Rabu, 05 Januari 2011

TAFSIR III: KAJIAN TENTANG HAJI

DR. H. Hasan Basri, MA

MATERI TAFSIR III: HAJI
Bagian 4

لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك،
لا شريك لك.

A. Al-Baqarah: 189

Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

1. Makna Mufradat:

Al-Ahillah: bentuk tunggal: hilal artinya awal bulan (biasanya berbentuk sabit), sehingga disebut bulan sabit yang muncul sekitar tanggal 1, 2 atau 3 awal bulan.
Al-Mawaqit: bentuk tunggal, miqat, artinya tanda waktu atau waktu tertentu.
Al-Hajj: artinya ziyarah, yaitu sengaja mengunjungi Baitullah atau Masjidil Haram.

2. Asbab al-Nuzul

a. Ayat 189 surat al-Baqarah di atas diturunkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah tentang peredaran bulan (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas).
b. Ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan pertanyaan Mu’adz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghunamah kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, mengapa bulan sabit itu mulai muncul sehalus benang, kemudian bertambah besar hingga bundar dan kembali seperti semula; tidak tetap bentuknya.” Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, maka diturunkan ayat 189 surat al-Baqarah itu. (HR. Abu Na’im dan Ibnu ‘Asakir).

3. Tafsir ayat:

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ

Mereka bertanya kepada Nabi Muhammad tentang ahillah (hilal) dan hikmah serta manfaatnya bagi manusia. Kemudian Rasululllah menjawab: hilal itu adalah tanda tibanya waktu beribadah bagi umat manusia. Dalam melaksanakan ibadah, manusia dapat menjadikan bulan sebagai patokannya, selain matahari. Kalau bulan berfungsi sebagai waktu pelaksanaan ibadah puasa dan haji, maka matahari sebagai patokan penentuan waktu-waktu shalat. Karena itu, waktu-waktu shalat ditetapkan berdasarkan peredaran matahari; sedangkan bulan penetapan waktu untuk melaksanakan ibadah puasa dan haji termasuk penentuan waktu merayakan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adhha, dengan cara ru’yah (melihat hilal) atau hisab (menghitung).

قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Ayat ini menjelaskan jawaban dari pertanyaan sebagai yang terdapat dalam Asbab al-Nuzul di atas bahwa hilal dapat berfungsi sebagai tanda waktu memuali ibadah haji. Maksudnya, ibadah haji dilakukan pada waktu yang sudah ditentukan; dan waktu pelaksanaannya dapat dipantau pada perjalanan bulan. Setiap awal bulan tiba berarti mulai dihitung tentang masuknya waktu untuk beribadah sampai saatnya datang secara pasti melaksankan haji, yaitu dimulai setiap tanggal 8 sampai dengan 13 Dzulhijjah, dan setiap tanggal 10 Dzulhijjah pertanda saatnya merayakan ‘Idul Adhha. Demikian juga, setiap tanggal 9 Dzulhijjah merupakan waktu untuk melakukan wuquf di ‘Arafah, yang merupakan puncak ibadah haji.


B.Al-Baqarah: 196

Kewajiban Haji

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدِْي فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

1. Makna Mufradat:

Al-Hadyu: menurut bahasa berarti memberi hadiah. Secara istilahi, al-hadyu adalah hewan yang disembelih kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, sebagai tebusan terhadap pelanggaran yang dilakukan atau sanksi dalam pelaksanaan ibadah haji.

Al-‘Umrah: secara bahasa berarti meramaikan, memeriahkan atau memakmurkan. ‘Umrah juga disebut sebagai kunjungan yang dilakukan dengan sengaja dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan serangkaian ibadah di Masjidil Haram atau Baitullah.
Mahillu: tempat tinggal atau tempat istirahat. Mahillu secara bahasa berarti tempat penghalalan, yakni tempat penyembelihan hewan yang dikhususkan untuk hadyu.

2. Asbab al-Nuzul

a. Seorang laki-laki berjubah dengan wewangian semerbak menghadap Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang harus saya lakukan dalam menunaikan ‘umra?”. Maka turunlah ayat wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah. Lalu Rasulullah pun bersabda: “Mana orang yang bertanya tadi tentang ‘umrah.”? Orang itu menjawab, “saya yang bertanya wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda: “Tanggalkan bajumu, bersihkan hidungmu dan mandilah dengan sempurna, kemudian kerjakan apa yang biasa engkau kerjakan pada waktu haji.” (HR. Ibnu Abi Hatim dari Shafwan bin Umayyah).
b. Dalam riwayat lain dikemukakan, ketika Rasulullah bersama sahabatnya berada di Hudaibiyah sedang berihram, kaum Musyrikin melarang mereka meneruskan umrah. Salah seorang sahabat, bernama Ka’b bin Ujrah kepalanya penuh dengan kutu sampai bertebaran ke mukanya. Ketika Rasulullah lewat di depannya dan melihat Ka’b kepayahan; maka turunlah ayat fa man kana minkum maridhan aw bihi adzan min ra’sihi fa fidyatu min shiyamin aw shadaqatin aw nusukin, lalu Rasulullah bersabda: “Apakah kutu-kutu itu mengganggumum?:” Rasulullah menyruhnya agar bercukur dan membayar fidyah. (HR. Ahmad).

3. Tafsir al-Ayat

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ

Sempurnakan haji dan umrah karena Allah. Maksudnya, setiap orang Islam yang sudah memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji, maka diperintahkan agar menyempurnakan manasik hajinya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Haji yang sempurna itu adalah ibadah haji yang memenuhi syarat, rukun, dan wajib haji. Adapun syarat diwajibkan haji adalah: 1) Islam; 2) Baligh; 3) Berakal; 4) Merdeka; dan 5) Mampu (istitha’ah), baik secara ekonomi, fisik dan psikis, keamanan dalam perjalanan maupun kemampuan dalam bidang manasik haji. Setiap orang yang akan berhaji wajib memahami terlebih dahulu tatacara pelaksanaan ibadah haji dengan sempurna.

Lakukanlah ibadah haji dan umrah dengan sempurna yaitu dengan melakukan manasik dengan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah dengan niat yang ikhlas karena Allah, bukan untuk mencari pujian atau kehormatan dari manusia; dan bukan pula berdagang mengejar keuntungan duniawi. Walaupun pada hakikatnya berdagang sambil berthaji tidak dilarang sejauh tidak dijadikan tujuan utama dan tidak melaikan kewajiban haji, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah: 198.

Haji yang sempurna adalah ibadah haji yang dikerjakan berdasarkan petunjuk dari Rasulullah, sebagaimana sabdanya:
خذوا مناسككم عني (زواه مسلم)

Ambillah manasik hajimu dariku (HR. Muslim)

Adapun rukun haji adalah: 1) Ihram; 2) Wuquf di Arafah; 3) Thawaf Ifadhah; 4) Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah.

Sedangkan wajib haji adalah: 1) berniat ihram di Miqat (tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah untuk mengenakan pakain ihram); 2) Bermalam di Muzdalifah; 3) Melontar Jumrah; 4) Bermalam di Mina selama hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah); 5) Thawaf Wada’ (thawaf perpisahan menjelang pulang ke negeri masing-masing); 6) Tidak berbuat sesuatu yang diharamkan.

Umrah artinya berziarah atau berkunjung. Menurut istilah syara’ umrah adalah menziarahi Baitullah untuk melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah 7 kali), sa’i antara bukit Shafa dan Marwah tujuh kali, dan kemudian tahallul, yaitu dengan menggunting atau mencukur rambut, sebagai tanda sudah berakhirnya umrah.

Adapun rukun umrah adalah: 1) Ihram ; 2) Thawaf; 3) Sa’i; dan 4) Tahallul. Sedangkan wajib umrah: 1) Niat untuk umrah di Miqat (pada saat mengenakan pakaian ihram); 2) Tidak melakukan perbuatan yang diharamkan.

Tentu saja, pelaksanaan ibadah haji dan umrah harus didasarkan pada niat yang ikhlas karena Allah, bukan untuk mendapat pujian dari manusia dan bukan pula untuk meningkatkan status sosial. Baik umrah maupun haji diwajibkan satu kali seumur hidup; sedangkan pelaksanaan ibadah haji atau umrah kali berikutnya adalah tathawwu’ (sunnah); bukan kewajiban.

Oleh sebab itu, barangsiapa yang sudah mampu menunaikan ibadah haji, maka ia harus menyegerakan hajinya, tidak boleh menunda. Hal ini dinyatakan dalam hadits Rasulullah:

تعجلوا الحج فإن أحدكم لايدري ما يعرض له (رواه أحمد والبيهقي)

Bersegeralah berhaji, karena kamu tidak mengetahui apa yang bakal terjadi terhadap dirimu (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Hadits ini merupakan peringatan bagi orang yang sudah ada kemampuan agar tidak mengundurkan niatnya untuk melaksanakan ibadah haji. Karena, boleh jadi kalau ditunda akan terjadi sesuatu musibah, sakit, lemah bahkan mati sebelum berhaji, yang tidak diketahuinya.

• Ditinjau dari segi munasabah, hadis tersebut merupakan bayan tasyri’ (keterangan penetapan hukum) atau munasabah tasyri’iyyah (korelasi tasyri’) tarhadap ayat 196 surat al-Baqarah di atas. Hadis menguatkan status hukum berhaji bagi orang yang mampu melaksanakannya agar tidak ditunda-tunda lagi.

Secara historis, ibadah pertama kali diwajibkan pada tahun ke-6 Hijriah; dan realisasinya baru dilakukan pada tahu n ke-9 atau ke-10 Hijriah. Rasulullah sendiri melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-10 Hijriah; walaupun sebelumnya, beliau sudah pernah melaksanakan ibadah Umrah bersama sahabatnya, pada tahun ke-7 dan ke-8 Hijriah. Pada tahun ke-9 Hijriah, Abu Bakar ditunjuk untuk memimpin jamaah haji. Dalam kesempatan haji itu, Abu Bakar mengumumkan kepada orang-orang Musyrik, yang pada saat itu sedang berhaji, agar mereka tidak mengerjakan ibadah haji lagi. Karena mereka dilarang memasuki Masjidil Haram, dengan turunnya surat al-Taubah ayat 28.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسُُ فَلاَيَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا

Hai orang-orang beriman, sesungguhnya orang-orang Musyrik itu adalah najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. (al-Taubah: 28).

• Ayat 28 surat al-Taubah jika dipandang dari sudut munasabah al-ayat bi al-ayat, maka ayat itu itu berfungsi sebagai bayan taqrir (keterangan penopang) atau munasabah taqririyyah (korelasi penegas) tentang himbauan Abu Bakar agar orang-orang Musyrik tidak boleh melaksanakan ibadah haji di Masjidil Haram, karena itu merupakan tempat suci umat Islam. Dan sekaligus sebagai bayan tasyri’, di mana muncul hukum baru tentang status orang-orang Musyrik sebagai najis dan mereka tidak dibolehkan memasuki Masjidil Haram.
أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدِْي

Barangsiapa yang ingin berthaji tamattu’ dengan melakukan ibadah umrah terlebih dahulu, kemudian tahallul yang waktunya dapat digunakan untuk taqarrub kepada Allah sampai datang waktu haji, maka wajib baginya membayar dam (denda) haji sebagai tanda syukur kepada Allah yang telah memberikan kepadanya kesempatan dan kemudahan dalam melaksanakan kedua ibadah Umrah dan haji; dan dibolehkan memakan sebagian daging hewan dam yaitu berupa kurban yang disembelih pada hari raya qurban.

فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

Barangsiapa tidak mampu menyembelih dam maka diwajibkan kepadanya berpuasa selama 3 hari pada hari-hari ia melakukan ihram di Makkah sampai batas hari Idul Adhha, dan wajib pula ia berpuasa selama 7 hari apabila telah kembali ke tanah airnya; dan itulah 10 hari yang sempurna (’asyrah kamilah).

C. Al-Baqarah: 197

Bulan-Bulan Haji dan Etika Haji

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

1. Makna Mufradat:

Faradha fihinnal hajj: Sudah terpenuhi syarat-syarat wajib haji.
Rafats: perkatan dan perbuatan kotor atau tidak pantas yang menjurus kepada perkataan atau tindakan porno atau cabul; juga bisa berarti jima’ (hubungan seksual antara suami dan isteri), dilarang selama dalam masa ihram.
Fusq: ejekan atau keluar dari batasan yang telah ditentukan syara’. Fusuq juga bisa bermakna al-Syirk (berbuat syirik).
Jidal: berarti al-khisham (permusuhan/pertengkaran), baik secara lisan maupun fisik.

2. Asbab al-Nuzul

Ayat 197 surat al-Baqarah di atas diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yaman, apabila mereka menunaikan ibadah haji, mereka tidak membawa bekal apa-apa, dengan alasan tawakkal kepada Allah. Maka turunlah ayat di atas, wa tazawwadu fa inna khairazzadit taqwa. (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).

3. Tafsir al-Ayat

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ

Ibadah haji dilaksanakan pada bulan-bulan yang sudah ditentukan yang dimulai dari bulan Syawwal, Dzulqa’dah sampai tanggal 13 bulan Dzulhijjah. Ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Abbas yang diikuti Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Amad bin Hanbal. Jadi, yang dimaksud dengan asyhur ma’lumat adalah dalam 3 bulan itu. Sehingga dalam ayat tersebut digunakan kata jamak dari syahrun (satu bulan) yaitu asyhur (bulan-bulan).

Menurut Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, mazhab Syafi’i dan Ahmad, begitu pula golongan Hanafi bahwa waktu haji itu adalah: bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan 9 (sembilan) malam dari bulan Dzulhijjah. Jadi ketiga bulan ini dinamakan bulan-bulan haji; sedangkan pelaksanaan ibadah haji sesuai dengan sunnah Rasulullah. Menurut praktik Rasulullah, haji itu dimuali tanggal 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyah), 9 Dzulhijjah (hari ‘Arafah), 10 Dzulhijjah (hari Udhhiyyah), dan 3 hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

Barangsiapa yang sudah memenuhi syarat untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, maka selama dalam pelaksanaan ibadah haji itu, ia tidak boleh melakukan perbuatan rafats, fusuq, dan jidal. Ini merupakan pendidikan moral yang sangat penting, sehingga kalau aturan ini ditaati dengan baik, setelah selesai ibadah haji ia akan menjadi manusia yang paripurna, manusia yang berakhlak mulia dan berkperibadian Islami yang penuh kelembutan, kepedulian sosial, dan suka memaafkan orang lain.

Selanjutnya, Rasulullah menegaskan:

من حج ولم يرفث ولم يفسق خرح من ذنوبه كيوم ولدته أمه (رواه البخاري ومسلم)

Barangsiapa berhaji dan ia tidak berbuat rafats, tidak berbuat fusuq, maka keluarlah dari dosanya seperti baru dilahirkan oleh ibunya (HR. Bukhari dan Muslim).

• Dilihat dari segi munasabah, maka hadits ini merupakan bayan ta’kid (keterangan penguat) atau munasabah taukidiyyah (korelasi penguat) dari ayat 197 surat al-Baqarah di atas. Di sini berarti hadis menjadi penjelas dan sekaligus penguat terhadap ayat.

وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ

Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh jamaah haji walaupun sedikit sangat berarti dan bernilai di sisi Allah. Bagian ayat ini menegaskan bahwa setiap orang yang berhaji yang mau mengikuti peraturan yang telah ditetapkan menjadi pahala dan kebaikan baginya. Ketika orang berhaji tidak mengganggu orang lain, tidak berbuat hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, dan tidak melakukan hubungan suami-isteri selama dalam ihram, serta saling tolong menolong dan menjaga hubungan persaudaraan, perdamaian, dan saling menghormati akan memperoleh ganjaran pahala dari Allah; dan Allah senantiasa memantau apa saja yang dilakukan oleh para hamba-Nya.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

Bekal yang paling utama yang perlu dipersiapkan oleh para calon haji adalah taqwa. Karena itu, syarat wajib haji tidak semata-mata diukur pada kemapanan atau kemampuan ekonomi dan kesehatan fisik, tetapi justru yang paling penting adalah persiapan yang bersifat spiritual dan mental, yaitu ketaqwaan. Karena, orang yang bertaqwa akan dapat melaksanakan ibadah secara sempurna; dan beribadah semata-mata karena Allah, bukan karena manusia. Kriteria taqwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang bertaqwa dapat ditandai pada akhlaknya, ibadahnya, dan perilakunya sehari-hari. Tentu saja sebelum menunaikan ibadah haji, haruslah terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan amal shalih: zakatnya sudah ditunaikan dengan baik, shalatnya sudah mantap baik yang wajib maupun yang sunat, akhlaknya semakin bagus, kecintaan kepada agama Allah, dan hatinya terpaut dengan dengan masjid, berjamaah, hubungan kemanusiaan (silaturrahim) juga berjalan dengan indah. Demikian juga kepedulian sosial semakin meningkat. Ciri-ciri inilah yang menjadi bekal terbaik bagi seseorang yang akan menunaikan ibadah haji. Dengan begitu, pergi ke haji membawa taqwa; dan pulnag pun membawa taqwa, maka jadilah hajinya haji yang mabrur, yakni haji yang penuh kebaikan yang oleh Rasulullah disebutkan “tiada balasan yang lebih layak untuknya selain surga.”


D. Al-Baqarah: 198

Berbisnis pada Musim Haji

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ

1. Makna Mufradat

Junah: itsm artinya dosa
Fadhl: karunia, rizki (perdagangan), atau keutamaan.
Afadhtum min ‘arafah: selesai melakukan wuquf di Arafah.
Al-Masy’aril Haram: kawasan bukit Qunah, termasuk wilayah Muzdalifah dan Mina.

2. Asbab al-Nuzul

a. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa pada zaman Jahiliyah terkenal adanya pasar-pasar yang bernama ‘Ukadh, Mijnah, dan Dzul Majaz. Kaum Muslimin merasa berdosa apabila melakukan perdagangan (bisnis) di musim haji di pasar tersebut. Kemudian, mereka bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka turunlah ayat 198 surat al-Baqarah di atas, yang membenarkan mereka berdagang dalam musim haji. (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).

b. Riwayat lain mengisahkan bahwa Abu Umamah al-Taimi bertanya kepada Ibnu Umar perihal menyewakan kendaraan sambil berhaji. Ibnu Umar menjawab: “Pernah seorang laki-laki bertanya seperti itu kepada Rasulullah, yang seketika itu juga turun ayat 198 surat al-Baqarah,” lalu Rasulullah memanggil orang itu dan bersabda: “Kamu termasuk orang yang menunaikan ibadah haji.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan al-Hakim).

3. Tafsir al-Ayat

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ

Tidak ada larangan dan tidak pula berdosa melakukan perdagangan dalam musim haji, apabila perdagangan itu bukan merupakan tujuan utama. Hal ini merupakan keringanan bagi umat Islam bahwa sambil beribadah juga bisa menjalankan kegiatan bisnis untuk mencari rizki dan karunia Allah. Ayat ini memang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Arab yang mempunyai jiwa dagang, sehingga mereka pun tidak merasa bersalah jika di sela-sela melaksanakan ibadah haji dapat melakukan kegiatan bisnis dalam rangka mencari rizki. Namun, memfokuskan diri pada kegiatan ibadah adalah lebih diprioritaskan agar tidak berubah niat. Mendahulukan ibadah haji daripada bisnis adalah lebih utama, sehingga tujuan ibadah tercapai dan hikmah pun dapat digapai.

فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ َ

Allah memerintahkan kepada para jamaah haji bahwa apabila mereka sudah bertolak dari Arafah (sudah selesai wuquf) menuju Muzdalifah, hendaknya mereka memperbanyak zikir kepada Allah di Masy’aril Haram, dengan melantunkan talbiyah, tahmid, takbir, doa-doa. Allah merintahkan mereka dengan zikir ini karena dikhawatirkan mereka akan lupa kepada Allah disebabkan sibuk mengingat urusan perdagangan. Dengan memperbanyak zikir itu, mereka tidak kehilangan konsentrasi bahwa mereka masih dalam kondisi berhaji.

وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّي

Berzikirlah sebagaimana Allah telah diajarkan Allah kepadamu, yaitu dengan cara merendahkan diri, penuh kekhusyu-an, penuh pengharapan mendapat pahala, dan penuh kesungguhan hati dengan mengharap rahmat dan pahala dari Allah. Karena sebelum datang petunjuk ini kamu berada dalam kesesatan dan penyimpangan aqidah, yaitu menyembah berhala dan patung serta menjadikannya sebagai perantara (wasilah) antara kamu dan Allah; bahkan kamu meminta syafa’at (pertolongan) dari berhala dan patung tersebut.

E. Al-Baqarah: 199

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

1. Asbab al-Nuzul

a. Diriwayatkan bahwa orang-orang Arab wuquf di Arafah; sedangkan orang-orang Quraisy wuquf di lembah Muzdalifah, agar berbeda dari orang Arab pada umumnya. Maka trunlah ayat tersebut (al-Baqarah: 199). (HR. Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas).

b. Orang-orang Quraisy wuquf di dataran rendah Muzdalifah; dan orang-orang selain Quraisy wuquf di dataran tinggi Arafah kecuali Syaibah bin Rabi’ah, maka Allah menurunkan ayat tersebut yang mewajibkan wuquf di Arafah tanpa membeda-bedakan suku dan status sosial.

2. Tafsir asl-Ayat
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ
Allah memerintahkan mereka agar berangkat bersama-sama orang lain ke tempat wuquf yang telah ditentukan yaitu Arafah. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak menginginkan umatnya terpecah dan berbeda status antara satu dengan yang lain. Maka, kelompok yang awalnya mempertahankan prinsip karena ego-nya, agar segera bergabung dengan kelompok lain untuk melakukan wuquf di tempat yang sama. Dengan demikian semangat persaudaraan dan persatuan terwujud universal, ukhuwah ‘alamiyah dan ittihad ijtima’i , dalam pelaksanaan ibadah haji dapat terwujud. Bahkan, Rasulullah menegaskan bahwa puncak ibadah haji itu adalah wuquf di Arafah:
الحج عرفة من جاء ليلة جمع قبل طلوع الفجر فقد أدزك (زواه أحمد و أصحاب السنن)

Haji adalah wuquf di Arafah, barangsiapa datang pada malam tanggal 10 (Dzulhijjah) sebelum terbit fajar maka ia telah mendapatkan (sah) hajinya. (HR. Ahmad dan Ashhabussunan)

Wuquf menurut sunnah dilakukan dalam waktu zuhur, ketika tergelincir matahari sampai menjelang maghrib (terbenam matahari). Namun, bagi yang terlambat datang ke Arafah, masih dibolehkan melakukan wuquf pada malam tanggal 10 Dzulhijjah sebelum terbit fajar. Wuquf merupakan rukun haji yang sangat penting, tanpa wuquf berarti tidak ada haji.
وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

Allah memerintahkan mereka agar memohon ampun kepada-Nya dari segala kesalahan dan kekeliruan baik dalam sikap maupun tindakan. Dan juga hal-hal yang menyimpang dari manasik haji yang sudah digariskan. Sesungguhnya Allah maha pengampun dan penyayang kepada para hamba-Nya yang mau memohon keampunan.




F. Al-Baqarah: 200-201

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ ءَابَآءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَالَهُ فِي اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ. وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

1. Makna Mufradat

Khalaq: bagian, keuntungan, atau nasib.
Manasik: sistem ibadah atau tatacara ibadah haji.
Dzikr: menyebut atau mengingat asma’ Allah.
Hasanah fid dunya: kesehatan, kekayaan, isteri yang shalihah, anak yang berbakti, dan ilmu pengetahuan.
Hasanah fil akhirah: surga (al-jannah), pengampunan, dan kenikmatan.

2. Asbab al-Nuzul

a. Orang-orang Arab Jahiliyah melakukan wuquf di musim pasar. Sebagian mereka membangga-banggakan nenek moyangnya yang pernah membagi-bagikan makanan dan meringankan beban orang lain dengan menanggung pembayaran diyat (denda). Pada saat wuquf mereka menyebut-nyebut apa yang pernah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Maka turunlah ayat tersebut sebagai petunjuk apa yang harus dilakukan pada saat wuquf berlangsung. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas).
b. Orang-orang Arab pada masa itu apabila sudah selesai melakukan manasik haji, mereka berdiri di sisi jumrah sambil menyebut-nyebut jasa nenek moyang mereka pada zaman Jahiliyah; maka turunlah ayat tersebut (al-Baqarah: 200), sebagai pelajaran apa yang harus dilakukan pada saat pelemparan jumrah. (HR. Ibnu Jarir dari Mujahid).
c. Riwayat lain menerangkan bahwa sebagian bangsa Arab ketika tiba di tempat wuquf, mereka berdo’a: “ Ya Allah, semoga Engkau menjadikan tahun ini banyak hujannya, tahun yang makmur yang membawa kemajuan dan kebaikan.” Mereka tidak menyinggung urusan akhirat sama sekali, kemudian Allah menurunkan ayat 200 surat al-Baqarah sebagai tatacara berdoa. Setelah itu, kaum Muslimin berdoa sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, yaitu memadukan kepentingan duniawi dan ukhrawi, sesuai yang tercantum dalam al-Baqarah: 201. (Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas).

3. Tafsir al-Ayat

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ ءَابَآءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا

Apabila kalian sudah selesai mengerjakan ibadah haji, kemudian berangkat ke tempat lain, maka perbanyaklah zikir kepada Allah dengan penuh kesungguhan sebagaimana kalian mengingat nenek moyang kalian dan menyebut-nyebut jasa-jasa mereka.

فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَالَهُ فِي اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ

Ada di antara jamaah haji pada masa lampau yang terlalu mementingkan dunia, sehingga dalam doanya selalu memohon kepada Allah agar mereka diberikan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia saja; melupakan bagian di Akhirat. Tetapi, Allah menegaskan bahwa orang yang memohon keuntungan duniawi akan diberikan juga tetapi di Akhirat, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Sebab itulah, Islam selalu memadukan kepentingan duniawi dan ukhrawi sekaligus.

وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً

Namun, sikap orang beriman bahwa ia meminta kepada agar diberikan kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia maupun di Akhirat. Orang yang memohon keuntungan duniawi dan ukhrawi akan diberikan oleh Allah, dengan keberkatan hidup dan dimudah rizki serta diberikan keselamatan lahir dan batin. Di Akhirat akan diberikan pengampunan, pahala, dan surga. Itulah kebahagiaan sejati yang dijanjikan Allah kepada setiap orang yang mau berbakti.

وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Sebagai wujud dari kebahagiaan sejati itu, orang beriman tidak lupa juga berdoa agar dijauhkan dari siksaan api neraka. Karena bagaimana pun juga seseorang itu tak bahagia baik di dunia maupun di Akhirat jika hidupnya bagaikan nuansa neraka. Artinya, hidup yang penuh kegelisahan dan bergelimang dalam dosa. Maka, setiap saat kita memohon kepada Allah agar dijauhkan diri kita dari siksaan api neraka.

G. Ali Imran: 96-97

Rumah Ibadah Pertama dan Syarat Haji


Ali Imran: 96

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ

Ali Imran: 97

فِيهِ ءَايَاتُُ بَيِّنَاتُُ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

1. Makna Mufradat

Awwala Bait: rumah ibadah pertama, yaitu Masjidil Haram (Baitullah).
Wudhi’a: buniya artinya dibangun atau didirikan.
Bakkah: kota Makkah (Ummul Qura).
Mubaraka: yang diberkati dengan hikmah agama, pahala, dan kemakmuran.
Hudan lil ‘Alamin: pedoman atau referensi bagi seluruh dunia.
Maqam Ibrahim: napak tilas atau bekas jejak tapak kaki Nabi Ibrahim di atas batu.
Istitha’ah: kemampuan atau kesanggupan baik ruhani maupun jasmani.

2. Asbab al-Nuzul

Rasulullah mengatakan kepada orang-orang Yahudi: Allah telah mewajibkan atas Kaum Muslimin naik haji ke Baitullah. Orang Yahudi berkata: Tidak diwajibkan kepada kami. Mereka menolak melaksanakan ibadah haji, maka turunlah ayat tersebut yang menegaskan bahwa berhaji hanya diwajibkan kepada umat Islam; sedangkan yang tidak mau berhaji berarti kafir. (HR. Sa’id bin Manshur dari ‘Ikrimah).

3. Tafsir al-Ayat

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ

Rumah ibadah yang pertama kali dibangun untuk manusia di permukaan bumi ini adalah Masjidil Haram. Rasulullah dalam haditsnya menjelaskan: “Beliau pernah ditanyakan tentang masjid yang pertama dibangun untuk manusia, maka belaiu menjawab: pertama, Masjidil Haram; dan kedua adalah Baitul Maqdis.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jarak waktu antara pembangunan Masjidil Haram dan Baitul Maqdis adalah 40 tahun.

Masjidil Haram terletak di Bakkah atau sekarang bernama Makkah, yang penuh keberkatan karena sekitar masjid itu terdapat banyak pahala; bahkan nilai beribadah di Masjidil Haram sama dengan 100.000 kali lebih besar daripada di masjid lain; demikian juga nilai ibadah di masjid Nabawi di Madinah sama dengan 1000 kali lebih besar daripada di masjid lain; sedangkan ibadah di Baitul Maqdis adalah 500 kali lebih besar daripada di masjid-masjid lain. Karena itu, Rasulullah berpesan agar orang beriman mengadakan perjalanan ke tiga masjid utama itu.

Masjidil Haram menjadi pusat perkumpulan umat Islam se-dunia. Rumah ibadah ini merupakan sumber hidayah dan cahaya bagi seluruh makhluk; dan sebagai kiblat umat Islam sedunia. Pada masa-masa awal Rasulullah di Madinah, beliau berkiblat ke Baitul Maqdis di Palestina; dalam proses perjalanan waktu beliaun terus berdoa agar Allah merubah arah kiblat ke Masjidil Haram. Setelah 16 bulan di Madinah, akhirnya doa Rasulullah dikabulkan dan beliau diperintahkan untuk merubah arah kiblat ke arah Masjidl Haram. Sebaba itulah Masjidil Haram di Makkah menjadi hudan lil ‘alamin.

فِيهِ ءَايَاتُُ بَيِّنَاتُُ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ

Di rumah antik (al-Bait al-‘Atiq) yang pertama kali dibangun itu terdapat tanda-tanda atau bukti-bukti keagungan Allah dan keberkatannya, yaitu pada terdapat maqam Nabi Ibrahim. Maqam Nabi Ibrahim di sini adalah bekas tapak kakinya ketika menginjak di atas batu pada saat menyusun batu-batu dalam pembuatan Ka’bah bersama putranya, Ismail. Batu yang berbekas tapak kaki Nabi Ibrahim itu dapat disaksikan wujudnya di dekat Ka’bah; dan setiap orang yang melakukan Thawaf, setelah selesai Thawaf, disunnahkan melakukan shalat 2 (dua) raka’at di dekat atau di belakang Maqam Nabi Ibrahim itu.

وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا

Di sekitar tanah haram (tanah suci yang dihromati) itu merupakan kawasan yang penuh keamanan dan kedamaian. Karena di tempat itu diharamkan melakukan permusuhan dan pembunuhan, dan peperangan. Karena itu, siapa saja dari kalangan umat Islam yang memasuki kawasan itu dijamin keamanannya. Selain itu, kenyamanan dan keamanan dapat juga dipahami tidak dari segi fisik tetapi secara spiritual. Setiap orang yang menunaikan ibadah haji pasti merasakan damai, tenang dan tenteram hati dan jiwanya berada di Masjidil Haram itu. Ini merupakan keberkatan dan sekaligus hikmah yang dapat dirasakan langsung, seperti yang disebut dalam tersebut.

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

Menunaikan ibadah haji adalah wajib bagi setiap Muslim yang sudah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam syara’. Syarat yang paling utama dalam kaitan dengan ibadah haji adalah istitha’ah. Pengertian istitha’ah di sini mencakup bekal dalam bentuk materi dan kemampuan fisik dan psikis, termasuk biaya dan ilmu tentang manasik haji. Mengabaikan kewajiban haji oleh orang yang sudah memenuhi persyaratan tersebut dianggap sudah kafir. Dalam kaitan ini Rasulullah mengingatkan:

من ملك زادا وراحلة تبلغه يت الله ولم يحج فلا عليه أن يموت يهوديا أو نصرانيا.

Barangsiapa yang sudah memiliki bekal dan kemampuan mengadakan perjalanan ke Baitullah tetapi dia tidak mau menunaikan ibadah haji, maka ia mati dalam keadaan Yahudi dan Nashrani.

• Ditinjau dari segi munasabah, hadits ini merupakan bayan tafsir dan tasyri’ terhadap ayat 97 surat Ali Imran di atas. Disebut bayan tafsir karena hadis ini menjelaskan kewajiban haji secara pasti bagi orang yang sudah mencapat derajat istitha’ah; dan bayan tasyri’ karena hadis ini mempertegas hukum bagi orang yang mampu berhaji tetapi tidak mau berhaji.

وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Allah menegaskan bahwa bagi orang yang sudah mampu berhaji tetapi tidak mau melaksanakannya atau mengingkarinya, maka Allah maha kaya di seluruh alam. Ini berarti ibadah haji itu bukan untuk Allah, tetapi untuk manusia itu sendiri sebagai bentuk pengabdian dan ibadah yang mendatangkan pahala untuk dirinya yang dapat menyelamatkannya dari azab neraka. Sebab itu, mengingkari perintah berhaji tidak akan merugikan Allah, karena Allah maha kaya; tetapi yang rugi adalah manusia itu sendiri.

H. Al-Baqarah: 158

Bukit Shafa dan Marwah

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَأِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ


1. Makna Mufradat

Al-Shafa wa al-Marwah: dua gunung yang berada di lembaha Makkah.
Al-Sya’a`ir: tanda, bukti atau alamat.
Al-Hajj: al-Qashdu yaitu bermaksud atau sengaja mendatangi Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah haji.
Al-‘Umrah: al-Ziyarah yaitu berkunjung ke Baitullah untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

2. Asbab al-Nuzul

1)‘Urwah bertanya kepada ‘Aisyah: Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah, al-Baqarah ayat 158, karena “menurut pendapatku ayat ini menegaskan bahwa orang yang tidak thawaf di kedua tempat itu tidak berdosa.” Aisyah menjawab: “Pemahamanmu itu keliru, wahai anak sudariku. Ayat itu diturunkan mengenai Kaum Anshar. Mereka ketika belum masuk Islam mengadakan upacara keagamaan (ritual) kepada Manata (tuhan mereka) yang jahat, dan menolak thawaf antara Shafa dan Marwah; lalu mereka menanyakan kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, di zaman Jahiliyah kami berkeberatan untuk thawaf di Shafa dan Marwah.” (HR. al-Syaikhani).

2)Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ‘Ashim bin Sulaiman bertanya kepada Anas bin Malik, “kami berpendapat bahwa thawaf antara Shafa dan Marwah adalah upacara di zaman Jahiliyah; dan ketika Islam datang, kami tidak melakukannya lagi. Maka turunlah ayat tersebut yang menganjurkan untuk melakukan sa’i di antara kedua bukit Shafa dan Marwah itu. (HR. al-Bukhari).

3) Versi lain menyebutkan bahwa Ibnu Abbas menerangkan bahwa syaitan-syaitan di zaman Jahiliyah berkeliaran pada malam hari antara Shafa dan Marwah dan di antara keduanya terletak berhala-berhala mereka. Ketika Islam datang, Kaum Muslimin mengatakan kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, kami tidak akan melakukan thawaf di antara Shafa dan Marwah, karena upacara itu biasa kami kami lakukan di zaman Jahiliyah. Kemudian turunlah ayat tersebut untuk menegaskan umat Islam dibolehkan melakjukan thawaf (sa’i) di anatar kedua bukit tersebut.

3. Tafsir al-Ayat

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ

Bukit Shafa dan Marwah merupakan tanda-tanda keagungan Allah di bumi. Kedua bukit itu adalah tempat melakukan sa’i (berjalan cepat) sebanyak 7 kali sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah haji. Meskipun pada masa Jahiliyah kedua bukit itu sebagai tempat ritual orang-orang Jahiliyah, ketika Islam datang dirubah menjadi tempat pelaksanaan sa’i yang merupakan rangkaian ibadah haji. Oleh sebab itu, orang Islam tidak perlu ragu melaksanakan sa’i di bukit Shafa dan Marwah itu karena kedua tempat itu merupakan anugerah Allah kepada umat Islam dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya.

فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Karena setiap orang yang berhaji pasti melakukan sa’i di kedua bukit itu sambil melantunkan zikir dan doa. Allah memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melakukan rangkaian ibadah haji tanpa harus merasa bersalah atau berdosa. Memang pada masa lalu kedua tempat itu penuh dengan kemusyrikan, tetapi segala noda dan dedaki kemusyrikan itu sudah dibersihkan oleh Rasulullah dengan datangnya perintah berhaji.

وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَأِنَّ اللهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

Barangsiapa yang memperbanyak amal kebaikan selama berhaji, Allah sangat senang melihat hamba-Nya melakukan kebaikan dan akan diberikan pahala. Oleh karena itu, setiap orang berhaji tidaka boleh menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga itu untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Bahkan, selain amalan wajib perlu ditambah dengan amalan sunnah, seperti melakukan thawaf setiap saat, berzikir, berdoa, membaca al-Qur’an, i’tikaf, dan amal-amal sunnah lainnya, yang tergolong tathawwu’.

I. Al-Hajj: 27
Seruan Berhaji

وَأِذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Ayat ini menjelaskan tentang seruan berhaji yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim pada masa lampau setelah beliau membangun Ka’bah. Seruan untuk berhaji terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, maka setiap orang yang membaca al-Qur’an pasti sudah mengetahu kewajiban berhaji itu. Sekitar 15 abad yang lalu al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia akan datang dari berbagai penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji: ada di antara mereka yang berjalan kaki, ada yang menggunakan kendaraan darat, laut dan udara. Maka, tidak heran apabila zaman kini berbondong-bondong manusia berangka ke haji dari seluruh dunia; tidak kurang dari 5 juta manusia setiap tahun berkumpul di Makkah al-Mukarramah sebagai realisasi dari semangat atau pesan ayat tersebut.

J. Hikmah Tasyri’ Ibadah Haji

Di dalam perintah berhaji terdapat banyak hikmahnya, baik dilihat dari sisi hukum Islam, sosial, politik, ekonomi, maupun muamalah. Di antara hikmah yang paling esensial ialah:

1. Perintah melaksanakan ibadah haji diturunkan sesudah perintah ibadah puasa Ramadhan. Ini memberikan isyarat bahwa selama Ramadhan, orang beriman membiasakan diri dengan ibadah baik secara individual maupun berjamaah di masjid-masjid. Dan tujuan utama ibadah puasa Ramadhan adalah untuk memperoleh derajat taqwa; dan bekal yang paling baik untuk calon jamaah haji adalah taqwa. Maka, setelah umat Islam berpuasa, mereka akan berangkat haji dengan modal taqwa tersebut.

2. Orang yang berhaji adalah orang yang sudah bisa mengendalikan dirinya dengan baik dan sudah memiliki sifat-sifat terpuji. Sebab itu, dalam pelaksanaan ibadah haji sangat dianjurkan agar tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal.

3. Setiap jamaah haji mendambakan haji mabrur, karena balasan bagi haji yang mabrur itu adalah surga. Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 133, Allah menjanjikan surga kepada orang-orang yang bertaqwa. Maka, jamaah haji yang berbekal taqwa adalah calon penghuni surga.

4. Selain mendapatkan surga, berhaji juga dapat melatih dan menguji kesabaran seseorang untuk mencapat tingkat jihad fi sabilillah. Bahkan, bagi wanita haji mabrur sama nilainya dengan jihad fi sabilillah.

5. Selanjutnya, Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an, Juz XVII: 87-90 menjelaskan hikmah haji sebagai berikut:

1) Ibadah haji merupakan musim mu’tamar, perdagangan, dan musim ibadah.
2) Ibadah haji adalah mu’tamar sosial dan perkenalan umat Islam se-dunia.
3) Ibadah haji merupakan ajang untuk menegakkan prinsip saling tolong menolong.
4) Ibadah haji adalah suatu kewajiban yang bertemu padanya kepentingan duniawi dan ukhrawi.
5) Ibadah haji mempersatukan sudut pandang umat Islam dan ‘aqidah Islamiyah.

Wallahu a’lam bi al-shawab….!

5 komentar:

  1. Artikel ini merupakan bahan kuliah Tafsir III pada Fakulktas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry; dan sekaligus sebagai bahan ujian final semester ganjil tahun 2010/2011. Namun, sebagai ilmu, situs ini dapat diakses oleh siapa saja yang berminat menambah wawasan tentang Tafsir al-Qur'an, yang fokus kajian kali ini mengenai HAJI. Selamat membaca...!

    BalasHapus
  2. Subhanallaahu, Baa rakallaahu Fik

    BalasHapus
  3. Ambillah ilmu dari mana pun datangnya. Ilmu itu merupakan hikmah yang hilang, dan harus direbut kembali.... Bravo and be successful!

    BalasHapus
  4. alhmdllh wasykurlah,,artikel anda sangat membantu saya dalam tugas yang saya kerjakan. terimakasih sebelumnya
    wassalamualikum

    BalasHapus