Sabtu, 08 Januari 2011

THE REAL FIRST LADY: ISTERI SOEKARNO

INGGIT GARNASIH, ISTRI SOEKARNO: THE REAL FIRST LADY


Banyak dari kita yang mengagumi sosok Soekarno (kemudian ditulis: Sukarno) sebagai Presiden RI, perintis gerakan Non-Blok, Don Juan yang selalu dikelilingi wanita cantik, dan orator yang terkenal di seluruh dunia. Namun berapa banyak yang mengetahui perjuangan penuh liku dan kerikil tajam yang ia tempuh sebelum mencapai kesuksesan? Siapakah penyokong terbesarnya?

Sejarah mungkin telah meredupkan nama Inggit Garnasih, istri Sukarno yang paling berjasa menghantarkannya ke gerbang kejayaan. Buktinya, saya sama sekali tidak tahu, tidak ingat pernah mendengar nama itu sebelum diberi tahu Mbak Niken dan dipinjamkan biografinya. Setelah baca biografinya, saya berpikir, kok bisa sih perempuan sehebat ini tersembunyikan dari pelajaran sejarah Indonesia? Yang saya tahu, istri Sukarno ya Fatmawati, yang (dibandingkan dengan perjuangan Inggit) ‘hanya’ menjahitkan bendera pusaka merah putih itu. Satu lagi, Dewi Sukarno (karena terkenal kecantikannya). Tujuh lainnya saya tidak tahu. Dengan membaca buku ini, kita akan tahu bahwa; Inggit is the real Indonesian first lady.

Penulis menceritakan kisah ini dengan cantik dari berbagai sumber yang dapat dipercaya. Saya terhanyut dalam perjuangan, dan romantisme kisah cinta mereka. Terutama pengorbanan luar biasa yang diberikan Ibu Inggit dalam 20 tahun perkawinan mereka. Antara lain:

- Banting tulang membiayai rumah tangga dan kuliah Sukarno
- Membiayai kegiatan-kegiatan politik Sukarno, termasuk menyediakan makan para pemuda rekan-rekan Sukarno yang sering berdiskusi di rumahnya
- Melayani Sukarno lahir batin; membuatkan jamu, memijiti saat lelah dan sakit, memberi semangat saat jiwa Sukarno lemah dan putus asa
- Setia mengunjungi, membawakan makanan, buku, uang saat Sukarno dipenjara, meski jarak 20 km harus ditempuh dengan berjalan kaki
- Ikut serta bahkan membawa Ibunya sebagai tim yang mendampingi Sukarno saat diasingkan ke Ende, dipindah ke Bengkulu, Padang, lalu kembali ke Jawa

Sukarno saat itu sulit menggunakan ilmu arsitekturnya karena ia tidak sudi bekerja di bawah pemerintah Belanda, sehingga uang yang dihasilkannya hanya dari honor menulis di koran-koran. Sedangkan Inggit? Apapun ia kerjakan demi membuat Kusno kesayangannya, tetap menjadi singa podium yang gagah mengaum. Membuat bedak dan lulur, meracik jamu, menjahit baju, menjual kutang, bedak, rokok, dan menjadi agen sabun dan cangkul meskipun kecil-kecilan. Ia bahkan menggadaikan perhiasan, dan menjual tanah peninggalan orang tuanya demi membiayai hidup di pengasingan. Ialah ibu, kawan, kekasih bagi Sukarno.

Lalu tibalah saat yang telah ditentukan Sang Khalik. Tahun 1943, saat Sukarno hampir mencapai puncak kejayaannya. Ia berusia 40 tahun sedang Inggit 53 tahun. Jiwa lelakinya kembali muda, ia ingin memiliki keturunan, yang memang sulit didapat dari Inggit. Yang paling menyakitkan, keinginan ini dipicu oleh ketertarikan Sukarno pada anak angkat mereka, Fatmawati. Ia cinta Fatma, sekaligus menyayangi Inggit. Namun prinsip yang dipegang erat oleh keluarga Inggit, pantang dimadu. Akhirnya terjadilah perceraian itu, saat segalanya telah Inggit berikan. Ia dikembalikan ke pangkuan keluarga dengan membawa dua batu ceper yang selalu ia gunakan membuat bedak dan lulur guna menyambung hidup.

Waktu berjalan, masa berganti. Persembahan cinta Inggit yang agung seakan memudar dan terlupakan. Indonesia merdeka dan memberi kekuasaan tertingginya pada Sukarno, saat Fatmawati menjadi istrinya. Lalu belasan tahun kemudian, saat anak-anak (yang menjadi alasan perceraian Sukarno-Inggit) telah lahir dari Fatmawati, hati Sukarno menjelajahi wanita-wanita cantik lain yang dinikahi selang satu sampai tiga tahun saja. Sebutlah Hartini, Dewi, Kartini, Haryati, Yurike, dan Heldy. Entah karena alasan apa, mungkin hanya karena ia adalah pencinta wanita. Sesederhana itu.

Wanita-wanita cantik yang dipuja dan dinikahi seorang gentlemen, gagah, punya kekuasaan, bisa ditebak bagaimana sikapnya. Ny. H, saat ingin pergi menemui Sukarno dan mobilnya mogok, ia marah-marah lalu minta dikirimi mobil dari istana segera. Saat mobil tak kunjung datang dan ia tidak bisa berangkat, ia merajuk dan menangis kesal setelah bertemu Sukarno. Ny. D, saat acara kenegaraan di Tokyo, menangis dan berteriak-teriak hanya karena namanya tidak dicantumkan di undangan resmi. Manja. Suatu sifat yang tidak pernah dimunculkan oleh Inggit. Ia cadas; tegar, kuat, dan bermartabat.

Simaklah bagaimana ia menguatkan Sukarno di saat-saat paling lemah dalam hidupnya.

Setelah lulus dan terlibat pergerakan politik, pemerintah Belanda menganggapnya sebagai ancaman sehingga Kusno ditangkap, dipenjara di Bantjeuy. Kemudian ia dipenjara lagi di Sukamiskin. Praktis, ia tidak bisa menghidupi keluarga. Justru Inggitlah yang memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus kesejahteraan Sukarno di dalam penjara.

[Dengan muka redup, suamiku mendekat, lalu berkata perlahan-lahan, “Inggit, maafkanlah aku. Maafkanlah, Inggit. Aku telah melalaikan tugasku sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Aku telah melalaikan Inggit, melalaikan tugasku sebagai suami. Aku telah menyusahkanmu, Inggit.”]

[“Tidak kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati? Di rumah segalanya beres. Kan aku masih punya dua tangan. Dan aku bisa bekerja dan menghasilkan cukup uang untuk mengatur kehidupan rumah tangga. Beres, kasep.. beres!” aku membesarkan hatinya.]

Lalu saat di pengasingan di Ende, Sukarno terjangkit malaria. Saat itu, kondisi jiwa Sukarno sangat lemah. Berkali-kali ia mengeluh kepada Inggit. Ia pernah berucap keinginan untuk mebuat taktik berpura-pura bekerja sama dengan pemerintah agar segera kembali ke Jawa. Inggit sebaliknya menolak dan memandang Sukarno berjiwa lemah.

[“Kus, kamu ini bagaimana? Baru mendapatkan ujian sekecil ini sudah tak kuat. Bagaimana nanti jika jadi pemimpin? Cobaan pasti lebih berganda. Mestinya Kus bisa lebih sabar dari kami. Masak calon pemimpin berjiwa selemah ini? Percayalah, ini bukan untuk selamanya, ini hanya sementara. Buktikan tak lama lagi kita pasti keluar dari pulau terpencil ini. Nggit yakin itu, sebab Tuhan tak akan mungkin terus-menerus menguji hambaNya. Dia masih sayang kepada kita. Percayalah.”]

Saat Ibu Inggit menemui Sukarno terakhir kalinya di dalam peti jenazah, ia berucap, “Ngkus, geuning Ngkus the miheulaan, ku Nggit didoakeun..”. Dan itu bukanlah bukti terakhir cinta Inggit pada Sukarno. Tahun 1980 saat berita mengenai kelemahan politik Sukarno mencuat, Ibu Inggit memberikan sanggahannya pada wartawan yang mewawancarainya.

Istri-istri Sukarno mencicipi manisnya kehidupan di istana, diberi rumah di Kebayoran, Slipi, Gatot Subroto, sementara Inggit hanya mampu menatap puing-puing rumah panggung di Jalan Ciateul yang penuh memori kebahagiaan, kesengsaraan, dan perjuangan bersama Kusno kesayangannya. Kamar dan rumahnya begitu sederhana. Harta miliknya hanyalah radio Philips buatan tahun 1949, sebuah foto Bung Karno tersenyum manis, sebuah teropong dan perangkat makan sirih serta sebuah pispot. Ditambah dua buah balai-balai dan sebuah lemari kayu murahan.

[“Yang lalu sudahlah berlalu, aku telah mengantarkan Kusnoku, Kasepku, Kesayanganku, Fajarku ke gerbang kebahagiaan, gerbang cahaya yang dari dulu diimpikannya.”]

Rasanya tidak berlebihan kalau saya berpikir, ‘Tanpa dukungan Ibu Inggit, mungkin tidak akan ada putra terbaik bangsa yang kemampuan dan kharismanya diakui di berbagai negara. Mungkin sekarang kita masih akan sengsara dalam penjajahan’. Dan saya tidak tahan untuk tidak berpikir, ‘Di antara sekian banyak istri Sukarno, siapakah yang akan dipilihnya menjadi permaisuri di akhirat nanti?’

Lalu satu lagi, ‘Seandainya Sukarno memiliki keturunan dari Ibu Inggit, akan jadi sehebat apakah dia?’

Bravo…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar