Minggu, 14 November 2010

KAJIAN SURAT AL-FURQAN 17-28


KAJIAN SURAH AL-FURQAN AYAT 17 – 28

Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA



            Sebagai kelanjutan kajian yang lalu, maka pembahasan ini difokuskan pada empat topik utama, yaitu: dialog Allah dengan berhala, sikap manusia terhadap rasul,  kondisi manusia pada hari Kiamat, dan kedahsyatan pada hari Kiamat. 

Dialog Allah dengan Berhala [Ayat 17-18]

            Ayat 17 menegaskan bahwa tidak ada kesulitan bagi Allah untuk berbicara dengan siapa saja dari makhluk-Nya. Berhala atau sembahan yang dijadikan tuhan oleh orang-orang kafir termasuk subjek yang mendapat pertanyaan dari Allah pada hari Kiamat nanti.  Allah menanyakan kepada berhala-berhala dan patung-patung yang disembah oleh orang-orang kafir, dengan kalimat: “Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hambaKu atau mereka sendiri yang sesat dari jalan yang benar?” Dalam ayat 18, mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak patut bagi kami menjadikan selain Engkau sebagai pelindung kami …”
            Dua ayat tersebut menggambarkan betapa jika sudah tiba saatnya, semua manusia dan makhluk lainnya diberi kesempatan untuk berbicara atau menceritakan tentang dirinya. Ketika pertanyaan dihadapkan kepada patung-patung atau berhala-berhala yang disembah oleh manusia, maka mereka pun menjawab bahwa tidak ada yang layak dijadikan pelindung dalam kehidupan ini kecuali Allah. Pengakuan secara tulus ini membuktikan kebodohan manusia yang menjadikan makhluk sebagai tuhan yang disembah dan tempat berlindung. Tindakan menuhankan benda merupakan penyimpangan dari fithrah (bentuk asli penciptaan manusia yang dibekali iman, tauhid, dan sifat ketaatan kepada Allah) di mana manusia diciptakan oleh Allah berdasarkan fithrah itu. Oleh sebab itu, jika manusia benar-benar mengikuti fithrahnya, maka ia tidak akan menyembah selain yang menciptakan fithrah itu sendiri, yaitu Allah yang Maha Kuasa (ar-Rum: 30). Maka, menjadikan tandingan terhadap Allah itu dilarang karena tidak mungkin ada makhluk yang mampu menandingi-Nya. Dan makhluk itu pun sadar bahwa ia diciptakan untuk menyembah Allah; bukan untuk disembah. Mengenai larangan ini dinyatakan dalam surah al-Baqarah ayat 22 dan 165.

Sikap Manusia terhadap Rasul [Ayat 19-20]

            Seperti telah dijelaskan pada kajian sebelumnya bahwa para rasul yang diutus oleh Allah kepada manusia senantiasa menghadapi tantangan berat. Di antara tantangan-tantangan itu ialah manusia cendrung mendustakan rasul Allah. Padahal para rasul itu diutus untuk menyelamatkan manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dan dari kebodohan kepada dunia ilmu pengetahuan. Namun, karena manusia selain dibekali sifat baik juga mempunyai sifat jelek atau kufur, maka sifat ini kemudian muncul sebagai rasa sombong terhadap kebenaran. Dalam surah asy-Syams ayat 7-10, Allah menerangkan:

Demi jiwa dan penyempurnaannya
Maka Allah mengilhamkan kepadanya sifat fujur dan taqwa

Berbahagialah orang yang menjaga kesucian jiwanya

Dan celakalah orang yang mengotori jiwanya

Ayat ini menjelaskan bahwa manusia memiliki dua potensi dasar yang saling kontradiksi, yaitu fujur dan taqwa. Fujur artinya durhaka atau melampaui batas. Maksudnya, manusia mempunyai sifat dasar yang mengarah kepada kejahatan atau kemaksiatan. Jika sifat ini tidak segera diperbaiki atau diimbangi dengan sifat baik. Sifat baik ini disebut taqwa, yaitu kemampuan untuk menjaga dan melestarikan kesucian jiwa. Sebab itulah dalam al-Qur’an selalu diingatkan agar orang beriman selalu meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah agar jiwanya tetap suci. Jiwa yang suci itu dicintai dan dekat dengan Allah; bahkan ketaqwaan itu harus dipertahankan sampai mati (Ali Imran: 102).
Ayat 19 menegaskan bahwa manusia yang mendustakan rasul adalah telah menzalimi diri sendiri. Dan di Akhirat ia akan mendapat siksaan yang amat dahsyat. Ayat ini mengandung pesan bagi kita untuk membina kepribadian mukmin agar senantiasa meningkatkan keimanan kepada rasulullah. Dengan mentaati rasulullah berarti kita menghindari diri dari perbuatan zalim. Kemudian, ayat 20 menandaskan bahwa para rasul itu adalah manusia biasa, yang mempunyai naluri makan dan minum serta berdagang di pasar-pasar. Pada mulanya, memang, manusia merasa heran mengapa rasul itu memerlukan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Setelah turun ayat ini maka menjadi jelas bagi manusia bahwa rasul itu adalah manusia biasa; bukan malaikat yang tidak membutuhkan makan dan minum. Dalam melihat kenyataan ini, manusia dianjurkan agar bersabar dalam mengikuti petunjuk dan kebenaran yang disampaikan oleh rasul. Kesabaran ini meliputi kesabaran dalam mengimani keberadaan rasulullah sebagai manusia dan utusan Allah, sabar dalam mentaatinya, dan sabar dalam mengamalkan ajaran-ajarannya. Menurut al-Qur’an, orang-orang yang sabar ditemani Allah (al-Baqarah: 153). Bahkan, dalam surah ar-Ra’du ayat 23-24 disebutkan, ketika para malaikat masuk ke dalam surga, maka mereka pun memberi salam kepada orang-orang beriman yang sabar sebagai penghargaan yang menggembirakan. Jadi, ketaatan kepada rasul ditandai pada kemauan mengikuti dan mengamalkan apa saja yang disampaikannya; dan menjauhi apa yang dilarangnya (al-Hasyr: 7).
           

Kondisi Manusia pada Hari Kiamat [Ayat 21-24]

            Ayat 21 menerangkan bahwa kecendrungan manusia pada masa awal kerasulan adalah mengingkaran kebenaran, termasuk mengingkari akan adanya hari Kiamat. Kebanyakan manusia yang ingkar mempertanyakan tentang kebenaran pertemuan mereka dengan Allah pada hari Akhirat. Mereka meragukan hal itu karena di dalam hati mereka sudah ada benih-benih kekufuran. Selain itu, mereka juga menunjukkan sikap takabbur dan pembangkangan. Bahkan, yang lebih ironis lagi adalah mereka ingin melihat Allah secara nyata dan meminta agar malikat diturunkan kepada mereka. Permohonan yang sama juga pernah diminta oleh umat Nabi Musa ketika beliau berada di bukit Thursina. Akhirnya, mereka tak kuasa melihat kebesaran Allah; demikian juga gunung-gunung hancur berantakan ketika Allah mencoba menampakkan diri-Nya (al-A’raf: 143).
            Pertemuan dengan Allah merupakan tujuan hidup setiap orang beriman. Dan makna hidup itu sendiri ditandai pada kesungguhan setiap mukmin dalam meningkatkan iman dan amal shalihnya serta tidak menyekutukan Allah dengan apa pun (al-Kahfi: 110). Sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada taranya adalah di saat seorang hamba berjumpa dengan Allah. Keindahan surga memang sangat menyenangkan; tetapi kenikmatan ketika menyaksikan Allah adalah saat yang paling menggembirakan. Sebab itulah rasulullah mengingatkan bahwa ketika orang beriman meninggal dunia, ia akan merasa sangat senang dan bahagia karena akan segera berjumpa dengan Tuhannya. Jadi, tujuan akhir kehidupan manusia adalah perjumpaan dengan Allah (liqa’ Allah).
            Ayat 22 memberitakan bahwa pada hari menjelang kematian dan hari Kiamat manusia menyaksikan para malaikat. Tetapi amat disayangkan karena perbuatan dosa yang dilakukan selama hidupnya, ia tidak mendapat kebahagiaan sama sekali; dan dimasukkan ke dalam kelompok mujrimin. Kelompok mujirimin ini menyesali perbuatan dosanya sembari berkata: hijran mahjura, yang berarti “semoga Allah menjauhkan bahaya ini dari kami.” Tetapi, apa gunanya penyesalan karena janji Allah sudah tiba; dan pintu tobat sudah tertutup. Penyesalan semacam ini biasa terjadi ketika seseorang menemui ajalnya; atau di saat seseorang sudah berada di liang lahad dan ketika berada di padang Mahsyar. Dalam surah an-Naba’ ayat 40 dijelaskan bahwa orang-orang kafir merasa menyesal atas kekufurannya selama di dunia. Mereka mengharapkan agar sebaiknya dulu dijadikan sebagai tanah saja. Dengan demikian, tidak ada kewajiban apa pun kepada mereka. Mereka mengucapkan kata-kata penyesalan: Ya laitani kuntu turaba. Penyesalan yang sama juga terjadi ketika seseorang menghadapi ajal, seperti digambarkan dalam surah al-Munafiqun ayat 10: “Ya Tuhanku, tangguhkanlah ajalku sebentar lagi agar aku dapat bersedekah dan melakukan amal shalih sehingga aku menjadi orang yang baik.”   Kemudian, dalam ayat 23 dinyatakan bahwa segala amal perbuatan manusia selama di dunia akan diperlihatkan oleh Allah kepada para pelakunya. Dan amal-amal orang kafir akan sia-sia bagaikan debu saja. Maksudnya, amal-amal mereka tidak ada manfaatnya bagi mereka; justru amalan itu dapat menjerumuskan mereka ke dalam api neraka. Berkaitan dengan ini, surat al-Qari’ah ayat 6-9 menjelaskan:

Adapun orang yang berat timbangan kebaikannya

Maka ia berada dalam kehidupan yang penuh kebahagiaan
Dan adapun orang yang ringan timbangan kebaikannya
Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.

Neraka Hawiyah dalam ayat tersebut digambarkan sebagai narun hamiyah (api yang sangat panas) sebagai tempat tinggal orang-orang yang banyak dosanya. Memang pada hari itu suasana sangat tragis dan menegangkan bagi orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-Nya. Semua amalan mereka akan diperlihatkan sejelas-jelasnya, baik besar maupun kecil. Surah az-Zilzalah ayat 7-8 menegaskan: “Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarrah, maka ia akan melihatnya; dan barangsiapa yang melakukan kejahatan seberat zarrah, maka ia akan melihatnya juga.” Pengertian zarrah di sini adalah suatu benda atau unsur yang amat kecil. Dalam dunia ilmu pengetahuan, partikel yang paling kecil adalah atom. Maka, zarrah dalam surah az-Zilzalah tersebut dapat diterjemahkan dengan “atom”. Sedangkan benda yang sangat ringan adalah helium, yang disingkat dengan He. Zat inilah yang biasa digunakan untuk menerbangkan balon-balon raksasa.
Begitulah bentuk penyesalan manusia pada hari Kiamat. Selanjutnya, ayat 24 menyebutkan betapa indahnya tempat bagi para penghuni surga. Mereka merasakan kenikmatan dan kebahagiaan di dalamnya. Bahkan, surga menjadi tempat tinggalnya yang kekal sehingga ia betah di dalamnya dan tidak pernah mau keluar darinya. Ini sebagai kebalikan dari penghuni neraka yang penuh penderitaan.  Ayat-ayat mengenai kenikmatan penduduk surga dapat dibaca, antara lain: surah al-Hijr ayat 45-48, al-Hajj ayat 23, Yasin ayat 55-58, az-Zumar ayat 73-74, ad-Dukhan ayat 51-56, Muhammad ayat 15, al-Qamar ayat 54-55, al-Waqi’ah ayat 10-40, al-Insan ayat 12-21, an-Naba’ ayat 31-38, al-Baqarah ayat 25, al-Furqan ayat 15-16, Shad ayat 49-54, Qaf ayat 31-35, dan surah Yunus ayat 9-10.
Dalam surah Muhammad ayat 15, misalnya, dijelaskan bahwa surga adalah tempat yang dijanjikan Allah bagi orang-orang bertaqwa; di dalam surga terdapat sungai-sungai yang airnya tidak berubah rasa dan aroma, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya, dan sungai-sungan dari air madu yang disaring; dan di dalam surga terdapat buah-buahan segar. Sedangkan bagi penghuni neraka diberikan air yang mendidih sebagai azab. 

Kedahsyatan pada Hari Kiamat [Ayat 25-28]

            Hari Kiamat sangat dahsyat sehingga mengagetkan semua orang. Dalam ayat 25 disebutkan pada hari itu langit terbelah dan diselimuti kabut tebal. Kemudian malaikat turun berbondong-bondong sebagai “pasukan langit.” Ini menggambarkan saat yang menyeramkan bagi siapa saja yang melihatnya. Ayat ini selaras dengan surah al-Insyiqaq ayat 1-5:

Apabila langit terpecah belah
Dan langit itu mengikuti perintah Tuhannya
Dan apabila bumi telah diratakan
Dan bumi mengeluarkan kandungannya sehingga ia menjadi kosong
Dan bumi itu mengikuti perintah Tuhannya

Selanjutnya, ayat 26-28 menyatakan bahwa kerajaan dan kekuasaan mutlak ada di tangan Allah. Hanya Allahlah yang berkuasa pada hari itu. Sedangkan orang-orang kafir akan mengalami kesulitan dan tiada tempat mengadu dan berlindung. Ketika di dunia mereka mengingkari akan hari Kiamat, maka sekarang mereka baru merasakan akibatnya; dan mereka pun sadar bahwa janji Allah itu benar. Tetapi kesadaran mereka timbul pada saat terjadinya peristiwa yang tak mungkin kembali lagi ke alam dunia. Bagi orang-orang zalim, mereka juga merasakan hal yang sama, yaitu penyesalan yang sedalam-dalamnya. Dalam keadaan menyesal itu, terucap oleh mereka: “Aduhai kalau sekiranya dulu aku mau mengikuti rasul, maka aku akan selamat.” Bahkan yang lebih tragis lagi adalah selama di dunia mereka terpengaruh oleh para pemimpin dan tokoh mereka. Ternyata para pemimpin dan tokoh yang mereka banggakan itu menyesatkan mereka. Lalu, mereka berdo’a kepada Allah agar Allah menggandakan azab terhadap para pemimpin yang sudah menyesatkan mereka selama di dunia, “Ya Tuhan kami, berilah kepada mereka azab dua kali lipat  dan laknatlah mereka dengan laknat yang dahsyat” (al-Ahzab: 67-68). Jadi, ayat ini mengingatkan kita agar hati-hati dalam memilih pemimpin atau panutan. Karena ada di antara para pemimpin itu yang sesat dan menyesatkan; dalam hal ini termasuk orang yang berpura-pura sebagai ulama atau kyai. Padahal perbuatan atau amalannya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasululullah. Tipe pemimpin atau ulama semacam ini tidak perlu diikuti atau dijadikan panutan. Karena itu, pada hari Kiamat nanti banyak orang yang menyesal karena dibohongi oleh pemimpinnya. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang dibohongi oleh pemimpin yang sesat dan menyesatkan.
Memang kata-kata penyesalan ini secara spontan muncul sebagai protes hati nurani, karena selama di dunia mereka tidak pernah menuruti kata hati mereka. Tetapi, mereka lebih cendrung menuruti hawa nafsu. Bahkan, mereka merasa menyesal terhadap teman-teman yang ikut menyesatkan mereka selama di dunia. Alangkah jeleknya teman-teman mereka yang telah menjerumuskan mereka ke dalam lembah kesesatan dan penderitaan abadi di dalam neraka Jahannam. Maka, patutlah kita selalu berdo’a: “Ya Allah, kami mohon ridha-Mu dan surga; dan kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan azab neraka.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar