Selasa, 16 November 2010

TAFSIR III.Bag 1

DR. H. Hasan Basri, MA

KULIAH TAFSIR III
Bagian 1


A. HUKUM SHALAT

1. Al-Maidah: 6

Cara Wudhu’, Mandi, dan Tayammum

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.

Kajian Ayat:

Ayat di atas mengandung tiga pesan utama:

1) Perintah berwudhu’ setiap hendak melakukan shalat dan tatacara berwudhu’ secara umum.
2) Kewajiban mandi bagi orang yang junub atau berhadts besar.
3) Dibolehkan bertayammum sebagai dispensasi (rukhshah) atau keringanan bagi orang sakit atau yang kesulitan mendapatkan air untuk berwudhu’.

Perbedaan Pendapat Ulama

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami penggalan ayat tentang mengusap kepala: وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ artinya “usaplah kepalamu.”

1) Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah menyatakan wajib mengusap seluruh kepala sebagai tindakan ikhtiyath (kehati-hatian). Karena huruf “ba’” dalam ayat itu hanya “za`idah” atau tambahan saja, tidak menunjukkan makna “sebagian” tetapi “kullaha” (seluruhnya).
2) Ulama Hanafiyah menegaskan wajib mengusap seperempat kepala saja, berdasarkan praktik Rasulullah yang mengusap ubun-ubunnya.
3) Ulama Syafi’iyah mengatakan cukup mengusap kepala sekurang-kurangnya beberapa helai rambut saja dengan yakin. Karena huruf “ba’” dalam ayat itu bermakna “li al-tab’idh” menunjukkan sebagian kepala atau rambut.

Dalam tatacara tayammum, para ulama tersebut juga berbeda pendapat dalam menyapu kedua tangan, ketika mamahami teks ayat: فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ mereka mempertanyakan apakah menyapu tangan dengan debu itu cukup sampai batas kedua pergelangan tangan saja; atau menyapu sampai kedua siku.
1) Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menyatakan menyapu muka dan kedua tangan sampai kedua siku.
Alasannya berdasarkan hadits dari Jabi bin Abdillah: “Tayammum itu dua kali tepuk, sekali untuk mengusap di muka, dan sekali lagi mengusap kedua tangan sampai kedua siku.”
2) Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah menegaskan menyapu muka dan kedua pergelangan tangan.

Alasannya berdasarkan ayat tentang hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dipotong sampai ke sikunya tetapi dalam praktik yang dipotong hanya sampai batas pergelangan tangannya walaupun disebut “tangan atau aydin” (QS. Al-Ma’idah: 38).

2. Surat An-Nisa’: 43

Larangan Shalat dalam Keadaan Mabuk, Hukum Bagi yang Junub,
dan Cara Bertayammum

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَاتَقُولُونَ وَلاَجُنُبًا إِلاَّعَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسِحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا.
Kajian Ayat:

Ayat di atas mengandung tiga pesan utama:

1) Dilarang shalat dalam keadaan mabuk.
2) Dilarang menetap di dalam masjid (i’tikaf) bagi orang yang sedang junub (berhadats besar) kecuali hanya sekedar melawati saja.
3) Diberikan keringanan (rukhshah) kepada orang sakit dan musafir yang kesulitan mendapatkan atau menggunakan air, dibolehkan menggunakan debu untuk tayammum baik sebagai pengganti mandi junub maupun pengganti wudhu’.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat:
Ulama berbeda pendapat dalam memahami penggalan ayat: أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ artinya “atau kamu menyentuh wanita”. Mereka mempersoalkan kata-kata “menyentuh atau lamasa” dalam ayat tersebut, apakah dapat membatalkan wudhu’?

1) ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, dan al-Hasan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “menyentuh wanita” dalam ayat tersebut adalah jima’ (bersetubuh dengan isteri); bukan persentuhan kulit dengan tangan. Pendapat ini diikuti oleh mazhab Hanafiyah.
2) Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, dan al-Sya’bi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “menyentuh wanita” adalah “menyentuh dengan tangan.” Pandapat ini dipanuti oleh mazhab Syafi’iyah.

Ibnu Jarir al-Thabbari menyebutkan bahwa pendapat paling rajih (kuat) adalah pendapat pertama, yaitu “menyentuh” dengan makna “jima’”. Ini didasarkan pada dalil, hadits Rasulullah:
عن رسول الله صلعم قبل بعض نساءه ثم صلى ولم يتوضأ، ثم روى عن عائشة قالت: كان رسول الله صلعم يتوضأ ثم يقبل ثم يصلى. وعن عائشة أن رسول الله صلعم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ.

Pada intinya, hadits tersebut menegaskan bahwa Rasulullah menyentuh isteri-isterinya dengan mencium mereka dalam keadaan wudhu’, tetapi ternyata Rasulullah tidak menganggap membatalkan wudhu’-nya; bahkan beliau langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.

Perbedaan Pendapat di Kalangan Fuqaha’:

1) Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa menyentuh wanita baik dengan menimbulkan syahwat maupun tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu’.
2) Imam al-Syafi’i menegaskan bahwa menyentuh wanita baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat membatalkan wudhu’.
3) Imam Malik menjelaskan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat dapat membatalkan wudhu’, tetapi jika menyentuhnya tidak disertai syahwat, maka tidak membatalkan wudhu’.

Surat An-Nisa’: 103

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

Kajian Ayat:

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ maksudnya adalah apabila sudah selesai mengerjakan shalat khauf (shalat dalam peperangan), maka diperintahkan untuk banyak berzikir sebagai rasa syukur kepada Allah atas pertolongan-Nya. Zikir dapat dilakukan dengan menyebut atau mengingat asma’ Allah baik sambil berdiri, duduk maupun sambil berbaring. Dengan banyak berzikir, orang-orang Mukmin tidak terpedaya oleh syaitan dan selalu dekat dengan Allah, sehingga Allah mengabulkan doa mereka serta diselamatkan dari berbagai marabahaya dan ancaman musuh.

ْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًmaksudnya apabila situasi kembali normal atau peperangan mulai reda, maka lakukanlah shalat seperti biasa menurut waktu yang sudah ditentukan. Shalat yang dilakukan itu berbeda dari shalat ketika dalam perang. Ayat ini mengandung perintah untuk memelihara waktu-waktu shalat yang lima, zuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh. Kemudian, diperintahkan untuk meningkatkan jihad dengan penuh kesabaran dalam mengahadapi tantangan dan rintangan. Dengan demikian, pertolongan akan dipercepat dan kemenangan akan diraih oleh orang-orang beriman.

3. Al-Baqarah: 43-46

Perintah Shalat Jama’ah dan Makna Khusyu’ dalam Shalat

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ. أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَـابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ. الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ.

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ maksudnya ialah bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mendirikan shalat wajib lima waktu dan setiap orang yang menegakkan shalat disuruh menunaikan zakat, karena antara shalat dan zakat mempunyai hubungan yang erat, sama-sama pilar Islam. Tentu saja kewajiban zakat bagi yang sudah memenuhi syarat-syaratnya. Kemudian, Allah menyuruh hamba-Nya untuk melakukan shalat berjamaah di masjid karena shalat jamaah itu banyak keutamaannya. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa shalat jamaah lebih utama daripada shalat sendirian.

صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ بسبع و عشرين درجة.

“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan kelebihan 27 derajat.”

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ Allah mengajak hamba-Nya agar memohon pertolongan dengan penuh kesabaran dan menegakkan shalat. Karena sabar dan shalat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar. Selanjutnya Allah menyebutkan bahwa shalat itu terasa amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.

وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ Allah mengakui bahwa shalat itu amat berat dikerjakan oleh hamba-Nya yang tipis imannya dan malas melakukannya karena menuruti hawa nafsu dan godaan syaitan. Namun, bagi orang khusyu’ akan terasa ringan dalam melakukannya karena shalat menjadikan jiwa dan pikirannya tenang dan tenteram. Karena itu, shalat yang dilakukan dengan khusyu’ dapat mendekatkan diri seorang hamba dengan Allah. Imam al-Ghazzali menjelaskan cara agar khusyu’ dalam shalat dengan menempuh enam tahap:

1) Hudhur al-Qalb (hadir hati dalam shalat)
2) Tafahhum (memahami tatacara shalat dengan baik)
3) Ta’zhim (mengagungkan Allah)
4) Haybah (kagum terhadap keagungan Allah)
5) Raja’ (penuh pengharapan kepada Allah)
6) Haya’ (merasa malu di depan Allah)

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ayat ini menjelaskan makna khhusyu’ dalam shalat, yakni meyakini bahwa kita akan berjumpa dengan Allah, cepat atau lambat; dan kita akan kembali kepada-Nya. Sebab itulah, maka Rasulullah mengingatkan agar kalau kita mengerjakan shalat, anggaplah itu sebagai shalat yang terakhir kita lakukan, seakan-akan kita akan segera meninggalkan dunia ini untuk memenuhi panggilan Allah kea lam baqa. Jadi, shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang dikerjakan dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada Allah serta penuh penghayatan segenap jiwa dan raga, hati, pikiran dan ucapan.

Al-Baqarah: 142-145

Perintah Menghadap Kiblat dalam Shalat

سَيَقُولُ السُّفَهَآءُ مِنَ النَّاسِ مَاوَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُل للهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَآءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ. وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَي اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفُُ رَّحِيمُُ. قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ. وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ ءَايَةٍ مَّا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَآأَنتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَآءَهُم مِّن بَعْدِ مَاجَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَّمِنَ الظَّالِمِينَ.

Kajian Ayat:

Secara umum ayat-ayat di atas menjelaskan tentang perubahan arah Kiblat yang terjadi ketika Rasulullah sangat mengharapkan agar Allah merubah arah Kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis ke Masjidil Haram. Setelah 16 bulan Rasulullah shalat menghadap ke Baitul Maqdis di Palestina, dirubah ke arah Masjidil Haram, di Makkah ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat ‘Ashar di Madinah. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah untuk segera memalingkan wajahnya ke Masjidil Haram melalui firman-Nya:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ayat ini sebagai bukti bahwa Allah sudah menerima doa dan memenuhi harapan Rasul-Nya untuk menghadap ke Masjdil Haram. Pada dasarnya, Rasulullah menginginkan agar umat Islam berbeda dari umat-umat lain, termasuk berbeda dalam menghadap ketika shalat. Ada dua alas an penting bagi Rasulullah untuk memohon agar dirubah arah kiblat: pertama, arah kiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram adalah kiblat nenek moyangnya, Nabi Ibrahim. Kedua, Rasulullah tidak ingin arah kiblatnya sama dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, umat Islam menjadi أُمَّةً وَسَطًا yaitu umat pilihan yang berkeseimbangan dan berkeadilan atau moderat. Seimbang dalam memenuhi keperluan duniawi dan ukhrawi, seimbang dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan ruhani, seimbang dalam berpikir dan berzikir, dan seimbang dalam berkarya dan beribadah.

Meskipun demikian, Rasulullah menghadapi fitnah yang disebarkan oleh orang-orang Yahudi karena umat Islam tidak menghadap ke arah Baitul Maqdis sebagai kiblat mereka. Namun, semua itu adalah ujian bagi orang beriman, agar Allah menetapkan siapa di antara mereka yang benar-benar mengikuti petunjuk (hidayah) dan siapa yang menempuh jalan kesesatan (dhalalah) dan kezaliman.

Dalam kaitan dengan menghadap Kiblat, para ulama berbeda pandangan:

1) Mazhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah mengatakan bahwa wajib menghadap ke pusat Ka’bah (‘ain al-Ka’bah).
2) Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa wajib menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah), tidak mesti harus tepat pada Ka’bah; kecuali orang yang shalat itu dapat melihat langsung Ka’bah di depannya, maka ia menghadap ke Ka’bah (‘ain al-Ka’bah).


Al-Baqarah: 222-223

Makna Haidh dan Hukumnya

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَتَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ. نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلاَقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ.

Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi pada saat isteri-isteri mereka sedang dalam keadaan haidh, mereka tidak mau makan bersama isteri-isteri mereka; bahkan menyingkirkan mereka dari rumah. Oleh karena itu, para sahabat menanyakan hal ini kepada Rasulullah, kemudian turunlah ayat tersebut sebagai jawabannya.

Selanjutnya, mereka bertanya kepada Rasulullah, “Apa yang diperbolehkan terhadap wanita yang sedang mengalami haidh (menstruasi)?” Rasulullah menjawab: “Untukmu apa yang ada di atas kain atau di atas pusar” (HR. Abu Dawud). Kemudian Rasulullah menegaskan lagi:

اصنعوا كل شيء إلا الجماع.

“Berbuatlah segala sesuatu kecuali jima’ (bersetubuh).” (HR. Ahmad dan Muslim).

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam hubungan suami-isteri ada aturannya, yaitu seorang suami harus menahan diri ketika isterinya sedang dalam keadaan haidh. Menurut ayat di atas, haidh itu adalah darah kotor yang mengandung penyakit. Oleh sebab itu bahaya bagi suami-isteri yang melakukan hubungan seksual pada saat isterinya haidh.

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللهُ maksudnya adalah apabila isteri sudah berhenti darah haidh-nya dan sudah bersuci (mandi) maka lakukanlah hubungan seksual sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan menjaga etika atau tatacara berhubungan intim antara suami dan isteri; dengan penuh kelembutan dan romantis.
Bahaya Melakukan Hubungan Seksual pada Saat Isteri haidh

Melakukan hubungan seksual dengan isteri yang sedang haidh akan menimbulkan bahaya sebagai berikut:

1) Timbulnya rasa sakit pada alat kelamin wanita; dan bisa menimbulkan infeksi pada rahim yang mengakibatkan kerusakan pada sel-sel telur wanita sehingga dia mengalami kemadulan.
2) Darah haidh yang terkena pada alat kelamin laki-laki dapat menimbulkan infeksi yang mengakibatkan keluar nanah, seperti penderita penyakit gonorrhea (kencing nanah). Apabila infeksi ini merambat sampai kedua buah biji pelir laki-laki, maka akan terasa sakit dan nyeri; dan akan hilang kejantanannya. Bahkan bisa terserang virus HIV yang berujung kepada penyakit AIDS.

فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ ayat ini menjelaskan bahwa suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan isterinya yang sedang dalam kondisi haidh; karena dapat membahayakan diri sendiri. Selain itu, melakukan hubungan pada saat isteri hadih berarti melanggar prinsip syari’ah dan sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai akhlaqul karimah.

نِسَآؤُكُمْ حَرْثُ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ ayat ini menegaskan bahwa isteri ibarat lading untuk ditanami bibit atau benih yang baik dan unggul. Maka, dibolehkan bagi suami untuk mendatangi isterinya dan melakukan hubungan menurut kemauan dan kesukaannya; sambil berdiri, duduk, jongkok, menyamping, terlentang, dari depan dan dari arah belakang. Namun, hindari anus (dubur) karena itu sarang kotoran atau penyakit.


Al-Baqarah: 238

Perintah Shalat Lima Waktu

حَافِضُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ.

حَافِضُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ Maksud shalawat dalam ayat ini ialah shalat lima waktu. Dalam kondisi normal, shalat dilakukan dengan penuh ketenangan dan khusyu’ serta tawdhu’; tetapi dalam keadaan darurat, shalat dapat dilakukan menurut batas kemampuan masing-masing; sambil duduk, berdiri, atau berbaring. Kadangkala boleh di-qashar dan di-jama’.

وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى Shalat Wustha ialah shalat yang letaknya di tengah-tengah dari shalat lima waktu; sebagian sahabat memahami bahwa shalat Wustha adalah shalat shubuh; tetapi menurut hadis Rasulullah, yang dimaksud dengan shalat Wustha adalah shalat ‘Ashar.

شغلونا عن الصلاة الوسطى صلاة العصر.
Mereka (orang-orang kafir) membuat kami tidak sempat melakukan shalat Wustha, yakni shalat ‘Ashar. (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ maksudnya adalah lakukanlah shalat dengan penuh rasa khusyu’ dan rasa takut terhadap azab Allah di hari Akhirat, dengan mengagungkan dan menghayati kebesaran-Nya. Sebab shalat tidak akan sempurna dan tidak mendatangkan manfaat kalau tidak dikerjakan dengan khusyu’.

Adapun memelihara shalat lima waktu merupakan tanda keimanan seseorang dan syarat sahnya Islam seseorang. Shalat yang dilakukan dengan khusyu’ dapat mengangkat derajat seseorang ke peringkat kemuliaan akhlak dan dapat mencegahnya dari berbuat keji dan munkar. Mengabaikan shalat berarti kafir, sebagaimana disabdakan Rasulullah:

العهد الذي بيننا وبينكم الصلاة فمن تركها فقد كفر.

Perjanjian antara kami dan kamu adalah mendirikan shalat, maka barangsiapa meninggalkan shalat berarti dia telah menjadi kafir.” (HR. Ahmad)


4. Surat al-Isra’: 78

Waktu-waktu Shalat

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا.
Ayat di atas menjelaskan tiga hal, yaitu: penjelasan tentang waktu shalat; waktu shalat shubuh dan keutamaan shalat shubuh.

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ maksudnya adalah tegakkan shalat ketika tergelincir matahari sebagai pertanda masuknya waktu Zhuhur dan ‘Ashar; dan lakukan shalat ketika sudah gelap sebagai pertanda masuknya waktu Maghrib dan ‘Isya’. Dalam rangkaian ayat ini ada empat waktu shalat. Selanjutnya disebutkan waktu Shubuh pada ujung ayat tersebut.

ِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرmaksudnya adalah waktu shubuh yang diistilahkan dengan “qur’an” yang berarti “bacaan” karena shalat shubuh disunnahkan memanjangkan bacaan ayat setelah membaca al-Fatihah. Meskipun shalat shubuh dua rakaat, ia tetap lama karena bacaan ayatnya panjang. Dan kesannya pun berbeda dari shalat lain karena saat shubuh adalah saat yang paling hening dan khidmat.

إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا. Maksudnya ialah bahwa shalat Shubuh disaksikan oleh para Malaikat yang bertugas di waktu siang dan di waktu malam, sebagaimana sabda Rasulullah:
يتعاقبون فيكم ملائكة بالليل وملائكة بالنهار فيجتمعون في صلاة العصر وصلاة الفجر.
Para Malaikat yang bertugas di siang hari dan malam hari saling bertemu di tengah-tengah kamu, mereka berkumpul pada waktu shalat ‘Ashar dan shalat Shubuh. (menyaksikan shalatmu).


5. Surat Hud: 114

وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ.
Ayat ini merupakan bayan ta’kid (keterangan penguat) terhadap ayat 78 surat al-Isra’ mengenai waktu-waktu shalat. Jika dalam surat al-Isra’ disebutkan tiga waktu shalat secara umum, yaitu saat tergelincir matahari, saat masuk waktu malam, dan terbit fajar; maka surat Hud ayat 114 ini menyebut tiga waktu shalat juga secara umum yakni: dua tepi siang dan permulaan malam. Kemudian menjelaskan manfaat shalat lima waktu bagi manusia.

وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ maksudnya ialah dirikanlah shalat pada waktu siang hari yakni waktu Shubuh, Zhuhur dan ‘Ashar. Dan tegakkanlah pula shalat di waktu malam hari yaitu Maghrib dan ‘Isya’. Dua tepi siang dalam ayat tersebut mengacu pada tiga waktu shalat di siang hari; dan permulaan malam berarti awal malam, masuk waktu Maghrib dan kemudian disusul dengan waktu ‘Isya’.

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ bagian akhir ayat ini menegaskan pentingnya shalat dalam kehidupan manusia karena dengan melaksanakan shalat dapat menghapus kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya. Ini berarti bahwa shalat dapat menghapus dosa-dosa; bahkan, dari satu shalat ke shalat yang lain dapat menghapus kesalahan dan menambah kebaikan serta pahala. Shalat dapat melempangkan jalan ke surga karena di hari Kiamat nanti, amal yang pertama kali dihisab adalah shalat.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam al-Qur’an sudah ditetapkan waktu-waktu shalat kendatipun tidak terinci. Kemudian, Rasulullah menjelaskan waktu-waktu shalat secara eksplisit dan cara mengetahuinya dalam hadis-hadisnya yang mulia. Berdasarkan ayat dan penjelasan hadis itulah kemudian tatacara pelaksanaan shalat dan waktu-waktunya ditetapkan secara pasti. ◙

Tidak ada komentar:

Posting Komentar