Minggu, 14 November 2010

MENELADANI HIJRAH


MENELADANI MAKNA HIJRAH NABI MUHAMMAD SAW
MENUJU MASYARAKAT MADANI
Oleh: DR. H. Hasan Basri al-Mardawy, MA©

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللهِ
 وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)

            Tahun 1428 hijrah, tidak begitu terasa, telah berlalu. Kini tiba 1 Muharram 1429 hijrah sebagai kelanjutannya, bertepatan dengan 10 Januari 2008 Miladiyah. Tampaknya, tahun berganti tahun dalam perputaran bola bumi tak pernah henti sebelum hari yang dijanjikan itu (Kiamat) datang. Untuk sementara boleh saja tahun-tahun itu hanya sekedar pengisi waktu kehidupan dan batas usia kehidupan itu sendiri. Namun, waktu dan masa itu tak pernah kompromi dengan penghuni bumi. Ia datang dan pergi tanpa menyapa. Hanya beberapa isyarat di berbagai belahan dunia mengundang perhatian banyak orang untuk memperhatikan betapa dalam perputaran waktu-waktu itu hadir pula peristiwa, baik kecil maupun besar, baik jauh maupun dekat.. Semua itu menunjukkan bahwa waktu juga menyertai peristiwa-peristiwa di alam ini. Manusia yang peka akan waktu sangat menyadari betapa pentingnya waktu dalam hidupnya. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang tidak hirau akan waktu, akan terasa hampa dan tanpa makna hidup yang dilaluinya. Waktu dianggap sebagai angin lalu saja. Pemanfaatan waktu secara akurat akan mengantarkan seseorang kepada kemenangan atau kesuksesan. Sebagaimana halnya yang dilakukan Nabi Muhammad SAW pada masa lampau yang mana hijrah sebagai salah satu bentuk pemanfaatan waktu. Ternyata dalam proses perjalanan waktu yang terpola dalam hijrah, membawa banyak keuntungan baik bagi Nabi maupun umatnya. Keuntungan yang sangat mencolok ialah keselamatan iman, keamanan, kedamaian, persaudaraan, persatuan dan kekuatan bahkan strategi perjuangan untuk masa depan Islam. Tulisan ini akan mencoba melihat kembali makna hijrah yang dialami Nabi, baik dari perspektif historis ataupun filosofisnya, sekaligus menganalisis makna yang dikandungnya.

Situasi Mekah Sebelum Hijrah
            Kebrutalan kaum kafir Quraisy semakin memuncak. Kebencian mereka kepada Islam semakin nyata. Bagi pemeluk Islam diberikan sanksi yang berat, tidak saja dikucilkan dari lingkungan sosial mereka bahkan dicaci, dihina dan diusir. Lebih tragis lagi, kelompok mereka yang menganut agama Islam ditindas segala hak-haknya dan bahkan disiksa dan dibunuh. Pada suatu ketika datanglah beberapa pemuka Quraisy menemui Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW, meminta agar dia menghentikan segala kegiatan Nabi Muhammad SAW dalam menyiarkan Islam. Tuntutan mereka ini ditolak secara halus oleh Abu Thalib. Setelah mereka melihat usaha itu tidak memberi hasil, datanglah mereka kembali kepada Abu Thalib untuk menyatakan bahwa mereka tidak dapat membiarkan kegiatan Nabi Muhammad SAW itu dan mereka mengajukan pilihan kepadanya: menghentikan ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW atau mereka sendiri yang akan menyelesaikannya. Mendengar pernyataan itu, Abu Thalib kemudian merasa khawatir akan terjadinya perpecahan dan permusuhan kaumnya, namun tak sampai hati mencegah aktivitas keponakannya itu. Akhirnya Nabi Muhammad SAW dipanggil dan dia berkata: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku dijumpai oleh pemimpin-pemimpin kaummu. Mereka mengatakan kepadaku supaya aku mencegah kamu melakukan penyiaran Islam dan tidak mencela agama serta nenek moyang mereka, maka jagalah diriku dan dirimu, janganlah aku dibebani dengan sesuatu persoalan di luar kesanggupanku.” Mendengar ucapan pamannya itu, Nabi Muhammad SAW secara tegas mengatakan: “Demi Allah wahai paman, sekiranya mereka letakkan matahari di sebelah kananku dan bulan di sebelah kiriku, dengan maksud agar aku tinggalkan pekerjaan ini, menyiarkan agama Islam, atau aku binasa karenanya, namun aku tidak akan menghentikan pekerjaan ini.” Melihat sikap istiqamah Nabi, Abu Thalib hanya dapat berkata: “Pergilah dan katakanlah apa yang kamu kehendaki, demi Tuhan aku tidak akan menyerahkanmu kepada merka, aku akan menjadi pembelamu.” Demikian Abu Thalib memberi respon terhadap sikap tegas Nabi, sembari memotivasinya untuk terus berdakwah, meskipun dia sendiri sampai akhir hayatnya tidak pernah beriman kepada Allah. Nabi sendiri menyadari bahwa Abu Thalib mempunyai andil dalam penyiaran agama Islam, di samping sebagai suporter dan pembelanya terhadap reaksi kaum Quraisy.
            Ada tiga faktor yang mendorong kaum Quraisy menentang Islam dan kaum Muslimin. Pertama, persaingan berebut kekuasaan. Dalam kabilah besar Quraisy sudah sejak lama terdapat golongan-golongan yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Tunduk kepada Muhammad menurut mereka sama dengan menyerahkan pimpinan atau kekuasaan kepada keluarga Muhammad, Bani Abdul Muthalib. Mereka tak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Kedua, Islam membawa ajaran persamaan hak dan derajat. Orang Quraisy memandang diri mereka adalah lebih mulia dan lebih tinggi dari golongan bangsa Arab lainnya, sedangkan Islam memandang manusia itu tak ada perbedaannya antara satu dengan lainnya, baik hak ataupun martabatnya, tidak berbeda antara orang kulit hitam dengan kulit putih, antara orang kaya dan orang miskin, antara pemimpin dengan yang dipimpin atau rakyat biasa. Yang membedakan antara yang satu dengan yang lain, menurut pandangan Islam, hanyalah taqwanya. Sebagaimana Allah berfirman: “… Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling taqwa di antara kamu …” (Al-Hujarat: 13). Oleh sebab itu sebagian orang Quraisy tidak mau masuk Islam karena mereka menganggap dengan masuk Islam akan dapat merendahkan martabat merekadan merugikan posisi mereka. Dan Ketiga, taqlid kepada nenek moyang. Taqlid artinya menganut atau mengikuti suatu ajaran yang tidak dilandasi oleh pikiran sehat. Kebiasaan ini merajalela di kalangan suku Quraisy karena mereka begitu mengkultuskan nenek moyang mereka sehingga mereka menganggap bahwa apa yang diperoleh dari nenek moyangnya itulah benar, selain itu semuanya salah. Segala adat-istiadat, kepercayaan dan upacara-upacara keagamaan yang mereka dapati dari leluhur mereka, diterima dan dipedomani secara membabi buta, sebagaimana disinyalir dalam Al-Quran: “… cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari nenek moyang kami” (Al-Maidah: 104). Sikap taqlid itu tidak dibenarkan dalam Islam karena selain dapat menyesatkan juga dapat mematikan kreativitas berpikir. Sedangkan Islam menganjurkan umatnya untuk berpikir dan sekaligus melarang mengikuti suatu pendapat atau ajaran yang tidak bedasarkan pengetahuan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (Al-Isra’: 36). Dengan demikian jelas, bahwa taqlid adalah kebiasaan kaum jahiliyah dan Islam datang untuk membasmi segala bentuk taqlid itu. Karena itu kaum kafir Quraisy itu benci kepada Islam dan Nabi Muhammad SAW. Begitulah situasi di Mekkah pada masa pra hijrah Nabi ke Madinah, meskipun hijrah ke Madinah bukanlah yang pertama, karena sebelumnya hijrah pernah juga dilakukan walaupun tidak secara massal, seperti hijrah ke Habsyah (Ethiopia) dua kali dan ke Thaif. Semua itu dilakukan adalah untuk menyelamatkan Iman dan Islam.

Era Kebangkitan Islam di Madinah 
            Meskipun beberapa kali hijrah pernah dilakukan sebelum hijrah ke Madinah, kalangan sejarawan mencatat bahwa hijrah ke Madinahlah yang mengawali era kebangkitan Islam. Demikian juga isyarat hijrah yang diungkapkan Al-Quran berkenaan dengan hijrah ke Madinah. Karena hijrah ke Madinah itu dilakukan secara massal dan kemungkinan untuk mengembangkan sayap Islam di sana lebih besar. Di samping itu respek penduduk madinah kepada Nabi sangat kuat. Madinah sangat memungkinkan menjadi lahan yang amat subur bagi perkembangan dan penyebaran Islam selanjutnya. Lagi pula penduduk Madinah telah siap menerima Islam sebagai agama mereka dan Nabi sebagai pemimpin dan Imam mereka, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, dan Al-Quran sebagai pedoman mereka.
            Dalam beberapa ayat Al-Quran, kata hijrah diidentikkan dengan iman dan jihad pada jalan Allah (Al-Baqarah: 218). Kemudian bagi orang yang beriman, berhijrah dan berjihad pada jalan Allah, baik dengan harta, jiwa ataupun raga akan mendapat penghargaan dari Allah berupa titel atau derajat yang tinggi di samping mendapat prestasi yang mengagumkan yaitu al-faizun artinya orang yang menang atau beruntung. Allah akan menghibur mereka yang berhijrah karena mencari rahmat dan ridha Allah. Bahkan lebih dari itu, baginya akan memperoleh tempat yang penuh kenikmatan yang tiada taranya, yakni syurga (At-Taubah: 20-21). Tiga serangkai antara iman, hijrah dan jihad tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena itu merupakan suatu sistem dan komitmen. Ini berarti bahwa setiap orang yang beriman harus rela hijrah dan jihad pada jalan Allah dengan mengorbankan harta, jiwa dan raga bahkan rela berpisah dengan kampung halamannya, keluarga, saudara dan sesuatu yang dicintainya. Dalam kaitan ini, setiap orang beriman diuji baik fisik maupun jiwanya; dan setiap ujian itu memerlukan pengorbanan dan kesabaran yang tinggi. Oleh sebab itu orang-orang yang ikut hijrah bersama Nabi ke Madinah pada tahun 622 Masehi atau tahun ketiga belas dari kerasulan, benar-benar diilhami oleh semangat jihad, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa. Mereka tidak lagi memikirkan nasib harta, sanak saudara dan kampung halaman yang pernah ditinggalkan di Mekah, tetapi yang terbayang dalam pikiran mereka adalah bagaimana nasib Islam di masa mendatang. Mereka yakin bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu hanya bersifat sementara, dan mudah dicari gantinya. Tetapi iman dan Islam sebagai warisan abadi untuk kehidupan di dunia dan menjanjikan kehidupan yang penuh kebahagiaan di akhirat adalah hal yang tidak dapat dibeli dan tidak mudah dicapai begitu saja. Karena agama Islam itu merupakan pemberian Ilahi melalui RasulNya yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang besar. Agama Islamlah yang kemudian menjadi satu-satunya agama yang diakui keabsahannya oleh Allah (Ali Imran: 19). Dengan demikian agama-agama lain yang dianut oleh penghuni bumi ini sama sekali tidak mendapat legitimasi dari Allah (Ali Imran: 85). Maka sia-sialah orang yang tidak mau beragama Islam dalam hidupnya di dunia ini.

Tantangan Dakwah dan Masyarakat Madani
Era reformasi di negeri kita yang ditopang kemajuan teknologi informasi dan komunkasi telah membawa pengaruh signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, tanpa kecuali aspek kehidupan beragama. Dalam konteks Islam, kebebasan penafsiran ajaran agama hampir menembus batas-batas sakral yang pada masa sebelumnya dipedomani dan dijunjung tinggi. Akibatnya, kemudian lahir berbagai aliran atau paham yang bervariasi dalam Islam, dari yang moderat sampai yang ekstrem; dari yang tradisional sampai yang liberal; dan dari yang normatif-konstruktif sampai yang deviatif-destruktif. Kategori deviatif-destruktif atau paham yang menjurus kepada kesesatan dan menyesatkan, menurut laporan Aliansi Umat Islam (Alumni), sejak tahun 1980-an sampai tahun 2006 terdapat 250 aliran sesat di Indonesia. Ini merupakan tantangan bagi umat Islam yang selama ini memegang teguh prinsip Islam seperti yang diajarkan Rasulullah bersumber pada al-Qur’an dan sunnahnya. Namun, pasca kewafatan Rasulullah, seperti dicatat dalam sejarah, tampil nabi-nabi palsu yang mengatasnamakan Islam. Ternyata modus munculnya nabi-nabi palsu ini masih berlanjut sampai sekarang di kalangan komunitas muslim. Fenomena nabi palsu dan aneka paham atau aliran yang mengatasnamakan Islam itu kini semakin marak dengan modus bermacam-macam yang berupaya menggalang pengikut sebanyak-banyaknya baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat awam.
            Menyikapi fenomena ini, maka sudah saatnya kaum muslimin saat ini menumbuhkembangkan sikap kearifan sosial untuk membangun masyarakat madani yang handal. Masyarakat madani, seperti yang diharapkan kemunculannya oleh banyak orang, adalah suatu masyarakat yang memiliki peradaban tinggi yang berlandaskan tauhid, akhlak mulia, ketaatan, dan wawasan keilmuan dan teknologi. Untuk mengetahui sosok konkret generasi madani kita perlu merujuk kepada al-Qur’an sebagai referensi. Secara individual, figur Nabi Yusuf yang dikisahkan dalam surat Yusuf (surat ke-12), adalah manusia yang mampu menahan godaan dan rayuan wanita. Kemudian, al-Qur’an juga menggambarkan sekelompok pemuda yang mampu mempertahankan aqidah tauhid di tengah-tengah para penganut dan pelaku kemusyrikan, kezaliman, dan kesesatan. Kelompok pemuda ini kemudian dinamakan Ashabul Kahfi, yang diabadikan dalam surat Al-Kahfi (surat ke-18). Al-Qur’an juga menampilkan tokoh yang bernama Thalut. Dengan keahliannya, Thalut mampu mengalahkan adikuasa, Jalut yang kafir. Cerita mengenai Thalut dan Jalut ini diungkapkan dalam surat Al-Baqarah ayat 247-252. Selanjutnya, sosok wanita shalihat yang sangat taat kepada Allah, itulah Asiyah (isteri Fir’aun) yang tangguh dalam mempertahankan iman (tauhid) di depan suaminya yang zalim; dan Maryam (ibunda Nabi Isa) yang sanggup menjaga dan memelihara kesucian dirinya dan ketaatan (qanitat) kepada Allah. Informasi tentang kedua wanita shalihat ini disebutkan dalam surat At-Tahrim (surat ke-66) ayat 11-12.
Dalam surat Al-Furqan (surat ke-25), rangkaian ayat-ayat 63-76 terdapat banyak nilai penting dan hikmah bagi kehidupan kita. Nilai dan hikmah ini digambarkan dalam bentuk profil atau sosok hamba Allah yang Pemurah atau dalam istilah al-Qur’an disebut dengan ‘ibadurrahman. Sosok ‘ibadurrahman adalah hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia dan terpuji sebagai calon penghuni surga.
Sekurang-kurangnya ada 10 sifat utama ‘ibadurrahman, yang diungkapkan dalam rangkaian ayat-ayat tersebut, yaitu: rendah hati, gemar shalat tahajjud, senang berdo’a, tidak boros, tidak berbuat syirik, tidak membunuh manusia, tidak berzina; bertobat dari dosa-dosa, tidak memberi kesaksian palsu dan tidak berkata sia-sia, responsif terhadap ayat-ayat Allah, mendambakan keturunan yang baik, dan sabar dalam menjalankan ajaran agama.
Ibadurrahman senantiasa mendambakan keturunan yang beriman dan bertaqwa kepada Allah atau dalam istilah al-Qur’an ayat 74 disebut qurrata a’yun (permata hati), penyejuk jiwa. Qurrata a’yun adalah generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta berakhlak mulia. Generasi inilah yang selalu diharapkan oleh setiap orang beriman. Dan dari generasi inilah lahir para pemimpin yang bertaqwa yang akan memimpin kehidupan orang-orang beriman. Jika kepemimpinan orang-orang mukmin dipegang oleh qurrata a’yun maka masyarakat dan negara akan baik, makmur, penuh keadilan, kejujuran, dan tanggung jawab. Hukum Allah akan tegak jika kepemimpinan diserahkan kepada qurrata a’yun ini. Sebab itulah ‘ibadurrahman selalu berdo’a:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: “Dan mereka berdo’a, wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari isteri-isteri kami dan keturunan kami generasi yang dapat menyejukkan hati kami; dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.”
            Dalam sejarah perjalanan hidupnya, Nabi Ibrahim sampai usia lanjut tidak pernah henti berdo’a agar Allah menganugerahkan kepadanya anak atau keturunan yang baik dari kalangan orang-orang shalih dan rajin mendirikan shalat.

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku anak dari kalangan orang-orang shalih (Ash-Shaffat/37: 100).      
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ
Artinya: Ya Allah, jadikanlah aku orang yang mendirikan shalat dan demikian juga anak keturunanku, wahai Allah terimalah do’aku ini (Ibrahim/14: 40).
Allah mengabulkan do’a Nabi Ibrahim. Kemudian kepadanya dianugerahkan anak yang shalih dan dari anak yang shalih itu sebagian besar diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah (melalui jalur Nabi Ishaq), termasuk nabi terakhir (khataman nabiyyin) yakni Nabi Muhammad SAW, dari jalur keturunan Nabi Ismail.
            Generasi madani dapat diteladani dari profil ulul albab yang disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 16 kali. Ulul albab yang diilustrasikan dalam  al-Qur’an itu adalah profil sumber daya manusia yang handal di kalangan orang-orang beriman. Mereka mempunyai sifat-sifat terpuji yang dibebankan tugas-tugas berat baik yang bersifat individual maupun tugas sosial. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, Al-Qur’anul ‘Azhim, juz 1, mendefinisikan ulul albab sebagai orang-orang yang memiliki pikiran sempurna dan cemerlang sehingga dapat mengetahui hakikat sesuatu secara mendalam. Sedangkan Ahmad Musthafa al-Maraghy, dalam kitabnya, Tafsir Al-Maraghy, juz 4 menjelaskan bahwa ulul albab adalah orang-orang yang mempunyai daya nalar yang tinggi, mampu mengambil manfaat dan meresapi hikmah dan keutamaan yang terkandung dalam nikmat-nikmat Allah pada setiap situasi dan kondisi. Selanjutnya, menurut Ali Syari’ati dalam karyanya, Man and Islam, ulul albab dapat dipahami sebagai “social prophet” (pencerah sosial) yang memiliki tiga sifat utama: kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas berpikir. Secara singkat, ulul albab dapat dikatakan sebagai “men of understanding.”           
            Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa ulul albab memiliki 10 karakteristik utama, yaitu: 1) mempunyai kepekaan iman yang tinggi (Ali Imran: 193); 2) pandai membaca dan menangkap isyarat ayat-ayat qur’aniyah dan kauniyah (Ali Imran: 190); 3) kemampuan memadukan aspek zikir dan pikir (Ali Imran: 191); 4) selalu berupaya mencari hikmah dan hidayah Allah (Al-Baqarah: 269); 5) bersikap kritis dan responsif terhadap informasi (Az-Zumar: 18); 6) memiliki komitmen yang kuat terhadap janji baik janji dengan Allah maupun dengan sesama manusia (Ar-Ra’du: 20-21); 7. sabar dalam mencari ridha Allah, giat mendirikan shalat, gemar berinfaq, ‘arif, dan bijak (Ar-Ra’du: 22); 8) gemar melakukan qiyamul lail atau shalat sunat tahajjud (Az-Zumar: 9); 9) senantiasa menempuh jalan taqwa (Al-Baqarah: 179, 197, dan al-Maidah: 100); dan 10) tidak merasa takut kepada selain Allah dan suka menjalin hubungan persaudaraan atau silaturrahim (Ar-Ra’du: 21).
            Karakteristik ulul albab, secara gamblang dan aplikatif dijelaskan oleh Prof. DR. Abdussalam (sarjana Fisika Pakistan pemenang hadiah Nobel 1979) bahwa al-Qur’an mengajarkan kita dua hal: tafakkur dan tasyakkur. Tafakkur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi kemudian menyingkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakkur ini dapat disebut sebagai sains (science). Sedangakan tasyakkur ialah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran sehingga kenikmatan itu semakin bertambah dan semakin dirasakan manfaatnya oleh umat manusia. Tasyakkur ini kemudian disebut teknologi (technology).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang memiliki kapasitas iman, ilmu, amal shalih pada satu sisi; dan mempunyai kemampuan dalam bidang tafakkur dan tasyakkur serta mampu menyeimbangkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi pada sisi yang lain. Masyarakat madani akan mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, keharmonisan, keadilan, dan peradaban mulia di bawah pancaran cahaya al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

Penutup  
            Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW yang terjadi 1429 tahun yang lampau telah membuahkan hasil yang gemilang dan telah mengantarkan manusia kepada persaudaraan, persatuan, perdamaian dan pembentukan komunitas Islam yang berwibawa. Umat Islam pada masa itu, sebagai kelompok minoritas, dapat mewarnai kelompok mayoritas seperti Yahudi, Nasrani dan Majusi. Masyarakat Islam di bawah komando Rasulullah SAW benar-benar sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta, yang tidak hanya dirasakan oleh intern umat Islam, tetapi juga dinikmati oleh para pemeluk agama-agama lain. Sejarah mencatat bahwa tidak pernah terjadi percekcokan diantara mereka baik dalam beragama, bermasyarakat maupun bernegara. Perselisihan terjadi justru diawali oleh kelompok non-muslim yang benci melihat Islam serta mencoba menghalang-halangi perkembangan dan kemajuannya. Di samping itu, mereka juga melanggar janji-janji yang telah mereka ikrarkan di depan Nabi dan umat Islam untuk hidup damai. Pelanggaran ini yang kemudian menjadi cikal bakal peperangan. Puncak perselisihan itu menyebabkan terjadinya perang Badar, sebagai perang yang pertama kali dalam sejarah Islam, pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 hijrah yang berakhir dengan kemenangan di pihak Islam. Kemenangan ini merupakan faktor penentu bagi kelangsungan hidup Islam fase-fase berikutnya.
            Peperangan demi peperangan yang menyusul kemudian bukanlah karena kesengajaan. Akan tetapi “kata damai”, yang dianjurkan Islam yang semula disepakati kemudian dilanggar begitu saja oleh pihak non-muslim. Akhirnya Islam pun terpaksa mengangkat senjata untuk mempertahankan eksistensinya dan martabatnya dari kekejaman kaum kafir. Pertempuan itu bukanlah cita-cita Islam. Islam, sesuai dengan nama yang disandangnya, mengajarkan agar manusia hidup damai dan sejahtera di muka bumi. Prinsip-prinsip dasar untuk hidup damai dan sejahtera ini, secara monumental, dituangkan dalam Piagam Madinah (Shahifah Madinah). Kecuali itu, Piagam Madinah juga merupakan landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah. Dari 47 butir perjanjian yang termaktub dalam Piagam Madinah itu dapat disimpulkan: Pertama, semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas. Kedua, Hubungan antar sesama anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip: 1) Bertetangga baik; 2) Saling membantu dalam menghadapi musuh; 3) Membela mereka yang teraniaya; 4) Saling menasehati; dan 5) Menghormati kebebasan beragama. Agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam peristiwa hijrah Nabi, meskipun telah lampau, memberikan makna yang berarti bagi kehidupan umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya maka meneladani kembali adalah suatu kebijaksanaan dan kearifan.
Akhirnya, dengan semangat hijrah tahun ini marilah kita memohon atau bermunajat kepada Allah yang Maha Kuasa, semoga dengan rahmat-Nya hati kita semakin menyatu, semangat jihad dan dakwah kita semakin meningkat, kesadaran kita semakin tinggi, kepekaan nurani kita semakin hidup untuk menegakkan hukum Allah di bumi ini. Kemudian, kita wariskan ajaran Islam ini kepada anak-anak dan cucu-cucu kita dan membiasakan mereka melaksanakan shalat sebagai pilar Islam, sehingga kita tidak termasuk ke dalam kelompok manusia yang meninggalkan generasi yang mengabaikan shalat dan memperturutkan hawa nafsu; sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an:

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إلا من تاب وءامن وعمل صالحا فأولائك يدخلون الجنة ولايظلمون شيئا

Artinya: Maka lahirlah setelah mereka generasi yang mengabaikan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka akan terjebak dalam kesesatan; kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal shalih, maka mereka akan masuk surga dan mereka tidak akan dizalimi (Maryam/19: 59-60).
            Sebagai bahan renungan kita malam ini, di awal tahun 1429 Hijrah, baiklah kita simak pesan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya, yang diriwiyatkan oleh AtiTurmudzi dari Ali bin Abi Thalib, tentang 15 maksiat yang menimbulkan bencana dahsyat:
·        Apabila kekayaan negara hanya beredar di kalangan orang-orang tertentu.
·        Apabila amanah dijadikan sumber keuntungan.
·        Apabila zakat dijadikan hutang.
·        Apabila suami memperturutkan kenginan isteri.
·        Apabila anak durhaka kepada ibunya.
·        Apabila anak mengidolakan temannya.
·        Apabila anak menjauhkan diri dari ayahnya.
·        Apabila masjid dijadikan tempat paduan suara.
·        Apabila pemimpin suatu kaum adalah orang yang terhina di antara mereka.
·        Apabila seseorang dimuliakan karena ditakuti kejahatannya.
·        Apabila khamar (minuman keras) sudah diminum secara terang-terangan.
·        Apabila kain sutera banyak dipakai oleh kaum lelaki.
·        Apabila artis-artis sudah menjadi pujaan dan sanjungan.
·        Apabila musik sudah banyak dimainkan.
·        Apabila generasi masa kini menghujat generasi masa lalu.

Wallahu a’lam … !





© Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang Tafsir dan Pemikiran Islam. Di samping itu, sebagai Direktur Yayasan Shabrun Jamil Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar