MEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK SEJAK USIA
DINI
Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman [31]: 13)
Muqaddimah
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBHI) terbitan Departemen Pendidikan Nasional
disebutkan, prinsip adalah kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir dan
bertindak. Prinsip diri berarti karakter diri yang menjadi daya gerak seseorang
guna mencapai keberhasilan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Bagaimana seseorang berperasaan, berpikir, dan bertindak semua itu terkait
dengan prinsip diri yang dimiliki.
Di zaman
sekarang, prinsip diri belum menjadi perhatian utama orangtua maupun para pendidik
di sekolah atau pesantren. Terbukti anak-anak sekarang meskipun sudah memasuki
usia aqil baligh, ketika melaksanakan ibadah shalat masih bercanda dan
main-main.
Shalat belum
mampu mencegah mereka meninggalkan ucapan jorok, menipu, berbohong, tawuran antar
pelajar dan meninggalkan perbuatan dosa lainnya. Hal ini berlanjut hingga sang
anak tumbuh dewasa.
Padahal secara
fikih, sejak orang menginjak usia baligh, setiap pelanggaran atas syariat akan
berdampak buruk bagi pelakunya (berdosa) dan setiap perbuatan baik juga
mendapat balasan pahala pula.
Persoalannya,
bagaimana mendidik anak-anak agar memiliki prinsip diri yang tangguh. Nah, ada
beberapa pelajaran yang bisa kita petik dalam surah Luqman di atas tentang cara
menanamkan prinsip diri pada anak:
1. Menanamkan Tauhid
Prinsip diri
paling utama yang harus ditanam pada seorang anak adalah menjadikan Allah
Subhanahu wa Ta’ala (SWT) sebagai satu-satunya yang paling diistimewakan dalam
hidupnya. Allahlah satu-satunya tempat bergantung. Kemanapun ia berada, selalu
bersama Allah Yang Maha Mengawasi. Inilah pelajaran pertama dalam syariat
Islam, yang menyelamatkan siapa saja bagi yang mengamalkan. Tak cukup hanya
dengan teori, tapi indikasinya terlihat dari prinsip hidup yang menampakkan
seorang anak didik itu ber-Tuhankan Allah. Jika prinsip ini sudah
mendarah-daging, niscaya ia selalu berkata benar dan memperjuangkan kebenaran.
2. Mendidik Anak Memiliki Jiwa
Syukur
Agar anak
memiliki jiwa bersyukur, perlu ada teladan. Sebab, pendidikan yang terbaik
adalah contoh. Tak sekedar berucap “Alhamdulillah,” namun dengan mewujudkannya
dalam tindakan nyata. Anak yang bersyukur merupakan anak yang sadar bahwa ia
telah menerima suatu pemberian. Lalu ia membalasnya dengan aktif dan semangat
belajar dan bekerja. Bahkan bersyukur adalah salah satu cara berdoa agar diberi
tambahan nikmat.
3. Mengajarkan Kemampuan
Kontrol Diri
Berhati-hati
dalam hidup, tak boleh sembrono, tidak pula sembarang berbuat karena memang
bukan anak sembarangan. Setiap perasaan, pikiran dan tindakan -baik maupun
buruk- akan kembali kepada diri sendiri. Semuanya akan dimintai
pertanggungjawaban. Tak ada yang luput dari pantauan catatan malaikat. Sikap
ihsan seperti ini mampu melahirkan perasaan selalu bersama Allah SWT. Sehingga
lahirlah pribadi jujur dan akhlak yang baik.
“(Luqman
berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui” (Luqman [31]: 16).
4. Mendidik Shalat Berjamaah
Shalat
bukanlah tujuan, tapi sebagai latihan agar selalu mengingat Allah SWT. Dengan
banyak mengingat-Nya (zikir), anak memiliki jiwa besar dalam menghadapi masalah
dalam hidup. Orangtua dan sekolah hendaklah menjadikan waktu shalat sebagai
program kegiatan yang diutamakan. Bila shalat dilaksanakan dengan baik dan
benar, akan tertanam dalam jiwa perasaan selalu butuh kepada Allah SWT.
Menjadikan Allah SWT sebagai sumber ilmu, sumber kebaikan dan kesuksesan.
Perasaan butuh
kepada Allah SWT dengan mengagungkan-Nya melalui shalat akan menggerakkan jiwa
sang anak senang kepada kebaikan dan bertindak menghindari perbuatan tercela.
Bahkan kemudian dengan dorongan imannya akan mencegah kemunkaran yang terjadi.
Kesadaran anak mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran tentu
membutuhkan kesabaran luar biasa. Oleh karena itu, shalat juga berfungsi
sebagai sarana menanamkan kesabaran.
5. Mendidik Anak Bersikap
Hidup Sederhana
“Wa iqshid”
berasal dari kata “qashada” yang berarti menuju. Bentukan yang lain
adalah “iqtashada-yaqtashidu”. Kata “iqtishad” sering diartikan
sederhana atau ekonomi. Karena itu, orang yang secara ekonomi berkecukupan
haruslah tetap dalam kesederhanaan. Selalu waspada terhadap rayuan materi,
kedudukan maupun popularitas. Sikap membangga-banggakan diri, sombong, dan
angkuh adalah sifat tidak terpuji. Bagaimanapun banyaknya harta, luasnya ilmu,
sekolah atau jabatan yang tinggi, tapi kesederhanaan adalah prinsip diri.
Itulah generasi unggulan standar
al-Qur’an. Generasi pilihan yang akan membangun peradaban Islam pada zamannya.
Al-Qur’an memerintahkan kita mencontoh Luqman agar memberikan dasar-dasar atau
intisari materi pelajaran yang seharusnya menjadi karakter dasar anak didik.
Karenanya,
bagi orangtua yang ingin menyekolahkan anak-anaknya layak menjadikan standar
al-Qur’an ini sebagai pedoman memilih sekolah. Apakah kelima materi pelajaran
tersebut telah “hidup” pada diri para pendidik di sekolah yang akan dipilih?
Sebab, merekalah orang kedua setelah orangtua yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukan karakter anak-anak kita. Memilih sekolah bukanlah dilihat pada
mewah dan lengkapnya infrastuktur, bukan pula pada gebyar sekolah itu yang
sering dilaksanakan. Bukan pula kunjungan pejabat ataupun nilai akreditasi
sekolah yang diperoleh.
Untuk para
orangtua hendaklah mendidik anak-anak di rumah dengan standard al-Qur’an.
Sebab, kita semua menginginkan anak-anak menjadi pribadi saleh dan salehah
serta berbakti kepada kedua orangtuanya. Namun, pendidikan yang utama dan
terbaik adalah teladan. Teladan kesalehan seluruh anggota keluarga di rumah dan
teladan dari guru-gurunya di sekolah maupun lingkungannya. Wallahu a’lam. Diadopsi
dari SUARA HIDAYATULLAH/Abu Awwab,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar