Minggu, 14 November 2010

KAJIAN SURAT AL-FURQAN 1-16

KAJIAN SURAH AL-FURQAN AYAT 63 – 77

Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA




Sekarang tibalah kita pada bagian akhir surah al-Furqan. Pada bagian akhir ini kita akan mengkaji ayat 63-77. Dalam rangkaian ayat-ayat ini terdapat banyak nilai penting dan hikmah bagi kehidupan kita. Nilai dan hikmah ini digambarkan dalam bentuk profil atau sosok hamba Allah yang Pemurah atau dalam istilah al-Qur’an disebut dengan ‘ibadurrahman. Sosok ‘ibadurrahman adalah hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia dan terpuji sebagai calon penghuni surga.
Sekurang-kurangnya ada sepuluh sifat utama ‘ibadurrahman, yang diungkapkan dalam rangkaian ayat-ayat tersebut, yaitu: rendah hati, gemar shalat tahajjud, senang berdo’a, tidak boros, tidak berbuat syirik, tidak membunuh manusia, tidak berzina; bertobat dari dosa-dosa, tidak memberi kesaksian palsu dan berkata sia-sia, responsif terhadap ayat-ayat Allah, mendambakan keturunan yang baik, dan sabar dalam beragama. Di samping itu, ayat terakhir dari surah ini diceritakan sekilas tentang nasib atau kesudahan orang-orang musyrik sebagai kebalikan dari ‘ibadurrahman.

‘Ibadurrahman: Profil Hamba Allah Calon Penghuni Surga


            Ibadurrahman terdiri dari dua kata: ‘ibad dan rahman. ‘Ibad bentuk jamak (plural) dari kata ‘abdun yang berarti hamba atau orang yang hidupnya diperuntukkan beribadah kepada Allah. Sedangkan rahman adalah salah satu dari nama Allah yang artinya pemurah atau pengasih. Dikaitkan hamba dengan sifat Allah karena kedekatannya dengan Allah karena pada dirinya melekat seperangkat sifat mulia. Adapun tujuan Allah menyebut sifat-sifat ‘ibadurrahman ini agar orang-orang mukmin dapat meneladaninya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Berikut ini dipaparkan sifat-sifat mulia yang dimiliki ‘ibadurrahman.

1.      Rendah Hati dan Suka Mengucapkan Salam [Ayat 63]

Ayat 63 menjelaskan bahwa hamba Allah yang sejati adalah orang yang memiliki sifat-sifat mulia dan terpuji yaitu rendah hati (tawadhu’) dan suka mengucapkan salam kepada orang lain. Sifat tawadhu’ adalah ciri khas para nabi, rasul, dan ulama. Sifat tawadhu’ ini merupakan tanda kesalihan seseorang dan sekaligus menunjukkan kehambaannya di depan Allah. Orang yang memiliki sifat tawadhu’ berarti dia merasa hina di depan Allah dan tidak berlaku sombong dengan sesama manusia karena sifat sombong itu amat dibenci oleh Allah. Dalam surah Luqman ayat 18-19 Allah menerangkan dua sifat atau kebiasaan yang harus dijauhi; dan dua sifat atau kebiasaan yang harus diamalkan:

  • Dua sifat atau kebiasaan yang harus dijauhi ialah: pertama, memalingkan muka dari manusia. Kedua, berjalan di muka bumi dengan angkuh atau sombong. Kemudian Allah menyatakan bahwa Dia tidak senang kepada orang-orang yang berlaku sombong dan membanggakan diri. Dalam salah satu hadits Rasulullah disebutkan bahwa orang yang dalam hatinya terdapat secuil sifat sombong dapat menghalanginya memasuki surga.
  • Dua sifat atau kebiasaan yang harus diamalkan yaitu: pertama, bersikap sederhana dalam berjalan dan bertindak. Dan kedua, melembutkan suara ketika berbicara. Selanjutnya, Allah menegaskan bahwa seburuk-buruk suara adalah suara keledai. Ini mengisyaratkan bahwa suara yang kasar itu tidak enak didengar dan dapat menimbulkan permusuhan antar sesama manusia.

Kemudian, ‘ibadurrahman juga senang mengucapkan salam kepada semua manusia. Kata salam di sini dapat berarti kedamaian, keselamatan, atau ucapan yang menyenangkan hati. Di sini digambarkan ketika orang-orang jahil (bodoh atau jahat) menyapanya, maka dia mengucapkan kata-kata yang baik yakni ucapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain kendatipun sapaan yang ditujukan kepadanya bernada sinis atau menghina. Jadi, kemuliaan seseorang  ditandai pada kemampuannya dalam mengendalikan emosi ketika orang lain menyapa atau menegurnya dengan kata-kata yang tidak pantas. Namun, dia tetap membalasnya dengan senyum dan ucapan yang lembut. Dalam hal ini, al-Qur’an mengajarkan kita agar kejahatan dibalas dengan kelembutan. Allah berfirman: “Cegahlah kejahatan dengan cara yang lebih baik, jika ada permusuhan di antara sesamamu maka seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (Fushshilat/41: 34). Demikian juga Rasulullah bersabda: “Sampaikanlah salam kepada orang yang engkau kenal dan yang belum engkau kenal.” Sikap ini telah ditunjukkan Rasulullah dalam kehidupannya di mana setiap beliau menghadapi sikap orang yang membangkangnya, beliau membalasnya dengan penuh kelembutan. Dan tidak sedikit orang memeluk agama Islam hanya karena kelembutan Rasulullah dalam berdakwah.

2.      Gemar Shalat Tahajjud [Ayat 64]

Dalam ayat 64 ini mengandung isyarat bahwa hamba yang mulia adalah orang yang tiada malam yang dilaluinya tanpa melakukan shalat nafilah atau tahajjud.  Shalat sunat nafilah atau tahajjud adalah shalat yang dikerjakan pada waktu malam setelah shalat ‘Isya’, yang rentang waktunya ditetapkan sepertiga malam, seperdua malam, atau duapertiga malam (al-Muzzammil/73: 1-3 dan 20). Berdasarkan ayat ini, melakukan shalat tahajjud termasuk perbuatan mulia dan terpuji. Dan orang yang mau malakukannya termasuk hamba Allah sejati. Bahkan dalam surah al-Isra’/17: 79, Allah memerintahkan rasul-Nya agar mendirikan shalat tahajjud pada waktu malam. Kebiasaan baik Rasulullah ini patut kita teladani agar kita pun mendapat tempat terpuji di sisi Allah (maqaman mahmuda). Di samping itu, orang yang melaksanakan shalat tahajjud akan memperoleh pertolongan Allah berupa kekuatan lahir dan batil atau fisikal dan spiritual atau dalam istilah al-Qur’an disebut sulthanan nashira (al-Isra’/17: 80). Hanya orang yang melakukan shalat tahajjud yang memperoleh predikat ini. Sebab itulah ayat ini menyatakan bahwa salah satu sifat mulia yang melekat pada diri ‘ibadurrahman adalam gemar melakukan shalat malam (tahajjud). Lebih lanjut tentang shalat malam ini dapat dibaca dalam surah al-Sajdah/32: 16; dan surah al-Zumar/39: 9.

3. Gemar Berdo’a [Ayat 65-66]

Ayat 65-66 menyatakan bahwa ‘ibadurrahman itu gemar berdo’a atau memohon kepada Allah agar dijauhkan dari siksaan neraka Jahannam. Kebiasaan berdo’a ini telah menjadi amalnya sehari-hari yang muncul secara spontan dari perasaan imannya. Semakin banyak dia berdo’a maka semakin meningkat pula kesadarannya akan kemahakuasaan Allah dalam menentukan tempat bagi hamba-Nya. Maka, do’a yang paling penting adalah agar Allah tidak menyiksanya dalam api neraka Jahannam. Karena siksaan neraka itu adalah bersifat kekal dan  Jahannam merupakan tempat yang paling jelek dan tidak menyenangkan. Dalam hubungan ini, Rasulullah mengajarkan umatnya agara senantiasa berdo’a: “Ya Allah, aku memohon pada-Mu keridhaan-Mu dan surga; dan aku berlindung dari kemurkaan-Mu dan azab neraka.” Al-Qur’an banyak menceritakan tentang dahsyatnya siksaan api neraka ini. Dan dengan demikian, azab neraka itu pasti terjadi dan  akan dialami oleh orang-orang kafir dan durjana.

4.      Tidak Boros dan Tidak Kikir [Ayat 67]

Sifat boros dan kikir amat dibenci oleh Allah. Boros dalam ayat ini disebut dengan israf, yaitu boros dalam membelanjakan atau menggunakan harta (infaq). Ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam bersedekah atau berinfaq pun kita dilarang melakukan pemborosan. Maskud boros di sini adalah memberikan sesuatu kepada orang lain secara tidak layak atau menghabiskan harta secara sia-sia atau berlebih-lebihan. Pemborosan ini juga terjadi dalam makanan dan minuman, seperti firman Allah: “Makan dan minumlah tetapi jangan boros, karena Allah tidak mencintai orang-orang yang berlaku boros” ( al-A’raf/7: 31). Pengertian boros atau berlebih-lebihan dalam ayat ini adalah makan dan minum melampui batas kemampuan daya serap tubuh.
Di samping itu, Allah juga melarang sifat kikir atau pelit. Kikir dalam ayat disebut dengan istilah qatr; dalam ayat lain disebut bukhl. Kikir yang dimaksudkan di sini adalah enggan memberi zakat atau sedekah pada jalan agama Allah. Orang yang tidak mau membelanjakan sebagian hartanya di jalan agama Allah termasuk golongan orang-orang kikir. Rasulullah menggambarkan bahwa orang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka; sebaliknya, orang pemurah (sakhi) atau dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dan dekat dengan surga. Untuk menghindari sifat kikir ini, Rasulullah senantiasa berdo’a kepada Allah agar dijauhkan dari sifat kikir (bakhil). Dalam surah al-Hadid/57: 24 ditegaskan, orang yang sombong adalah orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Sebaliknya, orang yang benar (shiddiq) adalah orang yang gemar bersedekah dan meminjamkan hartanya di jalan Allah; dan kepadanya diberikan pahala yang banyak oleh Allah (al-Hadid: 18).

5. Tidak Syirik, Tidak Membunuh, dan Tidak Berzina [Ayat 68-69]

            Ayat 68-69 menjelaskan tentang keteguhan iman akhlak hamba-hamba Allah yang mulia, yaitu tidak berbuat syirik terhadap Allah, tidak membunuh manusia kecuali dengan alasan yang dibenarkan agama, dan tidak berbuat zina. Ketiga tindakan ini termasuk dosa besar yang jika seseorang tidak bertobat maka dia akan dilemparkan ke dalam api  neraka. Sebab itulah akhlak yang diajarkan al-Qur’an merupakan akhlak yang sangat humanistik. Maksudnya, al-Qur’an menuntun manusia agar tidak berprilaku seperti binatang. Membunuh dan berzina adalah prilaku bintang, maka tidak pantas dilakukan oleh manusia.
            Larangan berbuat syirik dan memohon sesuatu dari selain Allah adalah dosa besar yang tidak terampuni dan barangsiapa yang malakukannya berarti dia telah sesat dengan kesesatan yang sangat jauh (al-Nisa’/4: 116). Oleh sebab itu, dalam beribadah kepada Allah kita diperintahkan agar ikhlas dan tidak melibatkan unsur-unsur lain bersama Allah, seperti patung, berhala, kuburan, dan sebagainya. Ibadah yang murni adalah ibadah yang dilakukan semata-mata karena Allah dan hanya untuk Allah (al-Kahfi/18: 110). Kemudian, manusia dilarang membunuh sesamanya agar jiwa manusia terpelihara. Maka, menurut al-Qur’an, membunuh satu jiwa sama dengan membunuh manusia seluruhnya; sebaliknya, melindungi kehidupan seorang manusia sama dengan menghidupkan seluruh manusia (al-Maidah/5: 32). Selanjutnya, Allah melarang membunuh manusia kecuali dengan alasan yang dibolehkan agama, seperti dalam peperangan atau hukuman qishash (al-An’am/6: 151). Mengenai larangan berbuat zina ditegaskan dalam surah al-Isra’ ayat 32, “Dan janganlah kamu berbuat zina karena zina itu adalah perbuatan keji dan jalan kesesatan.”

6. Bertobat dan Beramal Shalih [Ayat 70-71]

Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa atau kesalahan. Maka, jalan terbaik untuk membersihkan diri dari dosa adalah tobat. Tobat (Arab: tawbah) menurut bahasa berarti kembali. Tobat menurut istilah syara’ adalah kembali ke jalan Allah, jalan agama, dengan memperbanyak istighfar, meningkatkan amal shalih, dan menjauhi larangan Allah. Ada tiga pilar utama tobat: pertama, penyesalan atas kesalahan yang pernah dilakukannya. Kedua, tidak ada rencana untuk mengulangi kesalahan atau dosa. Dan ketiga, mempunyai tekad yang kuat untuk terus berada dalam kebaikan, ketaatan, dan amal shalih.
Ayat 70-71 menjelaskan bahwa orang yang bertobat dan beramal shalih akan mendapat pengampunan dari Allah. Orang yang bertobat dan diiringi dengan amal shalih, maka dia telah kembali ke jalan Allah. Dalam surah al-Tahrim/66 ayat 8, Allah mengajak orang-orang beriman untuk melakukan tobat secara total yaitu tobat nashuha. Tobat nashuha adalah tobat yang sebenarnya; tobat yang tidak kembali lagi kepada perbuatan dosa. Orang yang melakukan tobat nashuha akan mendapat keampunan dari dosa, surga, dan cahaya Allah (nur Allah). Orang yang bertobat senantiasa berdo’a: “Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya bagi kami dan ampunilah dosa kami, sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.”

7. Tidak Memberi Kesaksian Palsu dan Berkata Sia-sia [Ayat 72]

            Ayat 72 mengingatkan kita akan bahaya kesaksian palsu, termasuk berbohong, dalam kehidupan sosial dan di depan pengadilan. Kini banyak kita saksikan orang dan bahkan pejabat negara tidak segan-segan melakukan kebohongan publik. Rasulullah menandaskan dalam salah satu haditsnya: “Barangsiapa berbohong maka dia bukan pengikutku.” Ini menunjukkan betapa buruknya sifat bohong itu. Islam mengajarkan kita agar selalu berlaku jujur. Kejujuran adalah kebenaran universal yang dapat diterima oleh semua pihak di dunia ini. Sebab itulah Rasulullah dibekali sifat jujur dan terpercaya (shiddiq dan amanah) karena beliau diutus di tengah-tengah masyarakat yang penuh kebohongan dan kemunafikan. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah (Nabi Muhammad SAW) mendapat gelar  al-Amin (orang yang jujur dan  dapat dipercaya). Karena itu, Allah mengajak orang-orang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dan mengucapkan perkataan yang benar (al-Ahzab/33: 70). Dalam surah al-Mukminun/23 ayat 3, Allah menyatakan bahwa salah satu sifat orang mukmin yang beruntung adalah menjauhkan diri dari perkataan yang sia-sia (lagha).

8. Responsif terhadap Ayat-ayat Allah [Ayat 73]

            Ciri lain ‘ibadurrahman, seperti yang digambarkan ayat 73, adalah apabila disebut atau dibacakan ayat-ayat Allah, maka secara spontan dia menanggapinya secara baik. Maksudnya adalah mengamalkan pesan-pesan al-Qur’an dalam kehidupannya; tidak hanya sekadar mendengar atau membacanya saja. Kepekaan ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan rasul-Nya, yakin kepada kebenaran al-Qur’an dan hari Akhirat serta bertawakal kepada Allah. Dalam surah al-Anfal/8 ayat 2, dijelaskan bahwa orang-orang yang teguh iman mereka adalah orang yang peka terhadap ayat-ayat Allah, hanya kepada Allah mereka bertawakal, mendirikan shalat, dan berinfaq. Selanjutnya, disebutkan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Allah, mereka bersujud dan tunduk patuh serta bertasbih dan memuji Allah; dan mereka tidak berlaku sombong” (al-Sajdah: 15). Begitulah sifat ‘ibadurrahman dalam keseharian mereka. Mereka tidak alergi ketika mendengar pesan-pesan al-Qur’an yang disampaikan kepada mereka. 

9. Mendambakan Keturunan Penyejuk Hati [Ayat 74]

            Ibadurrahman senantiasa mendambakan keturunan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah atau dalam istilah al-Qur’an ayat 74 disebut qurrata a’yun (permata hati). Qurrata a’yun adalah generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia. Generasi inilah yang selalu diharapkan oleh setiap orang beriman. Dan dari generasi inilah lahir para pemimpin yang bertaqwa yang akan memimpin kehidupan orang-orang beriman. Jika kepemimpinan orang-orang mukmin dipegang oleh qurrata a’yun maka masyarakat dan negara akan baik, makmur, penuh keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hukum Allah akan tegak jika kepemimpinan diserahkan kepada qurrata a’yun ini. Sebab itulah ‘ibadurrahman selalu berdo’a: “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari isteri-isteri kami dan keturunan kami generasi yang dapat menyejukkan hati kami; dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.”

10. Sabar dalam Beragama [Ayat 75-76]

            Ayat 75-76 menerangkan tentang pentingnya kesabaran dalam menjalankan ajaran agama. Kesabaran ini diperlukan karena dalam kehidupan ini banyak godaan dan tantangan terutama dalam menegakkan hukum Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya. Orang-orang yang sabar dicintai Allah dan akan diberikan penghargaan dengan surga-Nya. Bagi orang-orang yang sabar akan disediakan tempat yang sangat indah dan kesenangan yang abadi. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan agar orang-orang beriman memperkuat kesabaran dalam melakukan kebaikan, dalam menghadapi musibah, dan dalam berdakwah dan berjihad.

Azab Bagi Orang-Orang Musyrik [Ayat 77]


Ayat 77, sebagai penutup surah al-Furqan ini, Allah menegaskan kembali tentang nasib orang-orang musyrik di Akhirat nanti. Mereka telah mendustakan ayat-ayat Allah dan memusuhi rasul-Nya. Karena itu, mereka layak mendapat azab Allah dalam api neraka yang menyala-nyala sepanjang masa. Mereka menempati tempat yang penuh kehinaan dan kesengsaraan. Ayat ini menandaskan betapa bahayanya perbuatan syirik dalam kehidupan beragama.
Demikianlah kajian surah al-Furqan, semoga dengan kajian ini kita memperoleh pencerahan pikiran dan hati serta diberi kekuatan, hidayah, dan cahaya oleh Allah untuk mengamalkannya dalam kehidupan kita. Kita yakin bahwa semakin kita menyelami ayat-ayat Allah maka kita merasakan keterbatasan ilmu kita; dan ilmu Allah meliputi langit dan bumi, bahkan tanpa batasnya. Berbahagialah orang-orang yang haus akan ilmu Allah dan menempuh jalan untuk meraihnya. Rasulullah berpesan: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu berarti dia telah menempuh jalan ke surga.” Wallahu a’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar