Rabu, 22 Desember 2010

TJOKROAMINOTO DAN SOEKARNO

HOS TJOKROAMINOTO DAN SOEKARNO

Andai Soekarno tak pernah kos di rumah HOS Tjokroaminoto, mungkin sejarah tak akan pernah menyatatnya sebagai pemimpin bangsa. Beruntung, Soekarno sempat tinggal di kediaman Tjokroaminoto, yang kemudian dijadikannya sebagai guru. Dari tokoh itulah, Soekarno belajar banyak dan mendapat inspirasi.

Tak cuma Soekarno yang berguru pada Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, melainkan juga Abikusno, Semaun, Alimin, Musso, HA Agus Salim, Kartosuwirjo, Herman Kartowisastro, KH Mas Mansyur dan lain-lain. Dari sekitar 20 nama yang berguru kepadanya itu, Soekarno kelak menjadi tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia), Abikusno Tjokrosujoso menjadi tokoh PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), sementara Semaun, Alimin dan Musso menjadi pemimpin PKI (Partai Komunis Indonesia), KH Mas Mansyur aktif di Muhammadiyah.

Tak berlebihan jika Tjokro dijuluki “Guru Politik” para pemimpin bangsa. Betapa tidak. Dari tangannya, lahir murid-murid yang mengusung tiga aliran politik, yang hingga kini masih berpengaruh besar di Tanah Air: Nasionalisme, Islam, dan Sosialisme.

Lahir di Bakur, sebuah desa di Madiun, pada 16 Agustus 1882, Tjokroaminoto sejatinya menyandang gelar Raden Mas. Namun, ia tidak pernah menyertakan embel-embel kebangsawanan pada namanya. Ayahnya, RM Tjokroamiseno, adalah wedana alias asisten bupati. Sedangkan sang kakek, RM Adipati Tjokronegoro, pernah menjadi bupati Ponorogo. Neneknya juga seorang puteri agung Susuhunan II dari Kerajaan Surakarta. Begitu pula isterinya, Raden Ajeng Soeharsikin, yang berayahkan patih wakil bupati Ponorogo.

Tjokroaminoto adalah alumni Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Karena termasuk kaum bangsawan, Tjokro bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda yang menyetak pegawai-pegawai pemerintah kolonial itu. Lulus dari OSVIA, pada 1902, Tjokroaminoto bekerja sebagai juru tulis di kesatuan pegawai administratif bumiputera di Ngawi.

Pada 1905 di Surabaya, Tjokroaminoto bekerja pada sebuah perusahaan dagang, sambil mengikuti kursus teknisi di sebuah sekolah malam. Setelah lulus, ia bekerja di pabrik gula Rogojampi pada 1907. Mula-mula sebagai magang masinis, kemudian menjadi teknisi, hingga ia memantapkan diri untuk berkiprah di kepengurusan Syarikat Islam (SI) pada 1912. Tak lama berselang, ia dipercaya memimpin SI cabang Surabaya. Itulah awal petualangan Tjokro di jagad pergerakan nasional.

Prestasi perdana Tjokro adalah ketika ia sukses menyelenggarakan vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat besar itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang anggota. Kongres resmi perdana SI sendiri baru terlaksana pada 25 Maret 1913 di Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua CSI mendampingi Hadji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua itulah Tjokro mulai menanamkan pengaruhnya.

Kongres SI kedua di Yogyakarta pada 19-20 April 1914, melejitkan namanya sebagai Ketua CSI menggantikan Samanhoedi. Di tangan Tjokro, SI mewujud menjadi organisasi politik pertama terbesar di Nusantara. Pada 1914, anggota resminya mencapai 400.000 orang, sedangkan tahun 1916 terhitung 860.000 orang. Tahun 1917 sempat menurun menjadi 825.000 orang. Pada 1918 bahkan merosot lebih drastis lagi hingga pada kisaran 450.000 orang. Namun, setahun berikutnya, 1919, keanggotaan SI melesat sampai 2.500.000 orang.

Ketertarikan berjuta-juta orang tersebut untuk berbondong-bondong masuk SI bukanlah tanpa alasan. Tjokro sangat jeli melihat setiap peluang. Dengan bandrol Islam, ditambah strategi politik rakyat nirkasta, SI dengan cepat mampu menarik hati masyarakat. Di setiap pertemuan anggota SI, semua duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

Perkembangan pesat SI lebih disebabkan citra Islam, yang menjadi magnet utamanya. Apalagi, SI adalah tempat berkumpulnya para tokoh Islam terkemuka, sebut saja KH Ahmad Dahlan, Agus Salim, AM Sangadji, Mohammad Roem, Fachrudin, Abdoel Moeis, Ahmad Sjadzili, Djojosoediro, Hisamzainie, dan lain-lainnya. Orang-orang besar itu sangat dikagumi dan menjadi panutan bagi sekalian rakyat.

Dalam memimpin, Tjokro banyak melakukan tindakan-tindakan yang seringkali membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Antusiasme rakyat terhadap SI membuat kaum kolonialis khawatir akan timbulnya perlawanan massal di kelak kemudian hari. Tjokro pernah pula memimpin aksi buruh, membuka ruang pengaduan untuk rakyat di rumah dan di kantornya, membela kepentingan kaum kromo lewat pidato dan tulisannya di media pergerakan, mengetuai dibentuknya komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) untuk memertahankan kehormatan Islam, serta memantik rasa kebangsaan Indonesia dengan menggencarkan gagasan soal pemerintahan sendiri untuk orang Indonesia atau zelfbestuur.

Ketakutan pemerintah kolonial terhadap sepak-terjang Tjokroaminoto dan SI membuat mereka terpaksa merangkulnya untuk didudukkan sebagai anggota Volksraad atau Dewan Rakyat. Penunjukan Tjokro itu membuat beberapa golongan di internal SI, terutama dari SI Semarang yang dimotori Semaoen dan Darsono, menentang kebijakan tersebut. Mereka juga tidak sepakat dengan dukungan Tjokroaminoto terhadap rencana pembentukan milisi bumiputera.

Tjokro juga seorang jurnalis. Ia pernah memimpin suratkabar Oetoesan Hindia yang merupakan organ internal SI sekaligus sebagai pemilik usaha percetakan Setia Oesaha di Surabaya. Juga pernah terlibat dalam Bendera Islam bersama Agus Salim, Soekarno, Mr Sartono, Sjahbudin Latief, Mohammad Roem, AM Sangadji, serta aktivis Islam dan nasionalis lainnya. Fadjar Asia pun terbit sebagai suratkabar pembela rakyat berkat kerja kerasnya bersama Agus Salim dan Kartosoewirjo. Tjokroaminoto pun piawai menulis buku, di antaranya adalah dua buku yang diberi judul Tarich Agama Islam serta Islam dan Sosialisme.

Tjokroaminoto menguasai bahasa Jawa, Belanda, Melayu, dan bahasa Inggris. Bahasa Jawa mengandung kelembutan dalam bentuk dan wujudnya, juga dalam pengucapannya. Namun, dalam kata-kata lembut itu, termuat maksud dan isi yang tajam, serta seringkali berupa kiasan atau sindirian yang tak kalah menohok, dan itulah yang sering dilakukan Tjokro untuk “menghabisi” lawan bicaranya.
Tjokroaminoto wafat pada 1934 dan dimakamkan di Pakuncen, Yogyakarta. Ia tak sempat menghirup udara kemerdekaan yang diperjuangkan oleh murid-muridnya, termasuk Soekarno, yang menjadi proklamator.

Tjokro dan Soekarno
Tjokroaminoto tak cuma seorang guru bagi Soekarno. Ia juga menjadi “ayah” bagi Sang Proklamator. Tak cuma ilmu politik dan agama yang didapat Soekarno, ia juga mendapatkan anak gadis Tjokroaminoto yang bernama Utari. Tjokroaminoto mengikhlaskan anaknya untuk mendampingi Soekarno, karena saking sayang dan dekatnya ia kepada Soekarno.

Betapa dekatnya Soekarno dengan Tjokro, diakui Soekarno dalam wawancaranya dengan Cindy Adam yang kemudian dibukukan dalam Soekarno Penyambung Lidah Rakyat. Soekarno saat berguru pada Tjokro, duduk dekat kaki sang guru, mendengarkan intonasi perkataannya dan gerak tangannya, dan itu kemudian dijadikan cermin oleh Soekarno untuk gaya pidatonya sejak menjadi tokoh PNI hingga sebagai presiden. Kelahiran PNI itu sendiri, tak lepas dari pengaruh Tjokro. Tjokro bahkan mengatakan: kalau SI berasaskan Islam, maka perlu ada partai yang berasaskan kebangsaan. Keduanya, Islam nasionalis dan nasionalis Islam, bisa bergandeng tangan sama-sama menentang penjajahan Belanda.

Dari situlah inspirasi Soekarno mendirikan PNI, dan melahirkan ide Marhaenisme. Kemudian, SI dan PNI sama-sama bersikap nonkooperatif dengan Belanda. Sayang, Tjokro tak sempat melihat sepakterjang Soekarno dengan PNI-nya, karena ia wafat pada 17 Desember 1934, dan dua tahun kemudian PNI atau Perserikatan Nasional Indonesia, berdiri. Dalam kongres nasionalnya yang pertama (1928), partai itu laku berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). (Erwyn Kurniawan dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar