HUBUNGAN ANTARA ACEH DENGAN KHILAFAH TURKI UTSMANI: TINJAUAN HISTORIS *
Oleh: Hasan Basri al-Mardawy
Selama ini, kajian tentang sejarah hubungan Aceh-Turki jarang sekali ditemukan dalam buku-buku sejarah yang dipelajari baik di tingkat sekolah menengah maupun di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Sulit dibayangkan, mengapa sejarah yang begitu agung dalam percaturan dunia politik dan peradaban luput dari perhatian para pemimpin bangsa ini, hilang ditelan zaman; atau mungkin sengaja dihilangkan dari lembaran sejarah bangsa Indonesia agar Aceh tidak lagi menonjol seperti masa silam atau segera dilupakan orang tentang zaman keemasan dan perannya dalam perjuangan bangsa.
Barangkali kinilah saatnya bagi kita untuk menelusuri kembali kisah lama tentang keperkasaan Aceh sebagai sebuah kerajaan (baca: kesultanan) yang pernah eksis di bumi Nusantara, yang dicatat dalam lembaran sejarah oleh para peneliti asing yang tidak bersikap apriori atau tendensius terhadap kemajuan, kejayaan, dan kontribusi Aceh kepada kelangsungan bangsa Indonesia. Bahkan, pada tataran dunia, Aceh pernah menjadi salah satu kerajaan di antara lima kerajaan besar di dunia. Maka, tidak salah kalau dalam forum seminar semacam ini, sejarah Aceh dan perannya dalam panggung politik internasional ditampilkan sebagai pembuka wawasan dan pembangkit semangat menuju masa depan. Karena keterbatasn ruang dan waktu, maka kajian ini dibatasi pada hubungan Aceh dan Turki Utsmani antara abad ke-16 dan 17.
Turki Utsmani: Khilafah yang Tangguh
Pendiri dinasti ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian ke Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10, yaitu ketika mereka menetap di Asia Tengah. Karena tekanan serangan Mongol pada abad ke-13, kemudian mereka melarikan diri mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk di Dataran Tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka membina wilayah baru dan memilih kota Syukud sebagai ibukota.
Setelah Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289, kepemimpinan dilanjutkan oleh puteranya, Utsman. Putera Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Turki Utsmani. Utsman memerintah antara tahun 1290 dan 1326. Seterusnya, kerajaan Utsmani dipimpin secara turun temurun oleh keluarga besarnya, yang dikenal Padisyah al-Utsman. Dalam perjalanannya, kerajaan ini mengalami pasang surut, kemajuan dan kemunduran dengan tantangan tanpa henti. Namun, kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Utsmani berlangsung demikian cepat. Kemajuan penting mencakup bidang kemiliteran, pemerintahan (politik), bidang ilmu pengetahuan dan budaya, dan bidang keagamaan.
Mengenai kekuatan militer kerajaan Utsmani mulai dibenahi dengan baik dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Ketika itu pasukan tempur yang handal sudah terorganisasi sehingga strategi dan taktik tempur militer Utsmani berjalan tanpa hambatan berarti. Bahkan, pada tahap berikutnya, kerajaan Utsmani membentuk pasukan elit yang disebut pasukan Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah negara Utsmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat signifikan dalam penaklukan negeri-negeri kafir (non-muslim). Selain itu, terdapat tentara atau militer handal, Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi dengan baik untuk memperlancar proses ekspansi Turki Utsmani. Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Utsmani mencapai puncak kejayaannya. Kekuatan militer Turki Utsmani yang tangguh itu dengan cepat dapat menguasai wilayah yang amat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Pada saat-saat kejayaan Turki Utsmani inilah, Kesultanan Aceh menjalin hubungan yang erat, dalam rangka melawan dominasi penjajah di kawasan Nusantara.
Aceh di Pentas Politik Internasional
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa pada abad ke-16 dan 17, Kesultanan Aceh Darussalam benar-benar menjadi pusat percaturan politik dan ekonomi yang meliputi kawasan Nusantara dan mancanegara, seperti Tiongkok, Korea, Amerika, Eropah, Timur Tengah, India, Afrika, dan Turki. Pada masa itu, Banda Aceh Darussalam sebagai kota yang sangat dinamis dengan berbagai aktivitas konstruktif yang tidak saja menyangkut politik dan ekonomi, tetapi juga peradaban (ilmu dan kebudayaan) dan militer. Aktivitas-aktivitas ini menjadi pusat perhatian negara-negara lain untuk berkunjung ke Aceh, dan bahkan menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Aceh.
Untuk menangani kegiatan-kegiatan tersebut, menurut Mohammad Said, di Banda Aceh Darussalam dibentuk lembaga yang bernama Balai Badul Muluk yang dipimpin oleh seorang menteri yang bergelar Wazir Sultan Badlul Muluk. Pada tataran kenegaraan, Sultan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah menyusun dasar-dasar politik luar negeri yang harus dijalankan oleh Balai Badul Muluk (Kementerian Luar Negeri), sebagai berikut:
1. Tidak menggantungkan nasib, ekonomi, kepada luar negeri.
2. Bersahabat erat dengan negara-negara Islam di Nusantara (Indonesia), India, Arab, Malaya, dan Turki.
3. Selalu waspada terhadap negara-negara Barat yang mempunyai nafsu penjajahan; dan sebaliknya bersahabat dengan negara-negara yang ingin hidup damai.
4. Bantuan luar negeri lebih diutamakan dalam bentuk tenaga ahli.
5. Perluasan dakwah Islamiyah ke seluruh kepulauan Nusantara.
Dalam percaturan politik antar negara, Kerajaan Aceh Darussalam dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan nyata di rantau Asia Tenggara, baik politik, ekonomi maupun militer. Pada saat kekuatan imperialis Barat telah mematahkan kekuatan sebagian besar negara-negara Islam lain, pada saat itulah, yakni pada permulaan abad ke-16, lahirlah “Lima Besar Kerajaan Islam” yang menggalang kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan. Secara historis, tulis Wilfred Cantwell Smith dalam Islam in the Modern History, Kerajaan Aceh Darussalam termasuk dalam Lima Besar Kerajaan Islam di dunia, yaitu:
1. Kerajaan Islam Turki Utsmani di Istanbul.
2. Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara.
3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4. Kerajaan Islam Mughal di India.
5. Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
Sebagai salah satu dari Lima Besar Kerajaan Islam, Kerajaan Aceh Darussalam menjalankan politik luar negerinya dengan berpedoman pada empat macam diplomasi yang dianutnya:
1. Diplomasi Kancil, kemudian dikenal dengan “tipee Aceh” (tipu Aceh) di dunia internasional.
2. Diplomasi Meubison, yaitu “perkawinan agung” antar negara.
3. Diplomasi Ekonomi, yaitu diplomasi yang didasarkan pada kekuatan ekonomi untuk mendapat pengaruh dan mencapai tujuan politik.
4. Diplomasi Militer, yakni diplomasi dengan mengandalkan pada kekuatan senjata atau militer.
Keempat macam diplomasi ini dipergunakan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjalankan lima pasal program politik luar negerinya, yaitu:
1. Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan yang berbatasan dengan Selat Malaka serta menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri itu sehingga tidak mungkin terjadi “divide et impera” oleh negara asing.
2. Menaklukkan Johor supaya tidak dapat lagi ditunggangi oleh Portugis dan Belanda.
3. Menaklukkan negeri sebelah Timur Malaya, seperti Pahang dan Patani, yang merugikan pedagang Aceh.
4. Mengalahkan Potugis dan merebut Malaka.
5. Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor dengan jalan memusatkan pelabuhan Samudra ke satu Pelabuhan Aceh dan mengadakan pengawasan secara intensif sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan.
Kelima kebijakan politik tersebut ditempuh untuk menghadapi bahaya agresi yang haus jajahan dari Portugis, Belanda, dan Inggris. Berdasarkan lima kebijakan inilah Sultan Iskandar Muda, kemudian, dapat memukul mundur Portugis yang bercokol di sepanjang Selat Malaka. Tentu saja, Sultan Iskandar Muda dalam menghadapi Portugis, Belanda, dan Inggris tidak sendiri, tetapi dibantu oleh negara-negara Islam pada masa itu, antar lain, Turki yang secara aktif menopang dalam bidang persenjataan dan kemiliteran.
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani: Fakta Sejarah
Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Dinasti Turki Utsmaniyah bermula ketika Sultan Turki membantu Aceh dalam mengusir bangsa Portugis dari pendudukan baru mereka di Pidie (1521) dan Pase (1524). Kemudian, Sultan Aceh, Alaiddin Riayat Syah al-Kahhar (1537-1571), mengambil langkah formal untuk tunduk secara sukarela pada kekuasaan Dinasti Turki Utsmaniyah sebagai balasan atas bantuan militer yang diberikan oleh Utsmaniyah. Menurut Voorhoeve, seperti dikutip Azyumardi Azra, dokumen Turki menyebutkan bahwa Alaiddin Riayat Syah mengirimkan seorang utusan ke Konstantinopel pada tahun 1523 untuk meminta bantuan guna melawan Portugis, yang setelah diusir dari Pase kemudian menduduki Malaka, dan mengatakan bahwa sejumlah penguasa kafir di Asia Tenggara telah berjanji akan memeluk agama Islam jika Dinasti Utsmaniyah membantu mereka.
Untuk mempercepat mendapat bantuan, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Turki. Turki pada masa itu berada dalam masa kejayaan di bawah pimpinan Sultan Sulaiman. Utusan dari Aceh harus menunggu dua tahun di Istanbul sebelum sebuah ekspedisi laut dikirim di bawah komando Laksamana Suez, Kurdoghlu Kizir Reis, yang terdiri dari sembilan belas kapal dan beberapa kapal lain lengkap dengan persenjataan, makanan, dan sebagainya. Namun, ekspedisi ini berubah haluan menuju ke Yaman untuk mengatasi pemberontakan di sana. Selanjutnya, dua kapal dengan makanan dan sejumlah penasihat militer dikirim ke Aceh. Setiba di Aceh, mereka diterima oleh Sultan dengan penuh suka cita dan tinggal di sana. Sampai sekarang sisa perkampungan Turki di Aceh masih ada dan kuburan mereka pun tetap terpelihara, yang dikenal dengan perkuburan Teungku Chik Di Bitai, terletak di desa Surin sekitar 2 kilometer dari kota Banda Aceh). Hubungan ini kemudian diabadikan dalam bendera merah bulan sabit Turki Utsmani, yang berbeda dengan bendera yang digunakan Sultan Aceh, dan meriam besar untuk menjaga pusat kesultanan di ibukota Banda Aceh. Pemberian ini selalu dikenang oleh rakyat Aceh sebagai hadiah yang sangat berharga dari Khalifah Islam Turki. Jalinan persaudaraan masa silam tetap terjalin sampai sekarang, terutama ditunjukkan oleh bangsa Turki sebagai solidaritas yang sangat tinggi terhadap rakyat Aceh setelah terjadi bencana besar, gempa bumi dan gelombang tsunami tanggal 26 Desember 2004. Muslim Turki sampai saat ini masih tetap tinggal di Aceh, dengan membangun sarana pendidikan dan tempat-tempat ibadah yang megah dengan gaya artistik Istanbul.
Tidak sedikit meriam yang dikirim ke Aceh oleh Khalifah Turki yang sampai saat ini masih tersimpan di mesium Aceh dan sebagian dipajang di depan Pendopo Gubernur Aceh. Dan meriam ukuran yang paling besar (panjangnya mencapai 12 meter) diboyong Belanda ke negerinya, yang disimpan di sebuah mesium di negeri Kincir Angin itu. Selain hadiah, sebagian meriam tersebut sengaja dibeli oleh Sultan atas nama rakyat Aceh dengan harga yang mahal, sehingga di Aceh dikenal dengan istilah “meriam lada sicupak”, yaitu meriam yang dibeli atau ditukar dengan harga lada yang sangat mahal pada waktu itu. Tidak mengherankan jika kemudian di Aceh lahir ahli-ahli senjata yang mampu merakit bom dan membuat meriam. Sebagai kaderisasi tenaga ahli bidang persenjataan dan militer, di Jami’ah Baiturrahman Banda Aceh dibuka fakultas Ilmu Peperangan (Darul Harb), di samping fakultas-fakultas lain.
Sebelum munculnya kesultanan Aceh, kawasan utara Sumatra merupakan kedudukan beberapa kerajaan Islam, yang paling penting adalah Kerajaan Peureulak dan Kesultanan Pase yang keduanya terletak di ujung timur laut Sumatra. Marco Polo yang mengunjungi Peureulak pada 1292 memberikan bukti pertama tentang sebuah Kesultanan Islam di Asia Tenggara. Kerajaan awal lainnya adalah Pase, digambarkan sebagai suatu pusat penting penyebaran Islam di Nusantara. Kesultanan Aceh, yang mulanya bukan merupakan kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughaiyat Syah (w. 1530?) berhasil mempersatukan berbagai kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatra menjelang awal abad ke-16.
Selanjutnya, Aceh meraih kejayaan politiknya, baik secara internal maupun eksternal, di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang brilian dan perkasa (1607-1637). Kontrol kerajaan sangat efektif atas seluruh pelabuhan penting di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Aceh mendominasi perdagangan di utara dan barat Sumatra, Selat Malaka. Selain itu, Aceh melakukan kontrol atau paling tidak penguasaan atas bagian-bagian tertentu Semenanjung Malaya, yakni Pahang, Kedah, dan Perlis. Dengan bantuan penasehat-penasehat militer, senjata, dan amunisi dari Turki, Kesultanan Aceh mampu melancarkan serangan yang beruntun atas benteng Portugis di Malaka.
Setelah wafat Sultan Iskandar Muda, kekuasaan Kesultanan Aceh mulai surut. Selama lebih dari setengah abad (1614-1699), Aceh diperintah oleh sultan wanita secara berturut-turut. Selama waktu itu, kekuasaan yang efektif dipegang oleh uleebalang (kepala-kepala daerah). Sementara itu, Kesultanan Aceh tereduksi menjadi sebuah simbol. Waktu dan jarak juga telah menghapus substansi pengakuan Aceh sebagai vassal (bagian wilayah kekuasaan) Dinasti Turki Utsmaniyah meskipun ikatan sentimental tidak pernah mati di hati orang-orang Aceh.
Pada paruh kedua abad ke-18, perusahaan Hindia Inggris yang berpusat di India mulai mengendus Aceh sebagai basis yang sangat mungkin untuk mengumpulkan produk-produk Indonesia dan mengirimkan armada Hindia Inggris selama musim angin timur. Setelah serangkaian tawaran Inggris sejak 1762 ditolak mentah-mentah Kesultanan Aceh, akhirnya perjanjian pertahanan antara kedua pihak ditandatangani pada 22 April 1819 di Banda Aceh. Perjanjian itu memperkuat dominasi Inggris atas perdagangan yang menguntungkan di sepanjang Selat Malaka. Hal ini membuat persaingan politik dan dagang antara Inggris dan Belanda semakin meningkat. Setelah negosiasi panjang, Perjanjian London pada 17 Maret 1824 ditandatangani Inggris dan Belanda. Menurut perjanjian tersebut, Belanda tidak akan memperluas kekuasaannya di Hindia Belanda sampai ke Aceh dan akan menjamin kebebasan perdagangan khususnya di sepanjang Selat Malaka.
Namun jelas bahwa konflik kepentingan antara dua kekuatan Eropa itu sama sekali tidak dapat diatasi perjanjian. Belanda, karena kebutuhan mendesak akan pendapatan, tidak dapat memberikan toleransi terhadap supremasi dagang Inggris yang terus berlanjut atas daerah-daerah yang dianggap Belanda termasuk ke dalam kekuasaannya. Karena itu, Belanda berupaya merevisi Perjanjian London dan akhirnya berhasil merevisi perjanjian tersebut; kemudian ditandatanganilah sebuah perjanjian baru antara Belanda dan Inggris pada 1871 yang membebaskan Belanda dari janji mereka untuk tidak memperluas kekuasaan terhadap Aceh.
Pada saat kedua kekuatan kolonial itu seolah-olah seenaknya menentukan nasib Aceh, Kesultanan Aceh pada waktu itu sedang diperintah oleh Tuanku Ibrahim (1838-1870) yang bergelar Sultan Ali Alaiddin Manshur Syah. Di tangan Sultan Ibrahim, Kesultanan Aceh kembali menjadi kekuatan aktual yang berupaya menegakkan otoritasnya atas seluruh kawasan utara Sumatra. Menurut sumber-sumber Belanda, dia mengirim Sidi Muhammad sebagai Duta Besar Aceh ke Pelabuhan Istanbul (Sublime Porte) pada 1850-1851 untuk meminta Utsmaniyah kembali mengakui Aceh sebagai vassal dari Dinasti Turki Utsmaniyah. Sultan Abdul Majid memenuhi permintaan itu dengan menerbitkan dua firman (keputusan Sultan Turki): pertama, memperbarui perlindungan Turki atas Aceh; dan kedua, menegaskan bahwa Sultan Ibrahim berada dalam status sah pada kesultanannya. Selanjutnya, Gubernur Turki Utsmaniyah di Yaman diperintahkan penguasa Turki Utsmaniyah untuk mengurus kepentingan Aceh. Beberapa tahun kemudian, Sultan Ibrahim mengirim uang sejumlah $10,000 ke Istanbul untuk membantu biaya perang Turki di Crimea. Penguasa Turki Utsmaniyah membalas pemberian dana itu dengan tanda jasa Mejidie bagi Sultan Aceh.
Sejauh menyangkut sejarah Islam di Nusantara, Kesultanan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Aceh adalah kekuatan pribumi utama di dalam menolak ekspansi kolonialisme Belanda dan menjadi bagian paling akhir dari Indonesia yang ditaklukkan Belanda. Pada 1873, Belanda secara tergesa-gesa menerjunkan diri ke dalam peperangan melawan Aceh. Ia merupakan salah satu perang kolonial paling desktruktif yang pernah dilakukan Belanda di Hindia Belanda yang hampir menyedot habis ekonomi Hindia Belanda selama sekitar 30 tahun.
Sejarah panjang Aceh sebagai sebuah negara independen, menurut Azyumardi Azra, merupakan sumber kebanggaan mereka yang mampu memotivasi semangat penolakan yang keras terhadap kekuatan kolonial. Terkenal dengan kepenganutan yang kuat pada Islam, rakyat Aceh kelihatannya mengaitkan agama dan patriotisme lebih erat dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya di Indonesia. Karena itu, perang gerilya yang berlangsung lebih dari tiga dekade dipandang sebagai perang suci oleh rakyat Aceh.
Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Dinasti Turki Utsmaniyah tampak unik karena Aceh, secara geografis, sangat jauh dari Turki. Namun, Islam sebagai agama rakyat telah mempersatukan perasaan mereka. Dalam hal apa pun, hubungan itu mengungkapkan kenyataan tentang adanya sentimen kuat kaum Muslimin terhadap “kekhalifahan universal”. Tetapi, kegagalan Dinasti Utsmaniyah mengulurkan bantuan substansial kepada rakyat Aceh, yang tengah berada dalam keadaan bahaya serangan Belanda, menegaskan semakin merosotnya Kesultanan Turki di tengah-tengah tumbuhnya kekejaman Barat terhadap kaum Muslimin di hampir setiap bagian dunia. Gagasan kaum Muslimin mengenai pan-Islamisme dan “kekhalifahan Islam” pada gilirannya dan, pada kenyataannya, tidak lebih dari retorika belaka.
Keberanian dan keteguhan rakyat Aceh mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perjuangan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan mereka dari kekuasaan kolonial. Penolakan rakyat Aceh telah menjadi sebuah daya dorong yang penting bagi semakin tumbuhnya sentimen kaum nasionalis di Indonesia. Kekalahan Aceh pada dekade kedua abad ke-20 membuat masyarakat Indonesia secara keseluruhan menyadari bahwa mereka tidak akan mampu memperoleh kemerdekaan kecuali jika mempersatukan segenap upaya mereka.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Aceh dalam perjalanannya telah menuai kesuksesan yang luar biasa baik di tingkat regional maupun internasional melalui perjuangan tanpa henti.
- Keberadaan Aceh sebagai sebuah kerajaan (kesultanan), telah membuka jalan bagi dunia untuk menjalin hubungan diplomtik dan sekaligus kerjasama dalam bidang perdagangan dan politik.
- Aceh telah berperan aktif dalam mengusir bangsa Portugis di Selat Malaka. Dalam pengusiran ini tanpa dapat dilupakan peran Turki Utsmani yang amat penting dalam bentuk bantuan dana, senjata, dan militer.
- Hubungan Aceh dan Turki telah terjalin semenjak abad ke-15. Secara emosional Turki tetap mengakui bersaudara dengan rakyat Aceh. Bukti persaudaraan ini diwujudkan kembali pasca tsunami di Aceh pada penghujung tahun 2004 lalu.
- Hubungan kerjasama dijalin dengan negara Islam dalam bentuk persadaraan seiman seagama, ukhuwah Islamiyah universal, dan bersatau melawan penjajahan dari golongan kafir. Semangat ini didorong oleh semangat jihad fi sabilillah dan solidaritas khilafah yang mapan dan berwibawa.
- Tanpa menafikan peran penting para pejuang yang lain, Aceh telah memberikan kontribusi besar dalam mempercepat kemerdekaan Indonesia dan menopang eksistensi negara Indonesia pasca kemerdekaan.
Rujukan
Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002.
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Reid, Anthony, The Contest of North Sumatra, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969.
------. The Blood of The People, Kuala Lumpur dan New York: Oxford University Press, 1979.
Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Penerbit Waspada, 1980.
Siegel, James, The Rope of God, Barkeley dan Los Angeles: University of California, 1969.
Sjamsuddin, Nazaruddin, Revolusi di Serambi Mekah, Jakarta: UI-Press, 1999.
Suny, Ismail, Bunga Rampai tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani, Jakarta: Kalam Mulia, 1988.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
* Makalah disampaikan pada seminar dengan tema “Aceh, Nusantara, dan Khilafah Islamiyah”, yang diadakan oleh TIM Cabang Ciputat, BDK HTI UIN, dan IMAPA Cabang Ciputat tanggal 28 Maret 2007 di Meunasah Fatahillah Ciputat. Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Alumnus Universitas Leiden, Nederland, peserta program S3 pada Program Pascasarhana UIN Jakarta, dan Direktur Yayasan Shabrun Jamil Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar