Utopia Syariat?


SYARI’AT ISLAM DI ACEH SEBUAH UTOPIA
Oleh: Hasan Basri al-Mardawy

Benarkah syari’at Islam yang diterapkan di Aceh hanya sebuah utopia atau khayalan belaka, tanpa realisasi yang sesungguhnya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, baiklah dilihat dulu latar belakang yang menyebabkan lahirnya gagasan dan kebijakan pemberlakuan syari’at Islam di Aceh secara konstitusional kenegaraan. Sementara secara historis, masyarakat Aceh merupakan umat yang telah menerapkan syariat Islam dalam kehidupan nyata sejak ajaran Islam diperkenalkan di Aceh oleh para ulama pedagang dari Arab. Tetapi kemudian, ketika Aceh bergabung dengan Negara Republik Indonesia, syari’at Islam dianggap sebagai pengamalan pribadi dalam kehidupan beragama, tidak lagi menjadi sebuah sistem hukum kenegaraan yang konstitusional. Kewajiban menjalankan syariat Islam dianggap sebagai kewajiban individual yang tidak ada hubungannya dengan negara. Padahal pada masa Kesultanan, Aceh menjadikan syari’at Islam sebagai hukum yang merupakan sistem kehidupan bernegara. Kesultanan menjunjung tinggi syari’at Islam sebagai hukum tertinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan secara konsisten dan konsekuen. Namun, kemudian menjadi masalah ketika pemerintah Jawa menyeragamkan sistem hukum di Indonesia, di bawah satu payung, yaitu hukum positif (hukum nasional). Sebagai konsekuensinya, masyarakat Aceh pada masa awal kemerdekaan Indonesia memberontak terhadap Pemerintah Pusat RI agar di Aceh diterapkan kembali syari’at Islam secara konstitusional. Pemberontakan DI/TII yang dipelopori ulama besar Aceh, Muhammad Daud Beureueh domotivasi oleh semangat agama yang kuat dan sekaligus tuntutan untuk diterapkan syari’at Islam di Aceh. Memang, pada awalnya pemerintah menyetujui permintaan Daud Beureueh dengan syarat Daud Beureueh tidak lagi memberontak dan segera turun dari gunung (mardhatillah). Sudah menjadi tradisi pejabat pemerintah, janji pemberlakukan syari’at Islam di Aceh kemudian dingkari, para ulama Aceh pun merasa kecewa. Kekecewaan ini berlanjut dengan munculnya sederetan konflik di Aceh.

Syariat Islam sebagai Solusi Konflik
            Dalam rangka merebut kembali kepercayaan rakyat guna penyelesaian konflik Aceh secara mendasar, pemerintah telah melahirkan dua Undang-undang, yaitu: Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Namun pada kenyataannya hingga Februari 2002 yang lalu baik secara hukum maupun secara sosial sama sekali belum ada perubahan apa-apa, kecuali bahwa di Aceh telah lahir Dinas Syari’at Islam dengan 6 (enam) Sub Dinasnya. Sekalipun demikian lahirnya kedua Undang-undang tersebut telah membuat masyarakat Aceh sekarang ini memiliki sebuah common platform (gagasan bersama) yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan membuat harkat dan martabat mereka yang kental dengan nuansa syari’at Islam terlindungi.
Selain itu, penghargaan terhadap nilai dan budaya lokal dalam kedua Undang-undang tersebut juga merupakan nilai tambah yang sangat positif. Jadi kedua Undang-undang ini dapat menjadi sumbangan penting bagi peluang penyelesaian konflik di Aceh secara damai dan bermartabat. Tinggal lagi pengisian dan aktualisasinya di dalam kenyataan juga benar-benar sejalan dengan harapan sebelumnya. Dalam hal ini ada beberapa masalah yang perlu lebih dahulu diberikan jawaban.
Persoalan penting yang bakal timbul di sini pertama-tama adalah menentukan pilihan hukum dari sekian banyak perbedaan mazhab dan perbedaan pendapat dalam khazanah Fiqh Islam baik yang klasik maupun yang modern, pendapat manakah yang diambil untuk diterapkan dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam di Aceh? Syari’at Islam kiranya harus diterjemahkan atau diturunkan ke dalam hukum inconcreto, dalam hal ini Qanun yang dihasilkan melalui proses metode pilihan hukum dari khazanah pemikiran dan ijtihad para fuqaha’. Selain itu juga harus dibuka peluang penemuan hukum atau ijtihad baru dalam hal-hal yang dibutuhkan pada masa kini.
            Jadi menciptakan Qanun seperti itu adalah sangat strategis sifatnya. Apakah Qanun seperti ini tidak bertentangan dengan azas hirarki perundang-undangan. Jawaban konkrit dari pertanyaan ini,  adalah inti permasalahan tentang syarai’at Islam di Aceh. Dan itu sangat tergantung dari iktikad baik, keikhlasan dan kemauan politik dari semua pihak yang berwenang. Jalan keluar dapat ditempuh melalui pemberian kekhasan kepada wilayah Aceh apa yang disebut sebagai Otonomi Khusus.
            Berkenaan dengan tindak pidana apabila kita mengacu kepada ketentuan Fiqh Jinayah, maka persoalan-persoalan yang berkenaan dengan Qishash dan Hudud sudah ada nash dan ketentuan pasti baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Sementara ta’zir masih memerlukan kodifikasi hukum, kebijakan dan kearifan para hakim untuk menetapkannya. Boleh jadi bidang kuasa hudud dan qishash yang tidak sampai hukuman kepadanya akan beralih kepada ketentuan ta’zir nantinya. Persoalan penting yang bakal timbul di sini selain masalah pilihan hukum adalah kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) kita termasuk kualifikasi moral/etika dalam lapangan hukum dan dunia peradilan. Sudah lama disinyalir rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan kita misalnya dengan istilah “mafia KUHP” peradilan, “Kasih Uang Habis Perkara” dan sebagainya.

Mengapa Syari’at Islam?
            Ketakutan atau fobia kepada syari’at Islam adalah hal yang terlalu dibesar-besarkan. Syari’at Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menganiaya manusia, bahkan menurut Islam binatang dan lingkungan pun tidak boleh dizalimi. Tujuan syari’at Islam adalah untuk memelihara hak-hak manusia dan memberi mereka perlindungan serta keselamatan atau kedamaian. Karena itu merasa takut terhadap syari’at Islam, apa lagi memusuhinya adalah sikap dan tindakan yang tidak beralasan. Meskipun demikian ketentuan-ketentuan normatif semacam ini tentu saja harus diwujudkan dalam aktualisasinya dan ini tentu saja merupakan salah satu pekerjaan rumah umat Islam untuk membuktikannya dalam kenyataan.
            Kekerasan dan penyelewengan hukum memang pernah terjadi dalam sejarah Islam, tetapi itu juga pernah terjadi dalam agama dan komunitas mana pun di dunia ini, termasuk Yahudi, Kristen dan Barat. Demikian juga sebaliknya, sejarah menjadi saksi atas kesuksesan syari’at Islam menciptakan masyarakat yang makmur dan sejahtera serta penegakan hukum yang adil secara mengagumkan. Oleh karena itu, jika kita mau bersikap objektif, fair dan terbuka maka jangan hanya sisi gelap sejarah Islam yang dilihat, tetapi juga sisi cemerlangnya.
            Titik paling penting yang harus diingat adalah bahwa syari’at Islam bukanlah sebuah kumpulan peraturan yang baku, statis dan rinci; bukan pula sebuah petunjuk teknis atau manual yang menjadi pegangan setiap muslim dalam menjalankan kehidupan di dunia ini, sehingga ia tidak perlu lagi berpikir, apa yang harus dilakukan dan bagaimana ia harus melakukannya. Syari’at secara harfiah artinya jalan atau metode. Syari’at Islam adalah sebuah paradigma moral yang bersandar pada ketundukan kepada Tuhan.
Karena itu penerjemahan syari’at Islam dengan hukum Islam sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah kekeliruan, walaupun telah digunakan secara luas. Istilah hukum Islam barangkali lebih tepat disamakan dengan fiqh, yakni syari’at yang telah ditafsirkan dan dituangkan dalam sebuah undang-undang sehingga menjadi realistik dan aplikatif. Dengan kata lain ia menjadi hukum positif. Tetapi meskipun aturan-aturan ini telah menjadi hukum positif, ia tetap memiliki dimensi spiritual. Sehingga pelaksanaan atau penerapan hukum dalam Islam tetap dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengabdian kepada Tuhan. Ketundukan kepada hukum itu adalah juga ketundukan kepada Tuhan.
            Di sinilah letak muatan psikologis pentingnya penyerapan syari’at Islam bagi masyarakat Muslim. Dan ini juga yang menjadi bagian dari alasan mengapa penerapan syari’at Islam di Aceh akan sangat menentukan masa depan daerah ini, ini memang soal nama atau simbol. Tetapi mengabaikan sama sekali nama atau simbol juga dapat menyesatkan dan menjebak kita dalam bahaya.

Syari’at Islam dalam Sejarah Aceh
            Ini tidak berarti bahwa penerapan syari’at Islam di Aceh hanya sebatas nama atau simbol. Syari’at Islam memang merupakan tuntutan masyarakat, sebab penduduk Aceh mayoritas Muslim dan orang Aceh itu sendiri seratus persen Muslim. Seorang antropolog Belanda B.J. Boland, setelah membuat penelitian di Aceh mengatakan:  being an Acehnese is equivalent to being a Muslim (menjadi orang Aceh telah identik dengan menjadi Muslim). Sejak zaman kesultanan, abad ke-17, Nanggroe Aceh telah menjadikan syari’at Islam sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan untuk masyarakatnya. Undang-undang itu disusun oleh ulama atas perintah atau kerja sama dengan umara, yakni penguasa atau sultan. Lahirlah karya-karya besar berupa kitab-kitab yang menjadi rujukan para hakim dan semua aparat penegak hukum di Nanggroe Aceh pada waktu itu. Di antara para ulama yang berkiprah pada waktu itu adalah Nuruddin Ar-Raniry (w. 1658 M) Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1661 M) dan Abdurrauf al-Singkili (1615-1691 M). Sebuah karya yang lebih akhir adalah Safinat al-Hukkam yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Tarusani. Kitab ini ditulis secara khusus atas perintah Sultan Alaiddin Johansyah (1735-1760 M/1147-1174 H) dan isi kitab ini adalah aturan-aturan hukum perdata dan pidana serta berbagai penjelasan tentang ihwal penyelesaian perkara dan pokok-pokok hukum acara dalam sebuah peradilan. Sasaran utama buku ini sangat jelas yaitu untuk menjadi pegangan para hakim. Judul lengkap kitab tersebut adalah: Safinat al-Hukkam fi Takhlish al- Khashsham, artinya bahtera para hakim dalam menyelesaikan perkara segala orang yang bertikai. Di samping itu, terkenal pula Qanun al-Asyi (Adat Meukuta Alam) yang mengandung hukum-hukum Dusturiyyat dan ‘Alaqah Dauliyyah yang ditulis dalam huruf Jawi yang menjadi Undang-undang Kerajaan.
Semua karya tersebut menjadi saksi atas keberadaan dan peran yang dimainkan syari’at Islam di Aceh sejak zaman silam dan betapa hal tersebut telah mampu mengantarkan masyarakat negeri ini dalam membangun peradabannya hingga diperhitungkan secara internasional sebagai sebuah kerajaan yang kuat dan makmur. Jadi secara sosiologis dan historis, syari’at Islam adalah jelas telah menjadi spirit masyarakat Aceh itu sendiri sejak lama.

Mahkamah Syar’iyyah Bersifat Semu
            Kini telah lahir jaminan keistimewaan Aceh dalam bidang agama, pendidikan, adat istiadat dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah melalui Undang-undang nomor 44 Tahun 1999. Telah lahir pula Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengisyaratkan adanya kesatuan Lembaga  Peradilan di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyyah. Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah ini disebutkan didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum Nasional yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi NAD. Dalam hal ini sebenarnya kita masih meraba-raba tentang kewenangan Mahkamah Syar’iyyah ini yang lebih luas daripada Peradilan Agama sebelumnya.
Menurut hemat kami, sesuai dengan kekhususan Otonomi Nanggroe Aceh Darussalam, wewenang Mahkamah Syar’iyyah yang baru ini harus lebih luas daripada sebelumnya. Jika sebelumnya peradilan agama hanya berwewenang menyelesaikan perkara sekitar hukum privat semacam perkawinan, warisan dan wakaf maka kini perlu mencakup kewenangan dalam bidang hukum publik, terutama hukum pidana. Memang ini pekerjaan besar serta menghendaki adanya perubahan paradigma yang mendasar. Saya sendiri tidak berfikir bahwa hal ini akan terjadi dalam waktu singkat. Akan tetapi yang paling penting wacana dan peluang ini perlu dibuka. Untuk itu jaminan hukum yang lebih kuat perlu dilahirkan misalnya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana pasal 25 Undang-undang NAD tersebut. Dalam sejarah Aceh hal ini sudah pernah terjadi dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang pembentukan Peradilan Agama serta susunan dan kewenangannya di seluruh Aceh. Pada kenyataannya Peraturan Pemerintah. ini yang awalnya khusus untuk Aceh lalu diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang diberlakukan ke seluruh Indonesia, kecuali Jawa dan Madura. Pada kenyataannya, Mahkamah Syar’iyyah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena terbentur oleh pengadilan negeri yang merujuk pada hukum positif.
           
Kesimpulan
            Implementasi syari’at Islam hanyalah salah satu aspek dari penyelesaian konflik Aceh yang membutuhkan penanganan secara komprehensif. Karena itu konflik Aceh tidak akan selesai hanya dengan sekadar penerapan syari’at Islam, tanpa didukung oleh berbagai aspek lain seperti mewujudkan keadilan dan membangun perekonomian untuk menyejahterakan masyarakat. Implementasi syari’at Islam akan mendorong efektifitas penegakan hukum bagi ketertiban masyarakat, karena aturan-aturan hukum diturunkan dari ajaran agama yang telah menyatu dalam kesadaran kolektif masyarakat. Ketaatan terhadap hukum dipandang sebagai bahagian dari ketaatan beragama.
            Implementasi syari’at Islam memenuhi salah satu aspirasi rakyat Aceh, yaitu kebutuhan untuk menjaga identitas. Islam merupakan identitas Aceh yang telah terbangun melalui satu proses perjalanan sejarah yang panjang. Rakyat Aceh sendiri telah menuntut implementasi syari’at Islam tersebut sejak masa awal kemerdekaan. Konon syari’at Islam ini pula yang menumbuhkan semangat nasionalisme rakyat Aceh untuk membela wilayah nusantara ini. Karena pengabaian kebutuhan tersebut pula konflik antara Aceh dengan pusat terjadi.
            Ketentuan Islam yang lebih akrab disebut syari’ah atau hukum Islam sudah lama terwujud semenjak hadirnya Muhammad Rasulullah SAW di belahan jazirah Arabia. Ketika para pengikutnya mengambil syari’ah tersebut secara kaffah maka mereka senantiasa mendapat berkah dan ketenangan serta ketentraman sepanjang masa. Sebaliknya ketika sebagian umat Islam masa kini lebih mementingkan hukum buatan kafir maka kaum tersebut senantiasa berada dalam problema yang berkepanjangan dan hampir tiada batasnya seperti apa yang tengah dialami rakyat Indonesia hari ini. Malah yang lebih parah lagi adalah ada pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk mengkombinasikan antara hukum Islam dengan hukum kafir atau hukum sekuler.
            Penerapan syari’at Islam di Aceh belum berjalan sebagaimana mestinya. Penerapan syari’at selama ini hanya berlaku untuk kalangan masyarakat kelas bawah, seperti hukuman cambuk untuk pelaku khalwat, pencuri ayam, pemain judi kecil-kecilan di hutan. Sementara pelanggaran atau tindak kriminal yang dilakukan oleh kalangan pejabat kelas kakap hampir tidak tersentuh hukuman berdasarkan syari’at Islam. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa aplikasi syari’at Islam di Aceh sampai saat ini hanyalah sebuah utopia, yang hanya mengorbankan kalangan kelas bawah; membiarkan kelas atas (pejabat pemerintah) melakukan penyimpangan secara sistematis. Bahkan, untuk dapat melakukan pelanggaran mereka pergi ke luar Aceh, termasuk Jakarta, karena pelanggaran yang dilakukan di luar Aceh tidak dikenakan sanksi hukum yang diberlakukan di Aceh. Begitulah nasib syari’at Islam di Aceh yang sampai detik ini masih berjalan terseok-seok. Pada sisi lain, masih terdapat dulisme institusi hukum, ada Departemen Agama dan Dinas Syari’at Islam; ada Polisi Negara dan ada pula Polisi Syari’at (Wilayatul Hisbah). Memang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh masih setengah hati, berada di awang-awang. ♣ HB