahkamah yang tersebut bolehlah menimbangkan sama ada menunggu sehingga pesalah itu sembuh, jika ada harapan untuk sembuh atau, jika tidak ada harapan untuk sembuh, menjalankan pukulan sebat itu:
Dengan syarat bahawa rotan yang digunakan ke atas pesalah yang tidak ada harapan untuk sembuh adalah ringan dan lebih kecil daripada yang ditetapkan di bawah kaedah 6. Bertarikh pada 18hb Mei 1987, [SUK. (Kn) 335/50/IV.].

5.      Penerapan Hukuman Cambuk di Pakistan

            Di Pakistan persoalan hukuman cambuk tertuang dalam Ordinansi Nomor IX Tahun 1979 Republik Islam Pakistan. Pasal empat berbunyi: “Cambuk mengeluarkan gagangnya akan menjadi satu pucuk saja dan lebih disukai dibuat dari kulit, atau rotan, atau ranting pohon kayu, tidak mempunyai tombol atau bergabung terhadapnya, panjang dan tebalnya tidak akan melebihi dari 1.22 meter dan 1.25 centimeter berturut-turut.”
            Pasal 5 menyatakan; ketentuan-ketentuan yang dapat diaplikasikan dalam eksekusi hukuman cambuk. Ayat (a), sebelum memulai eksekusi hukuman, sang korban harus dicek kesehatannya oleh pihak kesehatan yang berhak untuk itu. Itu untuk meyakinkan bahwa eksekusi hukuman tidak akan menyebabkan kematian sang korban; ayat (b), kalau korban terlalu tua atau terlalu lemah, mempunyai cara hukuman cambuk yang dihadiahkan, yaitu jumlah sebatan akan dapat dilaksanakan dengan cara interval untuk menghindari eksekusi hukuman yang tidak mematikan korban; ayat (c), Kalau korban dalam keadaan sakit eksekusi hukuman dapat ditunda sehingga sang korban dinyatakan fit dan sehat oleh dokter yang punya otoritas untuk itu dan kemudian dapat dilaksanakan hukuman; ayat (d), kalau korban seorang wanita hamil, eksekusi hukuman dapat ditunda sehingga berakhir masa dua bulan setelah melahirkan; ayat (e), kalau pada masa eksekusi hukuman, cuaca terlalu dingin atau terlalu panas, eksekusi dapat ditunda sehingga cuaca menjadi normal; (f), hukuman dapat dieksekusikan dengan kehadiran pihak medikal yang punya otoritas pada tempat umum seperti daerah pemerintah bisa diarahkan ke maksud itu; (g), pribadi yang diarahkan kepada eksekusi hukuman akan dapat memberi pengertian yang matang; (h), dia akan mengajukan cambuk dengan kekuatan moderat tanpa mengangkat tangan keatas kepalanya lalu tidak mengoyakkan kulit sang korban; (i), sesudah dia memohon sebatan, dia akan mengangkat cambuk diatas dan tidak akan melepaskan; (j), sebatan dapat disebarkan keatas tubuh korban, lalu bagaimanapun, sebatan tidak boleh dilakukan terhadap kepala, wajah, perut atau dada, atau bahagian-bahagian lembut dari badan sang korban; (k), pakaian korban harus dilepaskan dari tubuh sebagaimana diarahkan oleh petunjuk Islam untuk diletakkan; (l), sebatan akan diaplikasikan terhadap kasus seorang lelaki, manakala ia sedang berdiri, dalam kasus seorang perempuan ketika dia sedang duduk; (m), jikalau sudah memulai eksekusi hukuman, pihak medikal yang punya otoritas berpendapat bahwa di sana ada keprihatinan dari kematian korban, eksekusi hukuman dapat ditunda sehingga dokter berwenang memastikan secara fisik dia benar-benar fit untuk melaksanakan sisa hukuman.
            Pasal 6: (1) dalam kasus seorang korban yang dikenakan hukuman cambuk sampai eksekusi hukuman berada dalam keadaan komplit, ia dibebankan dengan hukuman penjara yang simpel. (2) kalau dalam pendapat dokter berwenang korban tidak bisa disebabkan oleh usia tua, tidak sehat atau dengan alasan-alasan lain, melaksanakan seluruh atau sebahagian hukuman cambuk, kasus ini harus dirujuk ke pengadilan yang bisa melaksanakan eksekusi hukuman dalam bebearapa cara sebagaimana itu bisa dianggap fit. Pasal 7: tempat pemerintah bisa dengan notifikasi dalam kepengurusan lembaran negara membuat peraturan-peraturan untuk maksud-maksud dari membawa kedalam efek ketentuan-ketentuan ordinansi ini.

6.      Aplikasi Hukuman Cambuk di Iran

Negeri Iran (Republik Islam Iran) juga mengenal adanya hukuman cambuk (pemecutan) dan bermacam-macam hukuman yang bertujuan untuk memberi malu orang-orang yang bersalah. Satu berita kecil yang dimuat Harian Kompas tanggal 19 November 2002, misalnya, memberitakan tentang pelaksanaan hukuman bagi lima orang geng anak muda yang berkelahi dan terbukti mencuri. Hukumannya adalah bahwa mereka harus naik keledai dengan kepala menghadap ke arah belakang.  Selain hukuman itu, pengadilan masih menambah hukuman badan berupa pemecutan dan juga hukuman penjara. Seperti juga hukuman naik keledai, hukuman cambuk biasanya dilakukan di depan umum. Agaknya, kajian lebih lanjut mengenai hukuman cambuk ini, terutama di Iran, perlu dicermati.[19]

7.      Implementasi Hukuman Cambuk di Aceh: Diskriminatif?

Sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Kabupaten Bireuen pada tanggal 24 Juni 2005, yaitu pelaksanaan syari’at Islam dengan mencambuk sejumlah pemain judi. Mereka semuanya berjumlah 27 orang. Namun, salah seorang di antara mereka batal dicambuk karena bersedia membayar denda ganti rugi sebesar Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Ini berarti yang akan dieksekusi 26 orang. Untuk hari pertama hanya 15 orang saja yang diperlihatkan kepada publik. Mereka dinyatakan siap  dicambuk setelah melalui pemerikasaan medis. Sedangkan 11 orang lainnya akan dicambuk pada kesempatan lain. Setelah mereka dinyatakan sehat, maka pencambukan pun dimulai di halaman belakang Masjid Agung Bireuen, Aceh Utara..[20]
Mereka dikenakan hukuman cambuk karena tertangkap tangan sedang bermain judi. Perbuatan mereka dinyatakan telah melanggar Qanun (peraturan daerah) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Syari’at Islam di Aceh. Pengadilan Syari’ah Bireuen menjatuhkan hukuman cambuk kepada mereka di depan umum. Mereka dicambuk sebanyak enam hingga sepuluh kali cambukan. Para terhukum tampil dengan mengenakan pakaian seragam, yakni jubah putih panjang hingga lutut. Cambuk yang digunakan adalah rotan panjangnya 1 meter dengan diameter 0,75 cm.
Selain kasus judi, kejahatan lain yang juga terkena ancaman hukuman cambuk di Aceh adalah khalwat (mesum) dan khamar (minuman keras). Tiga kali berturut-turut tidak shalat Jum’at di masjid juga akan dikenakan hukuman cambuk. Pada bulan Ramadhan, orang dewasa yang kedapatan tidak berpuasa juga akan dikenakan hukuman cambuk. Hukuman cambuk juga berlaku bagi orang yang terbukti menyebarkan ajaran atau aliran sesat.  Menurut Qanun, hukuman cambuk dapat juga berganti dengan penjara atau denda. Bagi yang sanggup membayar denda akan terbebas dari hukuman. Ditinjau dari segi ini, maka hukuman cambuk yang diberlakukan itu bersifat diskriminatif. Artinya, hukum hanya menyentuh kalangan bawah saja. Sedangkan kalangan atas, seperti pejabat dan orang kaya yang terlibat dalam salah satu dari tiga pelanggaran tersebut pasti memilih membayar denda daripada dicambuk atau dipenjara. Karena itu pelaksanaan hukum tidak merata; atau dengan kata lain tidak adil, lebih memihak kepada orang-orang kaya dan mampu. Melihat kenyataan ini, berbagai tanggapan muncul, kalangan masyarakat Aceh mempertanyakan bahwa hukuman cambuk hanya berlaku untuk orang miskin yang tidak berdaya. Padahal jika hukum Islam ini dterapkan dengan benar, seharusnya petugas bersikap tegas tanpa pandang bulu. Setidaknya mereka belajar dari kasus Khalifah Umar bin Khattab yang pernah mencambuk sendiri anaknya di depan umum karena melakukan perbuatan mesum; atau seperti sumpah nabi Muhammad yang akan memotong tangan anaknya, Fatimah bila terbukti mencuri.
Begitulah feomena awal tentang penerapan syari’at Islam di Aceh. Kendatipun masih ada sebagian masyarakat yang tidak puas dengan pemberlakuan syari’at Islam itu, bagaimana pun juga, hukuman sudah terjadi. Bagi mereka yang sudah merasakannya, tinggal berpikir lebih jauh karena tidak saja membuka aib (malu) bagi dirinya tetapi juga bagi keluarganya. Pada dasarnya penerapan syari’at Islam tidak lebih dari sekadar mendidik masyarakat agar sadar hukum dan tidak melanggar suatu ketetapan demi keselamatan dan keamanan bagi semua.


Kesimpulan

Kendatipun pemberlakuan syari’at Islam di Aceh telah ditetapkan dalam undang-undang dan Qanun (peraturan daerah), sampai sekarang belum dapat diaplikasikan secara komprehensif dalam tata kehidupan masyarakat Aceh. Tampaknya, pemberlakukan syari’at Islam hanyalah sebatas strategi pemerintah untuk “menjinakkan hati” orang-orang yang bertikai selama konflik sosial di Aceh. Konsekuensinya, aplikasi syari’at Islam tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah. Justru dukungan kuat datang dari kalangan masyarakat bawah (grass root). Hingga kini, hanya Kabupaten Bireuen, Aceh Utara yang sangat serius mengaplikasikan syari’at Islam sebagaimana yang tertuang dalam Qanun Nanggroe Aceh Darussalam. Itupun masih terbatas pada aspek kriminalitas atau tindak pidana. Anehnya, syari’at Islam yang diberlakukan itu baru pada tataran kulit luar dan berlaku bagi kelas bawah, sedangkan elite politik dan pejabat pemerintah belum tersentuh sama sekali. Barangkali inilah sebabnya mengapa pihak penyelenggara kekuasaan tidak begitu berminat mengaplikasikan syari’at Islam itu. Bagi mereka, syari’at Islam hanyalah sebagai jargon politik untuk meredakan kegelisahan masyarakat yang mendambakan kejayaan masa lalu ketika syari’at Islam pernah berlaku  dan berjalan efektif dalam kehidupan sosial dan politik di Aceh. Barangkali, para penguasa merasa khawatir kalau syari’at Islam efektif, mereka tidak leluasa melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Implementasi syari’at Islam hanyalah salah satu aspek dari penyelesaian konflik Aceh yang membutuhkan penanganan secara komprehensif. Karena itu konflik Aceh tidak akan selesai hanya dengan sekadar penerapan syari’at Islam, tanpa didukung oleh berbagai aspek lain seperti mewujudkan keadilan dan membangun perekonomian untuk menyejahterakan masyarakat. Implementasi syari’at Islam akan mendorong efektifitas penegakan hukum bagi ketertiban masyarakat, karena aturan-aturan hukum diturunkan dari ajaran agama yang telah menyatu dalam kesadaran kolektif masyarakat. Ketaatan terhadap hukum dipandang sebagai bahagian dari ketaatan beragama.
            Penerapan syari’at Islam memenuhi salah satu aspirasi rakyat Aceh, yaitu kebutuhan untuk menjaga identitas. Islam merupakan identitas Aceh yang telah terbangun melalui suatu proses perjalanan sejarah yang panjang. Rakyat Aceh sendiri telah menuntut implementasi syari’at Islam tersebut sejak masa awal kemerdekaan. Konon syari’at Islam ini pula yang menumbuhkan semangat nasionalisme rakyat Aceh untuk membela wilayah nusantara ini. Karena pengabaian kebutuhan tersebut pula konflik antara Aceh dengan Pemerintah Pusat terjadi. Ketika Pemerintah Pusat mengabulkan aspirasi masyarakat Aceh di saat konflik sudah terjadi maka maknanya akan menjadi lain, tidak sepenuh hati, dan dengan sendirinya kecurigaan pun muncul.
Kekejaman dan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat di mana law enforcement-nya rendah, justru jauh lebih besar bahayanya dan lebih merusak.  Hampir setiap hari di berbagai media cetak dan elektronik disajikan berita tentang pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan sebagainya. Tetapi hampir seluruhnya lenyap begitu saja tanpa penyelesaian hukum yang memadai.  Sebagai akibatnya tidak jarang kita baca berita lain ada pencuri atau orang yang dituduh mencuri atau orang yang diteriaki mencuri, lalu ditangkap kemudian dihakimi oleh massa beramai-ramai; dan bahkan ada yang sampai tewas lalu dibakar. Setelah diselidiki ternyata yang dituduh itu terbukti tidak bersalah. Dalam hal ini hukuman yang tegas atas dasar acuan yang jelas, agaknya memang diperlukan untuk menghindari kerusakan yang jauh lebih besar lagi.



BIBLIOGRAFI



Ali Muhammad, Rusjdi [Editor Hasan Basri], Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi, Jakarta: Logos dan Ar-Raniry Press, 2003.

Ali, Daud, dalam Heru Sisetyo, “Peluang Penerapan Hukum Islam dalam Perspektif Normatif dan Sosio-Politis,” Majalah Akses, (Vol. I, No. 1, 2001).

Arifin, Bustanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar, Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Hasjmy, A., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.

Ibrahimy, M. Nur El, Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh, Jakarta: Media Dakwah, 2001.

Mardjono, Hartono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997.

“Mencambuk yang Tak Bayar (dan Sipil)”, Majalah Aceh Kita, Edisi 018/Tahun II/Juli/2005.

Sulaiman, M. Isa, Aceh Merdeka Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000.

Suma, Muhammad Amin “Revitalisasi Syari’at Islam di Indonesia Antara Peluang dan Tantangan (Suatu Pengantar)” dalam Aiyub Ahmad, Fiqh Lelang dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Editor Hasan Basri), Jakarta: Kiswah, 2004.

Suny, Ismail, Bunga Rampai tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980.

Ula, Mutammimul, Prospek Penerapan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 1994).


Tentang Penulis

Hasan Basri adalah dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Nanggroe Aceh Darussalam. Gelar Master of Arts diperoleh dari Rijks Universiteit Leiden, Nederland. Selain aktif menulis buku, ia juga aktif meneliti dalam bidang ilmu-ilmu sosial: studi Islam, tasawuf, dan sejarah. Sekarang ia sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dalam disiplin Islamic Studies. Selain itu, dalam waktu yang sama, ia juga mengambil spesialisasi bidang Teknologi Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).



[1] Umaruddin, The Ethical Philosophy of al-Ghazali, (New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1996), hlm. 307.
[2] Sebutan ini didasarkan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang penetapan Provinsi  Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
[3] Lihat, Rusjdi Ali Muhammad [Editor Hasan Basri], Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi, (Jakarta: Logos dan Ar-Raniry Press, 2003), hal. 6.
[4] Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 28.
[5] Ibid., hal. 28.

[6] Ibid., hal. 29.
[7] Bandingkan, Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar, Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 70.
[8] Ibid., hal. 72.
[9] Baca Daud Ali, dalam Heru Sisetyo, “Peluang Penerapan Hukum Islam dalam Perspektif Normatif dan Sosio-Politis,” Majalah Akses, (Vol. I, No. 1, 2001), hal. 58-59.
[10] Ibid.
[11] Rusjdi Ali Muhammad, ibid., hal. 48-49.
[12]Lebih lanjut, baca Muhammad Amin Suma “Revitalisasi Syari’at Islam di Indonesia Antara Peluang dan Tantangan (Suatu Pengantar)” dalam Aiyub Ahmad, Fiqh Lelang dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, (Jakarta: Kiswah, 2004), hal. Xvii-xviii.
[13] Ibid.
[14] Mengenai sejarah masuknya Islam ke Aceh dapat dibaca dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993). Secara historis, Islam sudah masuk ke Indonesia, khususnya Aceh, sejak abad pertama hijriyah atau abad ketujuh Masehi, langsung dari Arab. Namun, menurut versi Barat menyebutkan bahwa Islam baru eksis di Indonesia pada abad ke-12 M. Lebih lanjut, baca juga Ismail Suny, Bunga Rampai tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980).

[15] Rusjdi Ali Muhammad, Op.Cit., hal. 327.

[16] Pemberontakan ini disebut juga peristiwa berdarah yang merupakan suatu tragedi bagi rakyat Aceh. Peristiwa ini terjadi pada masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo; peristiwa ini disebut juga Pemberontakan Daud Beureueh; tetapi rakyat Aceh menyebutnya sebagai Peristiwa Berdarah. Informasi lebih lanjut mengenai pemberontakan Daud Beureueh, baca M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh, (Jakarta: Media Dakwah, 2001).

[17] Gerakan Hasan Tiro disebut Aceh Merdeka, yang belakangan dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap Pemerintah RI Pusat; dan menuntut agar Aceh menjadi sebuah negara merdeka yang berdiri sendiri, tanpa campur tangan Pemerintah RI. Informasi lebih lanjut, baca M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000).
[18] Mutammimul Ula, Prospek Penerapan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Tarbiyatuna, 1994), hlm. 20-21.
[19] Rusjdi Ali Muhammad, op. cit., hlm. 109-122.
[20] “Mencambuk yang Tak Bayar (dan Sipil)”, Majalah Aceh Kita, Edisi 018/Tahun II/Juli/2005, hlm. 6-8.