KAJIAN SURAH AL-KAHFI AYAT 27 – 38
Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA
Secara umum rangkaian ayat-ayat 27-38 menggambarkan tentang kehebatan kalimat-kalimat al-Qur’an yang tersusun dengan indah, baik dilihat dari sudut bahasa maupun cakupan maknanya. Kemudian, ditegaskan bahwa Allah sebagai tempat berlindung satu-satunya. Artinya, di dunia ini tidak ada pelindung yang lain selain Allah. Ini mempertegas eksistensi Allah sebagai penjaga dan pemelihara jagat raya. Selain itu, dinyatakan pula bahwa dalam menjalankan perintah dan larangan Allah, orang mukmin memerlukan kesabaran yang tinggi. Karena, setiap amal yang dilakukan manusia itu pasti mendapat tantangan. Tantangan itulah yang harus dihadapi secara arif dan penuh kesabaran. Selanjutnya, disebutkan bahwa Allah telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan sikap hidupnya, antara menjadi mukmin atau kafir. Bagi Allah tidak ada pengaruh apapun apakah seseorang memilih kafir atau beriman. Maksudnya, jika seseorang menjadi kafir tidak akan mengurangi keagungan Allah. Demikian juga, jika seseorang menjadi mukmin tidak akan menambah keagungan-Nya karena Allah memang maha sempurna. Seterusnya, dijelaskan bahwa setiap amal manusia dinilai kualitasnya oleh Allah. Hanya amal yang dilakukan secara profesional yang diterima dan diberi pahala. Amal yang dilakukan tanpa iman dan ilmu tidak ada nilainya di sisi Allah. Demikian juga iman tanpa amal akan hampa. Ayat-ayat berikutnya menerangkan betapa manusia terpedaya oleh kehidupan dunia. Seringkali manusia terkecoh oleh kemewahan dan kemegahan dunia, yang akhirnya ia terjerumus ke dalam lembah kelam yang menyesatkan.
Setelah mengetahui gambaran umum ayat-ayat tersebut, secara lebih detail akan paparkan dalam kajian berikut ini. Agar lebih terfokus, kajian ini diklasifikasikan ke dalam lima topik sentral, yaitu: Allah sebagai tempat berlindung, kesabaran dalam ketaatan, kebebasan memilih, amalan baik dan balasannya, dan tipuan dunia.
Allah sebagai Tempat Berlindung [Ayat 27]
Ayat 27 menjelaskan tentang kesempurnaan ayat-ayat Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya. Ayat-ayat yang terkandung dalam kitab al-Qur’an tidak dapat dirubah atau ditiru oleh siapa pun. Ketidakmampuan manusia dan jin untuk meniru ayat-ayat al-Qur’an telah terbukti sebagai kelemahan karya manusia dari zaman ke zaman. Maka, setiap karya manusia pasti diawali dengan kalimat “karya ini masih banyak kelemahan, kesalahan, dan kekurangan dan mohon kritik dari pembaca … “ Tetapi tidak begitu halnya dengan kualitas wahyu Allah. Al-Qur’an dimulai dengan kalimat “Kitab ini tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya” atau “kitab ini tidak ada yang mampu menandinginya...”
Sebagai bukti bahwa al-Qur’an tidak dapat ditandingi oleh manusia dan jin, Allah menyatakan dalam firman-Nya: “Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Quran, maka mereka tidak akan mampu membuatnya meskipun mereka saling membantu” (Al-Isra’/17: 88). Ayat ini secara gamblang menerangkan tentang keterbatasan kemampuan manusia dan jin untuk menyaingi al-Qur’an. Ayat senada terdapat dalam surah al-Baqarah/2 ayat 23-24. Ini berarti bahwa al-Qur’an tidak akan pernah dapat dimodifikasi dan difabrikasi oleh manusia sampai kapan pun juga. Karena al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang maha sempurna, maka seharusnya manusia dan jin menjadikan Allah sebagai tempat berlindung. Maka, dalam surah al-Iklash ayat 2 Allah disebut sebagai Ash-Shamad (tempat meminta dan tempat bernaung). Ini merupakan prinsip ‘aqidah atau keyakinan setiap orang beriman. Mencari perlindungan kepada selain Allah berarti syirik. Berkenaan dengan ini, Allah berfirman: “Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan tuhan-tuhan lain selain Allah (andad), mereka mencintainya melebihi kecintaan mereka kepada Allah; sedangkan orang-orang beriman lebih mencintai Allah … “ (Al-Baqarah/2: 165).
Kesabaran dalam Ketaatan [Ayat 28]
Sebagian ulama membagi kesabaran kepada tiga bagian: pertama, sabar dalam menjalankan perintah Allah. Kedua, sabar dalam menjauhi larangan Allah; dan ketiga, sabar dalam menghadapi musibah. Kesabaran di sini berarti sikap mental yang penuh keberanian dan mampu menghadapi risiko. Oleh karena itu, dalam kosa kata Arab, sabar (Arab: shabr) semakna dengan kata syaja’ah yang berarti “keberanian”. Artinya, orang yang sabar adalah orang yang berani menghadapi tantangan. Lawan dari sabar adalah jaza’ atau jazu’a (keluh kesah, pesimis, dan pengecut). Karena pentingnya kesabaran dalam berbagai celah kehidupan, maka orang beriman dianjurkan agar berlaku sabar dalam menjalani kehidupan ini termasuk sabar dalam menjalankan ibadah, seperti sabar dalam shalat, sabar dalam berpuasa, sabar dalam zakat, dan sabar ketika menunaikan ibadah haji.
Ayat 28 menerangkan tentang kesabaran dalam ketaatan. Ayat ini menegaskan kembali tentang pentingnya kesabaran ketika seseorang berada dalam majlis zikir, dalam masjid atau di tempat shalat dan sabar dalam berdo’a. Sabar ketika melaksanakan shalat jama’ah bersama imam juga sangat penting sehingga kita tidak terburu-buru ingin cepat selesai atau mendahului imam dalam setiap gerakan dan bacaan dalam shalat. Dalam kaitan ini Allah mengingatkan agar kita tidak terpengaruh oleh orang-orang yang lupa kepada Allah, yaitu mereka yang mengikuti hawa nafsunya dan berlaku semena-mena. Orang yang bertindak semena-mena itu termasuk golongan yang tidak sabar. Orang yang tidak sabar jauh dari Allah; dan sebab itu dalam al-Qur’an dinyatakan, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang sabar” (Al-Baqarah/2: 153).
- Sebab Turun Ayat 28
- Dikisahkan bahwa ayat 28 ini turun berkenaan dengan Umayyah bin Khalaf al-Jumhi yang mengajak nabi untuk melakukan perbuatan yang dibenci Allah, yaitu mengusir para sahabat yang miskin dan berusaha mendekatkan para pemuka Quraisy kepada nabi. Ayat ini turun sebagai teguran kepada nabi agar tidak menerima permintaan tersebut (Hadits dari Ibnu Abbas).
- Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nabi menghadapi Umayyah bin Khalaf dengan baik dan lupa terhadap apa yang diwahyukan kepadanya. Kemudian, untuk mengingatkan nabi agar tidak mematuhi ajakan itu, maka diturunkanlah ayat 28.
Kebebasan Memilih [Ayat 29]
Ayat 29 menyatakan bahwa Allah telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih pandangan hidupnya, yaitu dua pilihan: mukmin atau kafir. Namun, setiap pilihan itu ada konsekuensinya. Kalau memilih menjadi mukmin, maka Allah akan meridhainya dan sekaligus mendapat tempat terhormat di sisi-Nya (khairul bariyyah). Sebaliknya, jika seseorang memilih menjadi kafir, maka Allah tidak meridhainya dan sekaligus memperoleh tempat yang hina (syarrul bariyyah). Bagi hamba Allah yang tergolong khairul bariyyah akan diberikan surga yang penuh kenikmatan; sedangkan bagi mereka yang tergolong syarrul bariyyah akan disediakan azab yang pedih.
Amalan Baik dan Balasannya [Ayat 30-31]
Ayat 30 menerangkan bahwa iman dan amal shalih merupakan dua istilah yang saling berhubungan. Iman tanpa amal akan hampa, ibarat kayu tanpa buahnya. Amal tanpa iman ibarat fatamorgana, seperti pohon kayu tanpa akarnya. Sebab itulah dalam al-Qur’an senantiasa dikaitkan antara iman dan amal shalih. Jadi, iman harus dibuktikan dengan amal; dan amal harus dilandasi iman. Orang yang banyak amalnya tetapi tidak ada iman, tidak akan berarti apa-apa di sisi Allah. Demikian juga orang yang beriman tetapi tidak mau mengerjakan amal shalih akan hampa, tanpa makna dalam pandangan Allah. Oleh karena itu, Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amalan orang beriman yang dikerjakan secara baik dan benar atau dalam istilah manajemen disebut profesional. Profesional di sini berarti “doing the right thing rightly.” Menurut konsep Winning as Way of Life berdasarkan paradigma Bench Marking, kehidupan ini mengacu kepada pencapaian target. Agar target dapat tercapai secara optimal, maka diperlukan tiga komponen utama, yaitu: sikap (attitude), usaha (effort), pengetahuan (knowledge). Kalau dikaitkan dengan pendekatan Qur’ani, maka ketiga komponen ini adalah iman, ilmu, dan amal shalih. Perpaduan ketiga komponen ini dapat menghasilkan kualitas amal yang terbaik (ahsan ‘amala). Memang, manusia dilahirkan untuk bersaing dalam amal, dan Allah akan menilai siapa di antara manusia yang paling bagus amalnya (lihat, surah al-Mulk/67: 2).
Ayat 31 menggambarkan hasil atau buah amal orang-orang beriman, yaitu surga ‘Adn. Surga ini, agaknya, khusus disiapkan untuk orang yang rajin melakukan amal shalih. Kehidupan surga diilustrasikan penuh dengan kesenangan dan kemewahan yang ditandai pada pola atau gaya hidup yang konsumtif karena di Akhirat tidak diperlukan lagi produktivitas. Setiap orang akan merasakan hasil jerih payahnya selama di dunia. Segala keperluan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain semuanya sudah tersedia di dalam surga. Seperti yang diceritakan dalam ayat ini penghuni surga akan mengenakan pakaian dengan mode sesuai keinginannya, misalnya gelang emas, pakaian dari sutera halus; dan menggunakan fasilitas seperti sofa-sofa yang empuk dan indah, tempat tidur yang nyaman, dan aneka furnitur; selain itu juga disediakan segala jenis makanan dan minuman yang digemari. Tampaknya, di surga orang-orang tidak perlu bekerja lagi, mereka hanya menikmati hasil pekerjaan selama di dunia. Secara singkat dapat dikatakan, surga adalah tempat meneguk segala kenikmatan. Dan kenikmatan itu tidak dapat dijelaskan dengan bahasa atau kata-kata, tetapi dapat dirasakan ketika seseorang menghuni surga.
Tipuan Dunia [Ayat 32-38]
Ayat 32-38 menjelaskan tentang pernak-pernik kehidupan dunia, yang dideskripsikan dengan dua orang laki-laki, yaitu orang mukmin dan orang kafir. Keduanya diberikan nikmat Allah berupa lahan yang subur. Di atas lahan yang subur itu mereka bercocok tanam. Di samping itu, Allah memberikan kepada mereka irigasi untuk mengairi lahan perkebunan mereka. Karena adanya keseimbangan antara kesuburan tanah dan pengairan, maka mereka pun memanen hasil yang sangat memuaskan. Namun, ketika mereka memanen hasil sikap keduanya terhadap Allah berbeda. Orang kafir menganggap bahwa hasil yang diperoleh itu hanyalah karena kerja keras yang dilakukan; bukan karena pemberian Allah. Lalu ia menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah serta meyakini bahwa hartanya akan kekal sehingga ia tidak percaya kepada hari Kiamat. Sebaliknya, sikap orang beriman adalah setiap menerima nikmat, ia bersyukur kepada Allah. Dan ia meyakini bahwa harta atau kekayaan yang diperolehnya merupakan pemberian Allah. Kerja atau usaha keras hanyalah ikhtiar manusia; tetapi yang menentukan berhasil atau tidaknya adalah Allah. Dengan demikian, ia sadar bahwa sesungguhnya Allah itu maha kuasa untuk memberikan sesuatu kepada hamba-Nya dan juga maha kuasa untuk mencabutnya kembali. Maka, dalam perspektif al-Qur’an harta adalah titipan Allah dan yang kekal di sisi Allah amal shalih yang dikerjakan manusia dengan hartanya (Al-Kahfi: 46). Harta itu dimanfaatkan di jalan Allah sebagai bukti pernyataan rasa syukurnya kepada-Nya. Harta yang diinfaqkan di jalan Allah itulah sebenarnya yang menjadi miliknya, selebihnya yang telah dikonsumsikan telah sirna, bagaikan buih yang dihempas gelombang. Di sinilah makna kepemilikan dalam perspektif al-Qur’an, bahwa harta yang dibelanjakan di jalan Allah merupakan miliknya yang menjadi investasi amal masa depan; sedang yang disimpan untuk dirinya adalah milik orang lain. Persepsi ini kemudian dapat meningkatkan iman seseorang dan sekaligus meyakini bahwa hanya Allah yang maha kuasa dan tidak akan menyekutukan Allah dengan siapa pun juga.
Selanjutnya, Allah mengingatkan bahwa kehidupan dunia merupakan jembatan menuju Akhirat. Karena itu, dunia tidak boleh diabaikan begitu saja. Kehidupan umat Islam mementingkan dunia dan Akhirat. Orang yang hanya mengejar kehidupan dunia saja pasti akan menemui batas akhirnya; sedangkan orang yang menjadikan dunia sebagai modal menuju Akhirat akan mendapatkan keabadian. Maka, bagaimana pun juga dunia penting bagi orang mukmin; namun Akhirat lebih penting daripada dunia (Adh-Dhuha/93: 4). Dalam kaitan ini, Allah menegaskan: “Raihlah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, yaitu kebahagiaan Akhirat, tetapi janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia; dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qashash/28: 77).
Ada lima poin penting dapat dipetik dari ayat di atas sebagai pedoman hidup orang beriman:
· Allah menyuruh kita meraih kebahagiaan Akhirat (eternal happiness).
· Allah menganjurkan kita agar tidak mengabaikan kebahagiaan duniawi.
· Allah menyuruh kita berbuat baik kepada sesama manusia.
· Allah melarang kita melakukan kerusakan di bumi.
· Allah tidak suka kepada para perusak.
Dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa meskipun orang mukmin dianjurkan untuk menggapai kebahagiaan dunia, ia tidak boleh larut dalam kemewahannya. Orang yang larut dalam kemewahan dan kesenangan dunia akan menjauhkannya dari Allah dan sekaligus melupakan kehidupan Akhirat. Jika hal ini terjadi maka ia telah terkecoh oleh dunia. Menurut al-Qur’an, betapa pun banyaknya kenikmatan duniawi yang diraih manusia, semuanya bersifat sementara. Allah menyatakan: “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara dan sesungguhnya Akhirat itulah negeri yang kekal [abadi]” (Al-Mu’min/40: 39). Berkenaan dengan tipuan dunia, Allah mengingatkan: “Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (Ali Imran/3: 185).
Kendatipun demikian, tidak sedikit manusia yang terpedaya oleh kehidupan dunia. Padahal Allah telah mengingatkan manusia agar jangan tertipu oleh dunia. Namun, amat disayangkan ada di antara manusia karena cintanya kepada dunia melampaui batas, sehingga ia mengharapkan agar dapat hidup sampai 1000 tahun untuk menikmati dunia ini sepuas-puasnya. Tipe manusia seperti ini oleh al-Qur’an disebut sebagai manusia rakus, dan biasanya dari golongan musyrik dan kafir. Berkenaan dengan ini Allah mengatakan: “Dan sesungguhnya kamu akan mendapati manusia yang paling rakus terhadap kehidupan dunia; bahkan lebih rakus daripada orang-orang musyrik, mereka menginginkan agar diberi umur sampai 1000 tahun; padahal umur panjang itu sama sekali tidak akan menjauhkannya dari siksaan api neraka, dan Allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan” (Al-Baqarah/2: 96). Wallahu a’lam! ■
very good
BalasHapus