GILIRAN SEJARAH PERANG PADERI YANG HENDAK DIREVISI?
Oleh: NasrulAzwar Pengarang : Suryadi
Majalah Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 menurunkan laporan khusus mengenai kontroversi kebrutalan Kaum Paderi yang terjadi dalam perang di dataran tinggi Minangkabau (1803-1837).Kedua penulis, yang kebetulan berasal dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyang mereka selama serangan pasukan Paderi antara 1816-1833 di Tanah Batak yang dipimpin oleh komandan-komandan Paderi seperti Tuanku Rao, Tuanku Lelo, Tuanku Asahan, dll. Dalam kedua buku itu dikatakan pula bahwa Kaum Paderi mengembangkan gerakan Wahabi di Sumatera setelah tiga pendirinya, Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang terpengaruh oleh gerakan itu sewaktu mereka berada di Tanah Arab dan kembali ke Minangkabau tahun 1803. Menurutnya, Tuanku Imam Bonjol tidak pantas diberi gelar pahlawan pejuang kemerdekaan, karena Gerakan Paderi yang dipimpin ulama itu, yang dianggapnya sama dengan Al-Qaeda sekarang, telah menewaskan jutaan orang di Tanah Batak.Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002, yang disunting berdasarkan dua salinan naskahnya yang tersisa di dunia dan kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, yaitu L.Or.1743 dan L.Or.6138). Sejarah juga mencatat bahwa jalan radikal yang dipilih Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya telah menimbulkan friksi di tubuh Kaum Paderi. Golongan moderat yang dipimpin oleh Tuanku Nan Tuo dan Fakih Saghir akhirnya memisahkan diri dari kelompok Tuanku Nan Renceh. Tapi, lepas dari kontroversi di atas, petisi yang hendak mencabut gelar pahlwan nasional yang disandang Tuanku Imam Bonjol adalah isu yang menarik. Bisa-bisa kritik Mady Situmorang terhadap Tuanku Imam Bonjol ini akan menjadi preseden untuk mengkritisi gelar pahlawan nasional yang sudah dianugerahkan kepada para pemimpin lokal lainnya dari berbagai daerah yang di masa lalu sempat berkonfrontasi dengan Belanda, seperti Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Pattimura, dll.idak jarang pula tujuan itu diwujudkan dengan menyerang dan menghabisi penduduk kerajaan-kerajaan tetangganya (misalnya apa yang sering dilakukan Gowa dan Ternate terhadap Buton dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di wilayah Indonesia Timur pada abad ke-17 dan 18). Bahwa kemudian mereka berhadapan dengan Belanda itu adalah karena sebagai penguasa lokal mereka merasa terancam dari segi politik, ekonomi, maupun hegemoni, oleh kedatangan orang-orang putih tinggi yang panjang akal dari Eropa itu, selain bahwa memang penguasa-penguasa kerajaan kecil yang ditindas oleh tangganya yang lebih kuat itu minta pertolongan kepada Belanda. Demikianalah umpamanya, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa Gerakan Paderi adalah perjuangan untuk keindonesiaan jika dalam pasukan kavaleri Belanda yang pengepung Bonjol sejak tahun 1836 terdapat ratusan orang Ambon dan Jawa dan malah beberapa orang di antaranya menduduki jabatan yang cukup tinggi (komandan pasukan, misalnya), seperti dapat dibaca dalam laporan rinci empat sumber pertama (bronnen) yang merekam pergerakan pasukan Belanda mengepung Kaum Paderi di Bonjol selama bulan-bulan terakhir sebelum benteng terakhir Kaum Paderi itu jatuh ke tangan Belanda pada pertengahan Agustus 1837 dalam buku G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar