HUDUD: MAKNA DAN SISTEM PENERAPANNYA
Allah subhanahu wa ta’ala al-Hakim (yang maha bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezholiman dan kerusakan. Syariat islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharuriyat al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari’at yang disesuaikan dengan pelanggaran tersebut.
Salah satunya adalah penegakan hudud yang menjadi satu keistimewaan ajaran islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluknya.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:
“Hudud berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia Karena dosa-dosa mereka bertujuan dalam melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit.” (1)
PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jama’ (plurals) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Sehingga dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya. (2) Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Hudud Allah adalah perkara-perkara yang Allah larang melakukan dan melanggarnya (3).
Adapun menurut syar’i, istilah hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya. (4)
DELIK HUKUMAN KEJAHATAN (Jarimah al-Hudud)
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimu al-hudud (delik hukuman kejahatan).
Yaitu meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muharabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya. (5)
Dengan demikian Hudud mencakup 7 jenis:
1. Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
2. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri
3. Had al-Khamr (Hukuman orang yang minum Kamer (minuman memabukkan) untuk menjaga akal
4. Had as-Sariqah (Hukuman mencuri) untuk menjaga harta
5. Had al-Hiraabah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
6. Had al-Baghi (Hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa
7. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama. (6)
HIKMAH PENSYARIATAN HUDUD
Hudud disyaria’tkan untuk kemaslahan hamba dan memiliki tujuan yang mulia.
Di antaranya adalah:
a. Siksaan bagi orang yang berbuat kejahatan dan membuatnya jera. Apabila ia merasakan sakitnya hukuman ini dan akibat buruk yang muncul darinya maka ia akan jera untuk mengulanginya kembali dan dapat mendorongnya untuk istiqamah dan selalu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)
b. Membuat jera manusia dan mencegah mereka terjerumus dalam kemaksiatan, oleh karena itu Allah memerintahkan untuk mengumumkan had dan menerapkannya dihadapan manusia.
“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nur/24:2)
Syeikh ibnu ‘Utsaimin menyatakan bahwa diantara hikmah dari hudud adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan orang lain agar tidak terjerumus padanya dan pensucian dan penghapusan dosa. (7)
c. Hudud adalah penghapus dosa dan pensuci jiwa pelaku kejahatan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, ia bertutur:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dan disekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma’ruf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman didunia maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no: 1709 dan Nasa’i 7/148)
d. Menciptakan suasana aman dalam masyarakat dan menjaganya.
e. Menolak keburukan, dosa dan penyakit dari masyarakat, karena kemaksiatan apabila telah merata dan menyebar pada masyarakat maka akan diganti Allah dengan kerusakan dan musibah serta dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka solusi terbaiknya adalah menegakkan dan menerapkan hudud. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. ar-Rûm/30:41)
Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ الأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih penduduknya daripada mereka diguyurhujan selama empat puluh hari.” (Hasan ; Shahih Ibnu Majah no; 2057, Ibnu Majah 2/848 no : 2538, Nasa’I 8/76). (8)
SYARAT PENERAPAN AL-HUDUD (9)
Penerapan al-Hudud tidak dilakukan tanpa 4 syarat:
1. Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
2. Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
3. Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
4. Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.
HUKUM MENEGAKKAN HUKUMAN HAD
Diwajibkan kepada wali umur (penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan hukuman Had kepada seluruh rakyatnya berdasarkan dalil dari al-Qur`aan, as-Sunnah dan Ijma’ serta dituntut qiyas yang shahih. (10)
Dalil al-Qur`aan diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)
Dalil as-Sunnah diantaranya adalah hadits Ubadah bin Shamit yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ
“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah pada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecamanan orang yang suka mencela mempengaruhi kamu dalam (menegakkan hukum-hukum) Allah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah No. 2058 dan Ibnu Majah No. 2540)
Demikian juga ulama kaum muslimin sepakat atas hal ini.
TIDAK DIBENARKAN SYAFAAT (REKOMENDASI) PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJA HIJAUKAN
Apabila perkaranya telah masuk ke pemerintah atau telah dimeja hijaukan maka dilarang adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau pengurangan hukuman. Juga pemerintah tidak boleh menerima syafaat dalam hal ini. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa kaum Quraisy sangat memusingkan mereka ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang telah melakukan kasus pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang berbicara hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau menjawab, “Adakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.” (Muttafaqun ’alaih)(11)
Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang yang member syafaat dalam hukuman had setelah sampai ke pemerintah. Adapun bila belum sampai maka diperbolehkan.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan:
Tidak boleh menggagalkan (hukuman had) dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya dan tidak boleh memberikan syafaat padanya. Siapa yang menggagalkannya karena hal ini –padahal ia mampu menerapkannya- maka semoga laknat Allah, malaikat dan semua manusia menimpanya.(12)
PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD
Tak ada yang berwenang menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga mengutus Unais radhiallahu ‘anhu untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (HR al-Bukhari no. 2147)
Demikian juga memerintahkan para sahabat untuk merajam Maa’iz, dengan menyatakan:
اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
“Bawalah ia dan rajamlah.” (HR al-Bukhaari no. 6815)
Demikian juga karena penentuan hukuman had dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezholiman, sehingga wajib dilaksanakan oleh imam atau wakilnya. (13)
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SAMA DALAM HUDUD?
Wanita dalam penerapan hukuman had sama seperti lelaki, karena pada asalnya semua yang ditetapkan syari’at untuk lelaki juga berlaku pada wanita sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini umum berlaku dalam ibadah, mu’amal ataupun dalam hukuman. Namun para ulama memberikan 3 pengecualian, yaitu:
a. Wanita dihukum dengan duduk sedangkan lelaki dengan berdiri.
b. Pakaian wanita diikat sedangkan lelaki tidak.
c. Pakaiannya diikat hingga tidak terbuka auratnya, sedangkan lelaki tidak. (14)
Syeikh ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Inilah yang membedakan wanita dengan laki-laki dalam had karena kebutuhan menuntutnya. Kalau tidak maka pada asalnya wanita sama dengan lelaki.(15)
Demikianlah selintas permasalahan hudud dalam islam. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada kaum muslimin tentang keindahan dan kelengkapan syari’at islam.
Wabillahitaufiq.
Referensi:
1. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zad al-Mustaqni’, Syeikh Muhamad bin Shalih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1428, Dar Ibnu al-Jauzi
2. Fat-hu Dzi al-Jalal wa al-Ikram, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1428 H, al-Maktabah al-Islamiyah.
3. Al-Mulakhash al-Fiqh, Prof.DR. Sholeh bin Abdillah alfauzaan, cetakan pertama tahun 1423 H, Idârat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta`
4. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman al-Basâm, cetakan kelima tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi.
5. Manhaj as-Salikin Wa Taudih al-Fiqhu Fiddin, Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di, tahqiq Muhammad bin Abdulaziz al-Khudhairi, cetakan pertama tahun 1421 H, Dar al-Wathan
• Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Diakses: www.mihrabia.blogspot.com
Ditinjau dari segi hikmah tasyri', hudud merupakan suatu terapi terhadap penyakit sosial yang muncul sepanjang kehidupan manusia. Islam menempuh jalan hukum untuk mendidik manusia agar tidak melakukan tindakan kriminalitas, dengan menerapkan hudud ini. Hudud pada dasarnya adalah hukuman yang bersifat umum terhadap berbagai tindakan kejahatan (jarimah). Dengan adanya hudud ini, manusia diharapkan dapat meningkat derajat dan martabatnya, tidak dizalimi dan tidak pula menzalimi orang lain.
BalasHapus