Selasa, 16 November 2010

AQIDAH.Bag 1

DR. H. Hasan Basri, MA

PEMBAHASAN:
MATERI PENDIDIKAN ‘AQIDAH
(Bagian 1)

من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة (رواه مسلم)

الإيمان بضع وسبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لااله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان (رواه مسلم).


1. Pengertian dan Beberapa Istilah Lain tentang ‘Aqidah

a. Pengertian ‘Aqidah

‘Aqidah secara etimologi berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-’aqdan atau ‘aqidatan artinya simpul, ikatan, buhul atau perjanjian yang kokoh.

Menurut istilah syara’, ‘aqidah ialah meyakini dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikit pun: tentang Allah, para Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat, dan Qadar (baik dan buruk ketetapan dari Allah); dan meyakini hal-hal ghaib yang telah ditetapkan berupa informasi masa akan datang yang bakal terjadi, seperti kematian, azab kubur, kebangkitan kembali, surga, dan neraka.

b. Beberapa Istilah Lain tentang ‘Aqidah

• ‘Aqidah Islamiyyah: ‘Aqidah yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan wahyu (al-Qur’an dan Sunnah).
• ‘Aqidah Salafiyyah: ‘Aqidah yang diikuti oleh para sahabat dan tabi’in serta ulama-ulama yang hidup sampai abad ke -3 hijirah.
• ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah: ‘Aqidah yang dianut oleh umat Islam berdasarkan petunjuk Rasulullah dan para Sahabatnya.

Makna ‘Aqidah Mencakup:

• Iman: mengikrarkan dengan lisan (taqrir bi al-lisan), meyakini dengan hati (tashdiq bi al-qalb), dan mengamalkan dengan anggota badan (al-‘amal bi al-arkan) (Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i).
• Tauhid: meng-esakan Allah dalam Zat-Nya, Sifat-Nya, dan Af’al-Nya.
• Ushul al-Din: pokok-pokok ajaran agama Islam (yang wajib dipelajari).

c. Klasifikasi Tauhid

1) Tauhid Uluhiyyah: hanya Allah yang wajib disembah, Allah tempat meminta dan mengharap, Allah sebagai fokus kecintaan dan ketundukan.
2) Tauhid Rububiyah:Allah pencipta, penjaga, pemelihara, pelindung, pemberi rezki, dan penyelamat.
3) Tauhid Mulkiyyah: Allah penguasa dan pemilik seluruh alam, pemimpin dan pengendali, dan pemelihara seluruh makhluk.
4) Tauhid Asma’ wa Shifat: meyakini bahwa Allah mempunyai nama-nama terindah (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang mulia, yang tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

• La Tahrif (tanpa merubah)
• La Ta’thil (tanpa menafikan)
• La Takyif (tanpa mempertanyakan)
• La Tamtsil (tanpa menyerupakan)
• La Tasybih (tanpa menyamakan)

2. Signifikansi Mempelajari ‘Aqidah

1) Dapat mengetahui system keyakinan yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya, Nabi Muhammad.
2) Dapat membuka wawasan ilmu tentang hal-hal yang berhubungan ‘aqidah Islamiyah yang benar sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3) Dapat memantapkan keyakinan terhadap Allah, para Malaikat, Kitab-kitab yang pernah diwahyukan, Rasul-rasul yang pernah diutus kedunia, kepastian terjadi Hari Kiamat, dan yakin dengan keputusan Allah dan ketetapan-Nya (qadha’ dan qadar).
4) Dapat menenangkan dan menenteramkan hati karena dapat mengamalkan ‘aqidah yang benar sesuai dengan tuntunan.
5) Dapat menghindarkan diri kita dari unsur-unsur dan praktik kemusyrikan dan terhindar dari kesesatan.

3. Sejarah Perkembangan ‘Aqidah

1) Persoalan ‘aqidah telah mengalami sejarah yang panjang yakni sejak diciptakan makhluk di alam ini. Para Malaikat semuanya beriman kepada Allah dan tunduk serta taat kepada seluruh perintah-Nya. Demikian pula jin, iblis, dan syaitan yang pada awalnya semuanya beriman dan tunduk kepada Allah. Khusus kalangan iblis atau syaitan kemudian kufur kepada Allah karena kesombongannya. Akhirnya, Allah mengutuk atau melaknat iblis atau syaitan sampai Hari Kiamat.
2) Kemudian, Allah menciptakan manusia yang dimulai dengan penciptaan Adam dan Hawa, juga diperintahkan untuk beriman dan menjalankan seluruh perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya.
3) Selain itu, seluruh makhluk yang ada di langit, di bumi, di laut, di hutan dan di darat semuanya beriman dan tunduk kepada Allah. Dalam perjalanan sejarah ‘aqidah, hanya kelompok jin dan manusia saja yang terpilah menjadi dua golongan: golongan beriman dan golongan kafir. Maka, ada golongan manusia dan jin yang beriman; dan ada pula golongan manusia dan jin yang kafir.
4) Ketika Adam diutus menjadi Rasul, dia diperintahkan untuk memimpin manusia ke jalan iman dan tauhid; tidak berbuat syirik. Demikian juga nabi dan para Rasul berikutnya, semua mereka bertugas menyampaikan pesan wahyu yang berisi “Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia” (QS. Al-A’raf: 59).
5) Ketika Nabi Ibrahim diutus, banyak manusia menyembah patung. Lalu Nabi Ibrahim melarang mereka menyembah makhluk, dan beliau pun berdo’a: “…Ya Allah, jauhkan aku dan anak cucuku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35).Bahkan, Nabi Ibrahim menyadarkan umatnya dan ayahnya sendiri agar meninggalkan sembahan sesat. Nabi Ibrahim mengajak mereka berpikir dan merenung secara mendalam tentang Tuhan yang berhak disembah; bukan matahari, bukan pula bulan dan bintang; tetapi yang wajib disembah adalah Pencipta langit dan bumi, Pencipta matahari, bulan dan bintang. Dalam sejarah, nabi Ibrahim terkenal dengan “Pelopor Ajaran Tauhid” karena kesungguhannya mengajak manusia untuk menyembah Allah yang Esa.
6) Demikian juga seluruh Rasul yang pernah diutus oleh Allah, semua mereka mengajak manusia ke jalan Tauhid, ‘aqidah shahihah. Dalam hal ini, Allah menegaskan: “Dan tidak Kami utus Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, karena itu sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25).
7) Ketika Allah menciptakan manusia, pada saat manusia berada dalam kandungan ibunya, Allah memerintahkan Malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam tubuhnya, seraya berkata: “…Bukankah Aku ini Tuhanmu?, lalu manusia menjawab: “Benar, Engkau adalah Tuhan kami, kamilah yang menjadi saksi…” (QS. Al-A’raf: 172).
8) Ketika manusia lahir ke dunia, Allah mengingatkannya laggi dengan kalimat: “Hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah yang lurus, tetaplah kamu pada fithrah tauhid yang telah Allah ciptakan manusia berdasarkan fithrah itu; tidak ada perubahan pada fithrah ciptaan Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Al-Rum: 30).
9) Pada perkembangan selanjutnya, persoalan ‘aqidah mulai dikaji dan dibahas secara ilmiah, maka lahirlah ilmu kalam atau teologi Islam. Kajian mulai dilakukan secara terbuka ketika terjadi perdebatan mengenai orang yang sudah beriman tetapi melakukan dosa besar; bagaimana status mereka dalam pandangan agama? Dari persoalan ini kemudian timbullah berbagai aliran teologi dalam Islam, yang meluas kepada persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan ‘aqidah.

4. Ruang Lingkup Pembahasan ‘Aqidah

1) Ilahiyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah, dan sebagainya.
2) Nubuwat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, kitab-kitab yang diwahyukan, mu’jizat dan sebagainya.
3) Ruhaniyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisika, seperti Malaikat, jin, iblis, syaitan, ruh dan sebagainya.
4) Sam’iyyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias diketahui melalui dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah), seperti alam barzakh, azab kubur, alam Akhirat, kenikmatan surga dan azab neraka.



5. Metode Memahami ‘Aqidah:

a. Pendekatan Naturalistik

Secara natural, manusia dapat mengenal Allah melalui pengamatan terhadap fenomena alam yang ada di sekitarnya. Matahari, misalnya, setiap pagi terbit dari timur dan terbenam di sebelah barat. Demikian juga pada malam hari muncul bulan yang terang benderang, bintang-bintang bertaburan di langit yang tinggi, pergantian malam dan siang, perputaran bumi yang berlangsung dengan harmonis dan sebagainya. Semua itu tidaklah terjadi secara kebetulan dan insidental; tetapi pasti ada yang mengaturnya. Di balik keteraturan alam ini pasti ada yang menata dan memeliharanya. Di balik perputaran planet-planet di jagad raya pasti ada yang maha Penggerak, yang maha Kuasa, maha Pencipta dan maha Pemelihara. Ketika Nabi Ibrahim meyakinkan umatnya tentang Allah, beliau menggunakan pendekatan naturalistik, dengan menyuruh umatnya memperhatikan bintang-bintang, bulan dan matahari, yang terbit dan terbenam kemudian menghilang, tak ada yang abadi. Di balik semua itu ada yang mengaturnya, Zat yang bersifat Abadi, yakni Allah. (Baca lebih lanjut surat al-An’am: 75-79, dan al-Baqarah: 258, 260).

b. Pendekatan ‘Aqli

Secara rasional, manusia dapat mengenal Allah dengan akalnya. Manusia diberikan kemampuan akal untuk berpikir dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Maka, ketika manusia merenung dari mana asal usul kehidupan, pasti dia akan mengatakan bahwa kehidupan itu berasal dari Zat yang Maha Hidup (al-Hayy), Dialah Allah. Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang dapat menyaksikan sendiri bahwa ada manusia dan binatang yang mati; sementara ada manusia dan hewan yang lahir. Ada manusia yang jatuh sakit dan ada pula yang sehat. Semua fenomena itu secara akal dapat dianalisis, mengapa hal itu bisa terjadi. Akhirnya, manusia akan tiba pada satu kesimpulan bahwa di balik semua fenomena ini pasti ada yang Maha Berkuasa. Dengan menggunakan akal sehat, manusia dapat mengenal Allah meskipun tidak ada yang pernah memberitahukan kepadanya bahwa Allah itu ada. Kisah Hayy bin Yaqzhan yang diceritakan oelh Ibnu Thufail, misalnya, telah menggugah perhatian para filosof untuk mengakui bahwa manusia dapat mengenal Allah dengan akalnya. Kisah itu menceritakan bahwa seorang anak manusia yang bernama Hayy bin Yaqzhan, tinggal sendirian di hutan belantara, dia disusui dan diasuh oleh seekor rusa. Ketika dia dewasa pikirannya semakin berkembang, dan rasa ingin tahu pun semakin meningkat sampai kepada pertanyaan yang sangat mendasar, “siapakah yang mengatur ala mini?” akhirnya, dia memastikan bahwa di balik keanekargaman pasti ada kekuatan yang tersembunyi , yang suci, dan tidak terlihat oleh mata, yaitu “Sebab Pertama” atau “Pencipta dunia”. Selanjutnya, Hayy bin Yaqzhan merenungkan tentang langit, gerakan bintang-bintang, peredaran bulan, dan pengaruhnya atas bumi; dan dia memperhatikan hewan-hewan dan tumbuhan di sekitarnya; sampai pada akhirnya dia berjumpa dengan seorang terpelajar, dan memiliki pengetahuan tentang agama, bernama Absal di sebuah pulau yang lain; dan dia pun belajar bahasa dari Absal. Ketika mereka berkomunikasi dana berdiskusi, mereka tiba pada satu kesimpulan yang sama, yaitu tentang adanya Allah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan akal, manusia dapat mengetahui wujud Allah melalui tanda-tanda pada makhluk-Nya dan mampu menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya.

c. Pendekatan Naqli

Tidak sedikit ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah baik di langit maupun di bumi. Kemahakuasaan Allah tanpa batas, bahkan dalam al-Qur’an secara tegas disebutkan: “Milik Allah kerajaan langit dan bumi, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Hadid: 2, 5). Demikian juga al-Qur’an menyampaikan informasi kepada manusia bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada. Allah juga yang mengatur segala urusan, memberi rezki kepada seluruh makhluk-Nya. Allah tidak pernah tidur, tidak mengantuk, dan tidak memerlukan pertolongan dari pihak lain, Dia memiliki ilmu yang sangat luas (al-Baqarah: 255) dan Dia pula yang memancarkan cahaya ke seluruh penjuru dunia (al-Nur: 35). Kerajaan langit dan bumi ada dalam genggamannya; Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia, siapa di antara manusia yang terbaik amalnya (al-Mulk: 1-2). Demikian juga dengan fithrahnya, manusia dapat mengetahui dan mengenal Allah (al-A’raf: 172 dan al-Rum: 30).

6. Fungsi ‘Aqidah

1) Sebagai fondasi Islam, ibarat sebuah bangunan akan kokoh jika fondasinya kuat.
2) Sebagai syarat diterima amal dan do’a seseorang, sangat tergantung pada kemantapan ‘aqidahnya.
3) Menuntun kehidupan seorang Muslim ke arah yang benar (nur, haqq) sehingga terhindar dari kesesatan (syirik dan dhalalah).
4) Orang yang memiliki ‘aqidah yang kuat, pasti akan dapat melaksanakan ibadah dengan tertib, konsisten, dan memiliki akhlak yang mulia dalam bermu’amalah dengan sesama manusia.
5) Mendidik dan melatih manusia menjadi hamba Allah yang sejati; bukan hamba syaitan.
6) Mencegah manusia dari menghambakan diri kepada makhluk; dan menghindari manusia dari sifat sombong (takabbur).

7. Arkan al-Iman

1) Beriman kepada Allah
2) Beriman kepada Malaikat-Malaikat
3) Beriman kepada Kitab-Kitab
4) Beriman kepada Rasul-Rasul
5) Beriman kepada Hari Akhirat
6) Beriman kepada Qadar (baik atau buruk ketetapan Allah)

Lihat, QS. Al-Baqarah: 285, al-Nisa’: 136, dan Hadits Riwayat Muslim (dalam Shahih Muslim, tentang Iman, Islam dan Ihsan).


8. Pengaruh ‘Aqidah Tauhid bagi Kehidupan

1) Creating wide outlook or insight
2) Producing the highest degree of self-respect and self-esteem.
3) Generatign sense of modesty and humbleness.
4) Making virtuous and upright.
5) Having a firm faith in God.
6) Producing patience and perseverance and trust in God.
7) Inspiring bravery in man.
8) Creating an attitude of peace and contentment.
9) Making man obey and observe God’s law or precept.
(Abul A’la al-Maududi, Principles of Islam…)

• AplikasiTauhid dalam Kehidupan

1) Penghambaan Diri Hanya Kpd Allah (Al-Fatihah/1: 5; Al-Baqarah/2: 21, Al- An’am/6: 161-162; dan Thaha/20: 14).
2) Beribadah dengan Ikhlas (Az-Zumar/39: 2; dan Al-Bayyinah/ 98: 5).
3) Menjauhi Thaghut (Al-Baqarah/2: 256; dan An-Nahl/16: 36).
4) Tidak Menyembah Syaitan (Yasin/36: 60-61).
5) Beribadah tanpa bercampur Syirik/Perantara (An-Nisa’/4: 36; al-Kahfi/18: 110).

• Nilai Universal Tauhid (Universal Value of Tawhid)

1) Tawhid: The Essence of Islam
2) Tawhid: The Principle of History
3) Tawhid: The Principle of Knowledge
4) Tawhid: The Principle of Metaphysics
5) Tawhid: The Principle of Ethics
6) Tawhid: The Principle of Social Order
7) Tawhid: The Principle of the Ummah
8) Tawhid: The Principle of the Family
9) Tawhid: The Principle of Political Order
10) Tawhid: The Principle of Economic Order
11) Tawhid: The Principle of World Order
12) Tawhid: The Principle of Esthetics

Lebih lanjut, baca: Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid Its Relevance for Thought and Life …




















DR. H. Hasan Basri, MA

PEMBAHASAN:
MATERI PENDIDIKAN ‘AQIDAH
(Bagian 1)

من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة (رواه مسلم)

الإيمان بضع وسبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لااله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان (رواه مسلم).


1. Pengertian dan Beberapa Istilah Lain tentang ‘Aqidah

a. Pengertian ‘Aqidah

‘Aqidah secara etimologi berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-’aqdan atau ‘aqidatan artinya simpul, ikatan, buhul atau perjanjian yang kokoh.

Menurut istilah syara’, ‘aqidah ialah meyakini dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikit pun: tentang Allah, para Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat, dan Qadar (baik dan buruk ketetapan dari Allah); dan meyakini hal-hal ghaib yang telah ditetapkan berupa informasi masa akan datang yang bakal terjadi, seperti kematian, azab kubur, kebangkitan kembali, surga, dan neraka.

b. Beberapa Istilah Lain tentang ‘Aqidah

• ‘Aqidah Islamiyyah: ‘Aqidah yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan wahyu (al-Qur’an dan Sunnah).
• ‘Aqidah Salafiyyah: ‘Aqidah yang diikuti oleh para sahabat dan tabi’in serta ulama-ulama yang hidup sampai abad ke -3 hijirah.
• ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah: ‘Aqidah yang dianut oleh umat Islam berdasarkan petunjuk Rasulullah dan para Sahabatnya.

Makna ‘Aqidah Mencakup:

• Iman: mengikrarkan dengan lisan (taqrir bi al-lisan), meyakini dengan hati (tashdiq bi al-qalb), dan mengamalkan dengan anggota badan (al-‘amal bi al-arkan) (Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i).
• Tauhid: meng-esakan Allah dalam Zat-Nya, Sifat-Nya, dan Af’al-Nya.
• Ushul al-Din: pokok-pokok ajaran agama Islam (yang wajib dipelajari).

c. Klasifikasi Tauhid

1) Tauhid Uluhiyyah: hanya Allah yang wajib disembah, Allah tempat meminta dan mengharap, Allah sebagai fokus kecintaan dan ketundukan.
2) Tauhid Rububiyah:Allah pencipta, penjaga, pemelihara, pelindung, pemberi rezki, dan penyelamat.
3) Tauhid Mulkiyyah: Allah penguasa dan pemilik seluruh alam, pemimpin dan pengendali, dan pemelihara seluruh makhluk.
4) Tauhid Asma’ wa Shifat: meyakini bahwa Allah mempunyai nama-nama terindah (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang mulia, yang tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

• La Tahrif (tanpa merubah)
• La Ta’thil (tanpa menafikan)
• La Takyif (tanpa mempertanyakan)
• La Tamtsil (tanpa menyerupakan)
• La Tasybih (tanpa menyamakan)

2. Signifikansi Mempelajari ‘Aqidah

1) Dapat mengetahui system keyakinan yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya, Nabi Muhammad.
2) Dapat membuka wawasan ilmu tentang hal-hal yang berhubungan ‘aqidah Islamiyah yang benar sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3) Dapat memantapkan keyakinan terhadap Allah, para Malaikat, Kitab-kitab yang pernah diwahyukan, Rasul-rasul yang pernah diutus kedunia, kepastian terjadi Hari Kiamat, dan yakin dengan keputusan Allah dan ketetapan-Nya (qadha’ dan qadar).
4) Dapat menenangkan dan menenteramkan hati karena dapat mengamalkan ‘aqidah yang benar sesuai dengan tuntunan.
5) Dapat menghindarkan diri kita dari unsur-unsur dan praktik kemusyrikan dan terhindar dari kesesatan.

3. Sejarah Perkembangan ‘Aqidah

1) Persoalan ‘aqidah telah mengalami sejarah yang panjang yakni sejak diciptakan makhluk di alam ini. Para Malaikat semuanya beriman kepada Allah dan tunduk serta taat kepada seluruh perintah-Nya. Demikian pula jin, iblis, dan syaitan yang pada awalnya semuanya beriman dan tunduk kepada Allah. Khusus kalangan iblis atau syaitan kemudian kufur kepada Allah karena kesombongannya. Akhirnya, Allah mengutuk atau melaknat iblis atau syaitan sampai Hari Kiamat.
2) Kemudian, Allah menciptakan manusia yang dimulai dengan penciptaan Adam dan Hawa, juga diperintahkan untuk beriman dan menjalankan seluruh perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya.
3) Selain itu, seluruh makhluk yang ada di langit, di bumi, di laut, di hutan dan di darat semuanya beriman dan tunduk kepada Allah. Dalam perjalanan sejarah ‘aqidah, hanya kelompok jin dan manusia saja yang terpilah menjadi dua golongan: golongan beriman dan golongan kafir. Maka, ada golongan manusia dan jin yang beriman; dan ada pula golongan manusia dan jin yang kafir.
4) Ketika Adam diutus menjadi Rasul, dia diperintahkan untuk memimpin manusia ke jalan iman dan tauhid; tidak berbuat syirik. Demikian juga nabi dan para Rasul berikutnya, semua mereka bertugas menyampaikan pesan wahyu yang berisi “Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia” (QS. Al-A’raf: 59).
5) Ketika Nabi Ibrahim diutus, banyak manusia menyembah patung. Lalu Nabi Ibrahim melarang mereka menyembah makhluk, dan beliau pun berdo’a: “…Ya Allah, jauhkan aku dan anak cucuku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35).Bahkan, Nabi Ibrahim menyadarkan umatnya dan ayahnya sendiri agar meninggalkan sembahan sesat. Nabi Ibrahim mengajak mereka berpikir dan merenung secara mendalam tentang Tuhan yang berhak disembah; bukan matahari, bukan pula bulan dan bintang; tetapi yang wajib disembah adalah Pencipta langit dan bumi, Pencipta matahari, bulan dan bintang. Dalam sejarah, nabi Ibrahim terkenal dengan “Pelopor Ajaran Tauhid” karena kesungguhannya mengajak manusia untuk menyembah Allah yang Esa.
6) Demikian juga seluruh Rasul yang pernah diutus oleh Allah, semua mereka mengajak manusia ke jalan Tauhid, ‘aqidah shahihah. Dalam hal ini, Allah menegaskan: “Dan tidak Kami utus Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, karena itu sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25).
7) Ketika Allah menciptakan manusia, pada saat manusia berada dalam kandungan ibunya, Allah memerintahkan Malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam tubuhnya, seraya berkata: “…Bukankah Aku ini Tuhanmu?, lalu manusia menjawab: “Benar, Engkau adalah Tuhan kami, kamilah yang menjadi saksi…” (QS. Al-A’raf: 172).
8) Ketika manusia lahir ke dunia, Allah mengingatkannya laggi dengan kalimat: “Hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah yang lurus, tetaplah kamu pada fithrah tauhid yang telah Allah ciptakan manusia berdasarkan fithrah itu; tidak ada perubahan pada fithrah ciptaan Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Al-Rum: 30).
9) Pada perkembangan selanjutnya, persoalan ‘aqidah mulai dikaji dan dibahas secara ilmiah, maka lahirlah ilmu kalam atau teologi Islam. Kajian mulai dilakukan secara terbuka ketika terjadi perdebatan mengenai orang yang sudah beriman tetapi melakukan dosa besar; bagaimana status mereka dalam pandangan agama? Dari persoalan ini kemudian timbullah berbagai aliran teologi dalam Islam, yang meluas kepada persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan ‘aqidah.

4. Ruang Lingkup Pembahasan ‘Aqidah

1) Ilahiyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah, dan sebagainya.
2) Nubuwat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, kitab-kitab yang diwahyukan, mu’jizat dan sebagainya.
3) Ruhaniyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisika, seperti Malaikat, jin, iblis, syaitan, ruh dan sebagainya.
4) Sam’iyyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias diketahui melalui dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah), seperti alam barzakh, azab kubur, alam Akhirat, kenikmatan surga dan azab neraka.



5. Metode Memahami ‘Aqidah:

a. Pendekatan Naturalistik

Secara natural, manusia dapat mengenal Allah melalui pengamatan terhadap fenomena alam yang ada di sekitarnya. Matahari, misalnya, setiap pagi terbit dari timur dan terbenam di sebelah barat. Demikian juga pada malam hari muncul bulan yang terang benderang, bintang-bintang bertaburan di langit yang tinggi, pergantian malam dan siang, perputaran bumi yang berlangsung dengan harmonis dan sebagainya. Semua itu tidaklah terjadi secara kebetulan dan insidental; tetapi pasti ada yang mengaturnya. Di balik keteraturan alam ini pasti ada yang menata dan memeliharanya. Di balik perputaran planet-planet di jagad raya pasti ada yang maha Penggerak, yang maha Kuasa, maha Pencipta dan maha Pemelihara. Ketika Nabi Ibrahim meyakinkan umatnya tentang Allah, beliau menggunakan pendekatan naturalistik, dengan menyuruh umatnya memperhatikan bintang-bintang, bulan dan matahari, yang terbit dan terbenam kemudian menghilang, tak ada yang abadi. Di balik semua itu ada yang mengaturnya, Zat yang bersifat Abadi, yakni Allah. (Baca lebih lanjut surat al-An’am: 75-79, dan al-Baqarah: 258, 260).

b. Pendekatan ‘Aqli

Secara rasional, manusia dapat mengenal Allah dengan akalnya. Manusia diberikan kemampuan akal untuk berpikir dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Maka, ketika manusia merenung dari mana asal usul kehidupan, pasti dia akan mengatakan bahwa kehidupan itu berasal dari Zat yang Maha Hidup (al-Hayy), Dialah Allah. Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang dapat menyaksikan sendiri bahwa ada manusia dan binatang yang mati; sementara ada manusia dan hewan yang lahir. Ada manusia yang jatuh sakit dan ada pula yang sehat. Semua fenomena itu secara akal dapat dianalisis, mengapa hal itu bisa terjadi. Akhirnya, manusia akan tiba pada satu kesimpulan bahwa di balik semua fenomena ini pasti ada yang Maha Berkuasa. Dengan menggunakan akal sehat, manusia dapat mengenal Allah meskipun tidak ada yang pernah memberitahukan kepadanya bahwa Allah itu ada. Kisah Hayy bin Yaqzhan yang diceritakan oelh Ibnu Thufail, misalnya, telah menggugah perhatian para filosof untuk mengakui bahwa manusia dapat mengenal Allah dengan akalnya. Kisah itu menceritakan bahwa seorang anak manusia yang bernama Hayy bin Yaqzhan, tinggal sendirian di hutan belantara, dia disusui dan diasuh oleh seekor rusa. Ketika dia dewasa pikirannya semakin berkembang, dan rasa ingin tahu pun semakin meningkat sampai kepada pertanyaan yang sangat mendasar, “siapakah yang mengatur ala mini?” akhirnya, dia memastikan bahwa di balik keanekargaman pasti ada kekuatan yang tersembunyi , yang suci, dan tidak terlihat oleh mata, yaitu “Sebab Pertama” atau “Pencipta dunia”. Selanjutnya, Hayy bin Yaqzhan merenungkan tentang langit, gerakan bintang-bintang, peredaran bulan, dan pengaruhnya atas bumi; dan dia memperhatikan hewan-hewan dan tumbuhan di sekitarnya; sampai pada akhirnya dia berjumpa dengan seorang terpelajar, dan memiliki pengetahuan tentang agama, bernama Absal di sebuah pulau yang lain; dan dia pun belajar bahasa dari Absal. Ketika mereka berkomunikasi dana berdiskusi, mereka tiba pada satu kesimpulan yang sama, yaitu tentang adanya Allah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan akal, manusia dapat mengetahui wujud Allah melalui tanda-tanda pada makhluk-Nya dan mampu menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya.

c. Pendekatan Naqli

Tidak sedikit ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah baik di langit maupun di bumi. Kemahakuasaan Allah tanpa batas, bahkan dalam al-Qur’an secara tegas disebutkan: “Milik Allah kerajaan langit dan bumi, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Hadid: 2, 5). Demikian juga al-Qur’an menyampaikan informasi kepada manusia bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada. Allah juga yang mengatur segala urusan, memberi rezki kepada seluruh makhluk-Nya. Allah tidak pernah tidur, tidak mengantuk, dan tidak memerlukan pertolongan dari pihak lain, Dia memiliki ilmu yang sangat luas (al-Baqarah: 255) dan Dia pula yang memancarkan cahaya ke seluruh penjuru dunia (al-Nur: 35). Kerajaan langit dan bumi ada dalam genggamannya; Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia, siapa di antara manusia yang terbaik amalnya (al-Mulk: 1-2). Demikian juga dengan fithrahnya, manusia dapat mengetahui dan mengenal Allah (al-A’raf: 172 dan al-Rum: 30).

6. Fungsi ‘Aqidah

1) Sebagai fondasi Islam, ibarat sebuah bangunan akan kokoh jika fondasinya kuat.
2) Sebagai syarat diterima amal dan do’a seseorang, sangat tergantung pada kemantapan ‘aqidahnya.
3) Menuntun kehidupan seorang Muslim ke arah yang benar (nur, haqq) sehingga terhindar dari kesesatan (syirik dan dhalalah).
4) Orang yang memiliki ‘aqidah yang kuat, pasti akan dapat melaksanakan ibadah dengan tertib, konsisten, dan memiliki akhlak yang mulia dalam bermu’amalah dengan sesama manusia.
5) Mendidik dan melatih manusia menjadi hamba Allah yang sejati; bukan hamba syaitan.
6) Mencegah manusia dari menghambakan diri kepada makhluk; dan menghindari manusia dari sifat sombong (takabbur).

7. Arkan al-Iman

1) Beriman kepada Allah
2) Beriman kepada Malaikat-Malaikat
3) Beriman kepada Kitab-Kitab
4) Beriman kepada Rasul-Rasul
5) Beriman kepada Hari Akhirat
6) Beriman kepada Qadar (baik atau buruk ketetapan Allah)

Lihat, QS. Al-Baqarah: 285, al-Nisa’: 136, dan Hadits Riwayat Muslim (dalam Shahih Muslim, tentang Iman, Islam dan Ihsan).


8. Pengaruh ‘Aqidah Tauhid bagi Kehidupan

1) Creating wide outlook or insight
2) Producing the highest degree of self-respect and self-esteem.
3) Generatign sense of modesty and humbleness.
4) Making virtuous and upright.
5) Having a firm faith in God.
6) Producing patience and perseverance and trust in God.
7) Inspiring bravery in man.
8) Creating an attitude of peace and contentment.
9) Making man obey and observe God’s law or precept.
(Abul A’la al-Maududi, Principles of Islam…)

• AplikasiTauhid dalam Kehidupan

1) Penghambaan Diri Hanya Kpd Allah (Al-Fatihah/1: 5; Al-Baqarah/2: 21, Al- An’am/6: 161-162; dan Thaha/20: 14).
2) Beribadah dengan Ikhlas (Az-Zumar/39: 2; dan Al-Bayyinah/ 98: 5).
3) Menjauhi Thaghut (Al-Baqarah/2: 256; dan An-Nahl/16: 36).
4) Tidak Menyembah Syaitan (Yasin/36: 60-61).
5) Beribadah tanpa bercampur Syirik/Perantara (An-Nisa’/4: 36; al-Kahfi/18: 110).

• Nilai Universal Tauhid (Universal Value of Tawhid)

1) Tawhid: The Essence of Islam
2) Tawhid: The Principle of History
3) Tawhid: The Principle of Knowledge
4) Tawhid: The Principle of Metaphysics
5) Tawhid: The Principle of Ethics
6) Tawhid: The Principle of Social Order
7) Tawhid: The Principle of the Ummah
8) Tawhid: The Principle of the Family
9) Tawhid: The Principle of Political Order
10) Tawhid: The Principle of Economic Order
11) Tawhid: The Principle of World Order
12) Tawhid: The Principle of Esthetics

Lebih lanjut, baca: Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid Its Relevance for Thought and Life …



















DR. H. Hasan Basri, MA

PEMBAHASAN:
MATERI PENDIDIKAN ‘AQIDAH
(Bagian 1)

من مات وهو يعلم أنه لا إله إلا الله دخل الجنة (رواه مسلم)

الإيمان بضع وسبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لااله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان (رواه مسلم).


1. Pengertian dan Beberapa Istilah Lain tentang ‘Aqidah

a. Pengertian ‘Aqidah

‘Aqidah secara etimologi berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-’aqdan atau ‘aqidatan artinya simpul, ikatan, buhul atau perjanjian yang kokoh.

Menurut istilah syara’, ‘aqidah ialah meyakini dengan sungguh-sungguh tanpa keraguan sedikit pun: tentang Allah, para Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat, dan Qadar (baik dan buruk ketetapan dari Allah); dan meyakini hal-hal ghaib yang telah ditetapkan berupa informasi masa akan datang yang bakal terjadi, seperti kematian, azab kubur, kebangkitan kembali, surga, dan neraka.

b. Beberapa Istilah Lain tentang ‘Aqidah

• ‘Aqidah Islamiyyah: ‘Aqidah yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya berdasarkan wahyu (al-Qur’an dan Sunnah).
• ‘Aqidah Salafiyyah: ‘Aqidah yang diikuti oleh para sahabat dan tabi’in serta ulama-ulama yang hidup sampai abad ke -3 hijirah.
• ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah: ‘Aqidah yang dianut oleh umat Islam berdasarkan petunjuk Rasulullah dan para Sahabatnya.

Makna ‘Aqidah Mencakup:

• Iman: mengikrarkan dengan lisan (taqrir bi al-lisan), meyakini dengan hati (tashdiq bi al-qalb), dan mengamalkan dengan anggota badan (al-‘amal bi al-arkan) (Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i).
• Tauhid: meng-esakan Allah dalam Zat-Nya, Sifat-Nya, dan Af’al-Nya.
• Ushul al-Din: pokok-pokok ajaran agama Islam (yang wajib dipelajari).

c. Klasifikasi Tauhid

1) Tauhid Uluhiyyah: hanya Allah yang wajib disembah, Allah tempat meminta dan mengharap, Allah sebagai fokus kecintaan dan ketundukan.
2) Tauhid Rububiyah:Allah pencipta, penjaga, pemelihara, pelindung, pemberi rezki, dan penyelamat.
3) Tauhid Mulkiyyah: Allah penguasa dan pemilik seluruh alam, pemimpin dan pengendali, dan pemelihara seluruh makhluk.
4) Tauhid Asma’ wa Shifat: meyakini bahwa Allah mempunyai nama-nama terindah (al-Asma’ al-Husna) dan sifat-sifat-Nya yang mulia, yang tertera dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

• La Tahrif (tanpa merubah)
• La Ta’thil (tanpa menafikan)
• La Takyif (tanpa mempertanyakan)
• La Tamtsil (tanpa menyerupakan)
• La Tasybih (tanpa menyamakan)

2. Signifikansi Mempelajari ‘Aqidah

1) Dapat mengetahui system keyakinan yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya, Nabi Muhammad.
2) Dapat membuka wawasan ilmu tentang hal-hal yang berhubungan ‘aqidah Islamiyah yang benar sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3) Dapat memantapkan keyakinan terhadap Allah, para Malaikat, Kitab-kitab yang pernah diwahyukan, Rasul-rasul yang pernah diutus kedunia, kepastian terjadi Hari Kiamat, dan yakin dengan keputusan Allah dan ketetapan-Nya (qadha’ dan qadar).
4) Dapat menenangkan dan menenteramkan hati karena dapat mengamalkan ‘aqidah yang benar sesuai dengan tuntunan.
5) Dapat menghindarkan diri kita dari unsur-unsur dan praktik kemusyrikan dan terhindar dari kesesatan.

3. Sejarah Perkembangan ‘Aqidah

1) Persoalan ‘aqidah telah mengalami sejarah yang panjang yakni sejak diciptakan makhluk di alam ini. Para Malaikat semuanya beriman kepada Allah dan tunduk serta taat kepada seluruh perintah-Nya. Demikian pula jin, iblis, dan syaitan yang pada awalnya semuanya beriman dan tunduk kepada Allah. Khusus kalangan iblis atau syaitan kemudian kufur kepada Allah karena kesombongannya. Akhirnya, Allah mengutuk atau melaknat iblis atau syaitan sampai Hari Kiamat.
2) Kemudian, Allah menciptakan manusia yang dimulai dengan penciptaan Adam dan Hawa, juga diperintahkan untuk beriman dan menjalankan seluruh perintah Allah serta menjauhi segala larangan-Nya.
3) Selain itu, seluruh makhluk yang ada di langit, di bumi, di laut, di hutan dan di darat semuanya beriman dan tunduk kepada Allah. Dalam perjalanan sejarah ‘aqidah, hanya kelompok jin dan manusia saja yang terpilah menjadi dua golongan: golongan beriman dan golongan kafir. Maka, ada golongan manusia dan jin yang beriman; dan ada pula golongan manusia dan jin yang kafir.
4) Ketika Adam diutus menjadi Rasul, dia diperintahkan untuk memimpin manusia ke jalan iman dan tauhid; tidak berbuat syirik. Demikian juga nabi dan para Rasul berikutnya, semua mereka bertugas menyampaikan pesan wahyu yang berisi “Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia” (QS. Al-A’raf: 59).
5) Ketika Nabi Ibrahim diutus, banyak manusia menyembah patung. Lalu Nabi Ibrahim melarang mereka menyembah makhluk, dan beliau pun berdo’a: “…Ya Allah, jauhkan aku dan anak cucuku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35).Bahkan, Nabi Ibrahim menyadarkan umatnya dan ayahnya sendiri agar meninggalkan sembahan sesat. Nabi Ibrahim mengajak mereka berpikir dan merenung secara mendalam tentang Tuhan yang berhak disembah; bukan matahari, bukan pula bulan dan bintang; tetapi yang wajib disembah adalah Pencipta langit dan bumi, Pencipta matahari, bulan dan bintang. Dalam sejarah, nabi Ibrahim terkenal dengan “Pelopor Ajaran Tauhid” karena kesungguhannya mengajak manusia untuk menyembah Allah yang Esa.
6) Demikian juga seluruh Rasul yang pernah diutus oleh Allah, semua mereka mengajak manusia ke jalan Tauhid, ‘aqidah shahihah. Dalam hal ini, Allah menegaskan: “Dan tidak Kami utus Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, karena itu sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25).
7) Ketika Allah menciptakan manusia, pada saat manusia berada dalam kandungan ibunya, Allah memerintahkan Malaikat untuk meniupkan ruh ke dalam tubuhnya, seraya berkata: “…Bukankah Aku ini Tuhanmu?, lalu manusia menjawab: “Benar, Engkau adalah Tuhan kami, kamilah yang menjadi saksi…” (QS. Al-A’raf: 172).
8) Ketika manusia lahir ke dunia, Allah mengingatkannya laggi dengan kalimat: “Hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah yang lurus, tetaplah kamu pada fithrah tauhid yang telah Allah ciptakan manusia berdasarkan fithrah itu; tidak ada perubahan pada fithrah ciptaan Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Al-Rum: 30).
9) Pada perkembangan selanjutnya, persoalan ‘aqidah mulai dikaji dan dibahas secara ilmiah, maka lahirlah ilmu kalam atau teologi Islam. Kajian mulai dilakukan secara terbuka ketika terjadi perdebatan mengenai orang yang sudah beriman tetapi melakukan dosa besar; bagaimana status mereka dalam pandangan agama? Dari persoalan ini kemudian timbullah berbagai aliran teologi dalam Islam, yang meluas kepada persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan ‘aqidah.

4. Ruang Lingkup Pembahasan ‘Aqidah

1) Ilahiyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah, seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah, dan sebagainya.
2) Nubuwat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, kitab-kitab yang diwahyukan, mu’jizat dan sebagainya.
3) Ruhaniyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisika, seperti Malaikat, jin, iblis, syaitan, ruh dan sebagainya.
4) Sam’iyyat: pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias diketahui melalui dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah), seperti alam barzakh, azab kubur, alam Akhirat, kenikmatan surga dan azab neraka.



5. Metode Memahami ‘Aqidah:

a. Pendekatan Naturalistik

Secara natural, manusia dapat mengenal Allah melalui pengamatan terhadap fenomena alam yang ada di sekitarnya. Matahari, misalnya, setiap pagi terbit dari timur dan terbenam di sebelah barat. Demikian juga pada malam hari muncul bulan yang terang benderang, bintang-bintang bertaburan di langit yang tinggi, pergantian malam dan siang, perputaran bumi yang berlangsung dengan harmonis dan sebagainya. Semua itu tidaklah terjadi secara kebetulan dan insidental; tetapi pasti ada yang mengaturnya. Di balik keteraturan alam ini pasti ada yang menata dan memeliharanya. Di balik perputaran planet-planet di jagad raya pasti ada yang maha Penggerak, yang maha Kuasa, maha Pencipta dan maha Pemelihara. Ketika Nabi Ibrahim meyakinkan umatnya tentang Allah, beliau menggunakan pendekatan naturalistik, dengan menyuruh umatnya memperhatikan bintang-bintang, bulan dan matahari, yang terbit dan terbenam kemudian menghilang, tak ada yang abadi. Di balik semua itu ada yang mengaturnya, Zat yang bersifat Abadi, yakni Allah. (Baca lebih lanjut surat al-An’am: 75-79, dan al-Baqarah: 258, 260).

b. Pendekatan ‘Aqli

Secara rasional, manusia dapat mengenal Allah dengan akalnya. Manusia diberikan kemampuan akal untuk berpikir dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Maka, ketika manusia merenung dari mana asal usul kehidupan, pasti dia akan mengatakan bahwa kehidupan itu berasal dari Zat yang Maha Hidup (al-Hayy), Dialah Allah. Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang dapat menyaksikan sendiri bahwa ada manusia dan binatang yang mati; sementara ada manusia dan hewan yang lahir. Ada manusia yang jatuh sakit dan ada pula yang sehat. Semua fenomena itu secara akal dapat dianalisis, mengapa hal itu bisa terjadi. Akhirnya, manusia akan tiba pada satu kesimpulan bahwa di balik semua fenomena ini pasti ada yang Maha Berkuasa. Dengan menggunakan akal sehat, manusia dapat mengenal Allah meskipun tidak ada yang pernah memberitahukan kepadanya bahwa Allah itu ada. Kisah Hayy bin Yaqzhan yang diceritakan oelh Ibnu Thufail, misalnya, telah menggugah perhatian para filosof untuk mengakui bahwa manusia dapat mengenal Allah dengan akalnya. Kisah itu menceritakan bahwa seorang anak manusia yang bernama Hayy bin Yaqzhan, tinggal sendirian di hutan belantara, dia disusui dan diasuh oleh seekor rusa. Ketika dia dewasa pikirannya semakin berkembang, dan rasa ingin tahu pun semakin meningkat sampai kepada pertanyaan yang sangat mendasar, “siapakah yang mengatur ala mini?” akhirnya, dia memastikan bahwa di balik keanekargaman pasti ada kekuatan yang tersembunyi , yang suci, dan tidak terlihat oleh mata, yaitu “Sebab Pertama” atau “Pencipta dunia”. Selanjutnya, Hayy bin Yaqzhan merenungkan tentang langit, gerakan bintang-bintang, peredaran bulan, dan pengaruhnya atas bumi; dan dia memperhatikan hewan-hewan dan tumbuhan di sekitarnya; sampai pada akhirnya dia berjumpa dengan seorang terpelajar, dan memiliki pengetahuan tentang agama, bernama Absal di sebuah pulau yang lain; dan dia pun belajar bahasa dari Absal. Ketika mereka berkomunikasi dana berdiskusi, mereka tiba pada satu kesimpulan yang sama, yaitu tentang adanya Allah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan akal, manusia dapat mengetahui wujud Allah melalui tanda-tanda pada makhluk-Nya dan mampu menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya.

c. Pendekatan Naqli

Tidak sedikit ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah baik di langit maupun di bumi. Kemahakuasaan Allah tanpa batas, bahkan dalam al-Qur’an secara tegas disebutkan: “Milik Allah kerajaan langit dan bumi, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Hadid: 2, 5). Demikian juga al-Qur’an menyampaikan informasi kepada manusia bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada. Allah juga yang mengatur segala urusan, memberi rezki kepada seluruh makhluk-Nya. Allah tidak pernah tidur, tidak mengantuk, dan tidak memerlukan pertolongan dari pihak lain, Dia memiliki ilmu yang sangat luas (al-Baqarah: 255) dan Dia pula yang memancarkan cahaya ke seluruh penjuru dunia (al-Nur: 35). Kerajaan langit dan bumi ada dalam genggamannya; Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia, siapa di antara manusia yang terbaik amalnya (al-Mulk: 1-2). Demikian juga dengan fithrahnya, manusia dapat mengetahui dan mengenal Allah (al-A’raf: 172 dan al-Rum: 30).

6. Fungsi ‘Aqidah

1) Sebagai fondasi Islam, ibarat sebuah bangunan akan kokoh jika fondasinya kuat.
2) Sebagai syarat diterima amal dan do’a seseorang, sangat tergantung pada kemantapan ‘aqidahnya.
3) Menuntun kehidupan seorang Muslim ke arah yang benar (nur, haqq) sehingga terhindar dari kesesatan (syirik dan dhalalah).
4) Orang yang memiliki ‘aqidah yang kuat, pasti akan dapat melaksanakan ibadah dengan tertib, konsisten, dan memiliki akhlak yang mulia dalam bermu’amalah dengan sesama manusia.
5) Mendidik dan melatih manusia menjadi hamba Allah yang sejati; bukan hamba syaitan.
6) Mencegah manusia dari menghambakan diri kepada makhluk; dan menghindari manusia dari sifat sombong (takabbur).

7. Arkan al-Iman

1) Beriman kepada Allah
2) Beriman kepada Malaikat-Malaikat
3) Beriman kepada Kitab-Kitab
4) Beriman kepada Rasul-Rasul
5) Beriman kepada Hari Akhirat
6) Beriman kepada Qadar (baik atau buruk ketetapan Allah)

Lihat, QS. Al-Baqarah: 285, al-Nisa’: 136, dan Hadits Riwayat Muslim (dalam Shahih Muslim, tentang Iman, Islam dan Ihsan).


8. Pengaruh ‘Aqidah Tauhid bagi Kehidupan

1) Creating wide outlook or insight
2) Producing the highest degree of self-respect and self-esteem.
3) Generatign sense of modesty and humbleness.
4) Making virtuous and upright.
5) Having a firm faith in God.
6) Producing patience and perseverance and trust in God.
7) Inspiring bravery in man.
8) Creating an attitude of peace and contentment.
9) Making man obey and observe God’s law or precept.
(Abul A’la al-Maududi, Principles of Islam…)

• AplikasiTauhid dalam Kehidupan

1) Penghambaan Diri Hanya Kpd Allah (Al-Fatihah/1: 5; Al-Baqarah/2: 21, Al- An’am/6: 161-162; dan Thaha/20: 14).
2) Beribadah dengan Ikhlas (Az-Zumar/39: 2; dan Al-Bayyinah/ 98: 5).
3) Menjauhi Thaghut (Al-Baqarah/2: 256; dan An-Nahl/16: 36).
4) Tidak Menyembah Syaitan (Yasin/36: 60-61).
5) Beribadah tanpa bercampur Syirik/Perantara (An-Nisa’/4: 36; al-Kahfi/18: 110).

• Nilai Universal Tauhid (Universal Value of Tawhid)

1) Tawhid: The Essence of Islam
2) Tawhid: The Principle of History
3) Tawhid: The Principle of Knowledge
4) Tawhid: The Principle of Metaphysics
5) Tawhid: The Principle of Ethics
6) Tawhid: The Principle of Social Order
7) Tawhid: The Principle of the Ummah
8) Tawhid: The Principle of the Family
9) Tawhid: The Principle of Political Order
10) Tawhid: The Principle of Economic Order
11) Tawhid: The Principle of World Order
12) Tawhid: The Principle of Esthetics

Lebih lanjut, baca: Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid Its Relevance for Thought and Life …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar