Rabu, 05 September 2018

1

DAYAH JEUMALA AMAL: PERAN DAN KONTRIBUSINYA DALAM TRANSFORMASI PENDIDIKAN DAN REKONSTRUKSI PERADABAN
Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA

“No understanding of the Islamic sciences is possible without a comprehension of Islam itself, the life-giving force of a vast civilization one of whose fruits is the sciences. These sciences did not come into being accidentally among people who happened to be Muslim but were produced in the form that they were produced because those who brought them into being were Muslims and breathed within an Islamic universe ... No serious study of the Islamic sciences can thus be carried out without some reference, no matter how brief, to the principles of Islam and the conditions created in time and space by Islam for cultivation of the sciences.”

Proposisi di atas dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr (1975: 3) yang menegaskan bahwa Islam telah memberikan kontribusi ilmu pengetahuan dan peradaban yang signifikan kepada dunia. Karena itu, peradaban Islam tidak dapat dipahami tanpa mengetahui Islam itu sendiri, sebagai kekuatan yang memberikan kehidupan. Islam telah menumbuhkembangkan peradaban besar yang menghasilkan sains. Tentu saja, sains ini tidak muncul begitu saja di kalangan masyarakat yang kebetulan beragama Islam, tetapi sains itu lahir karena umat Islam memegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang universal. Karena itu, studi secara serius mengenai sains Islam tak dapat dilakukan tanpa merujuk, betapa pun kecilnya, kepada prinsip-prinsip Islam dan kondisi-kondisi yang diciptakan oleh Islam dalam waktu dan ruang untuk kultivasi sains.
Dengan demikian, Islam memotivasi manusia untuk mengembangkan sains dan teknologi. Ini berarti bahwa Islam sejak kehadirannya telah memberikan peluang emas kepada umatnya untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal. Bahkan, setiap orang Islam yang berupaya mencari ilmu pengetahuan dinilai sebagai proses menempuh jalan ke surga. Semangat ini diilhami oleh wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perintah membaca dan menulis (al-„Alaq/96: 1-5). Membaca dan menulis merupakan gerbang ilmu pengetahuan yang paling penting. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui membaca dan menulis. Sedangkan pengembangannya dapat dilakukan melalui penelitian dan pengamalan. Ilmu yang diamalkan akan mendapat hikmah dan keberkatan serta diberikan pahala. Dalam konteks ini, ilmu dalam pandangan Islam memiliki dua dimensi: dimensi duniawi (material) dan dimensi ukhrawi (spiritual).
 Penulis adalah alumnus Universitas Leiden, Nederland. Sekarang sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan; dosen pada Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh; dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama di IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa.

2
Secara epistemologi, sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah al-Qur‟an. Di dalam al-Qur‟an terkandung sistem yang mengatur kehidupan manusia dan sekaligus menjadi tuntunan dan petunjuk untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Di samping itu, al-Qur‟an juga mengandung motivasi untuk meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Meskipun dalam al-Qur‟an tidak disebutkan aspek ilmu pengetahuan secara detail, melainkan secara global, tugas manusialah untuk menemukan spesifikasinya. Karena, al-Qur‟an yang hanya terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.236 ayat tidak mungkin menjelaskan suatu persoalan secara rinci. Dalam kaitan ini, al-Qur‟an mengemukakan prinsip-prinsip kehidupan dalam tiga dimensi waktu: masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dalam tiga dimensi waktu itulah manusia dituntut agar bergerak secara dinamis dan harmonis dengan menggunakan daya nalar secara optimal. Maka untuk itu, manusia, khususnya umat Islam, diperintahkan untuk mengkaji dan mempelajari secara cermat fenomena alam ini. Fenomena alam merupakan manifestasi kemahakuasaan dan keagungan Allah, atau lazim disebut dengan istilah ayat-ayat kauniyah. Manusia, dalam banyak ayat al-Qur‟an, dianjurkan untuk berpikir (tafakkur) dan merenungi (tadabbur) eksistensi Allah beserta kreasi-Nya; bahkan mengadakan eksplorasi dan investigasi di jagat raya. Dari aktivitas ini manusia kemudian menemukan teori-teori baru yang dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
Dayah: Antara Tradisi dan Modernisasi
Dayah (di Jawa dikenal dengan sebutan pesantren atau pondok pesantren), menurut catatan pakar pendidikan, merupakan lembaga pendidikan paling awal di Nusantara. Peran dan fungsi dayah dalam pembelajaran sosial telah menunjukkan prestasi yang patut dibanggakan pada masa lalu. Tidak sedikit ulama lahir sebagai hasil pembelajaran dari dayah yang berlangsung secara berkesinambungan sampai kini. Dalam konteks Aceh, dayah tidak saja sebagai pusat pendidikan Islam tetapi juga sebagai pusat dakwah dan pemberdayaan sosial yang amat penting. Sebagai pusat pendidikan, dayah merupakan pusat transformasi dan transmisi ilmu dari generasi ke generasi. Sebagai pusat dakwah, dayah telah menjadi pusat penyiaran agama kepada publik, sehingga kehadiran dayah benar-benar menyatu dengan kehidupan masyarakat. Dalam perkembangannya, dayah juga telah menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat, meskipun belum maksimal.
Dalam empat dekade terakhir, di Aceh muncul model pendidikan dayah terpadu sebagai penyeimbang dayah tradisional yang sudah lama eksis di Aceh. Model pendidikan dayah terpadu atau biasa disebut dengan istilah Islamic Boarding School atau Integrated-Islamic Education telah memberikan “warna baru” dalam sistem pendidikan di Aceh pada umumnya. Tanpa kecuali, Dayah Jeumala Amal yang merupakan model pendidikan dayah terpadu sudah berjalan selama tiga dekade dengan sejumlah prestasi yang diraihnya; dan bahkan telah memberikan kontribusi nyata dalam transformasi pendidikan baik di tingkat regional maupun nasional. Peran dan dedikasinya untuk mencerdaskan umat (secara nasional dikenal anak bangsa) tidak diragukan; bahkan sebagian alumninya mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional. Hal ini dapat dilihat pada keberhasilan alumni berprestasi yang mampu berbahasa asing, bahasa Arab

3
dan Inggris sehingga sukses menembus universitas-universitas ternama baik di dalam maupun diluar negeri untuk melanjutkan studi mereka. Ini adalah prestasi yang sangat membanggakan meskipun proses pendidikan tidak pernah selesai dan bahkan dituntut adanya peningkatan kualitas output dan outcome dari masa ke masa. Namun, patut diapresiasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat bahwa dalam kurun waktu 30 tahun, Dayah Jeumala Amal sudah mampu melahirkan kader-kader ulama/ilmuwan untuk masa depan agama, negara, dan bangsa.
Dalam pada itu, ada dua tradisi dayah yang sudah mengakar dalam sistem pembelajarannya: pertama, pola pendekatan yang mengembangkan metode pembelajaran yang lentur dan luwes dalam melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan. Terbukti dalam sejarah, dayah mampu menjadi lembaga pemersatu dan bersama masyarakat terus bertransformasi. Kedua, tradisi keilmuan yang integral, yaitu mempelajari suatu ilmu yang saling terkait dengan ilmu-ilmu lain atau lazim disebut integrasi-interkoneksi. Tradisi ini dapat dikembangkan terus sehingga tidak ada lagi dikhotomi ilmu dalam tradisi keilmuan Islam. Dengan demikian, dayah akan menjadi pelopor Islamisasi ilmu sehingga tidak ditemukan lagi perbedaan atau garis pemisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Dan ketiga, arah pendidikan dayah adalah tafaqquh fiddin (memahami ajaran agama secara mendalam) sehingga melahirkan ulama-ulama yang handal dalam berbagai disiplin ilmu. Semangat keilmuan dayah dilandasi semangat keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian.
Sebagai pelopor sistem pendidikan Islam terpadu, meskipun bukan yang pertama, Dayah Jeumala Amal telah berperan aktif dalam mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan integralistik yang mencoba melakukan rekonsiliasi antara pendidikan agama dan umum secara klasikal dengan metode modern. Secara historis, memang, umat Islam sudah lama terpasung dalam dikhotomi sistem pendidikan sebagai akibat propaganda kolonialisme, ketika Barat mendominasi dan menguasai negara-nagara Muslim. Tanpa dapat dielakkan umat Islam terpengaruh dengan jargon pemisahan dan pembedaan antara “ilmu umum” dan “ilmu agama” atau “pendidikan umum” dan “pendidikan agama.” Pendidikan umum dianggap sekular dan “haram” dilakukan; sementara pendidikan agama menjadi kewajiban. Untuk mendobrak dikhotomi ini, para pembaharu Muslim mencoba memadukan dan melakukan integrasi ilmu melalui “Islamisasi ilmu”, tanpa memisahkan antara “ilmu umum” dan “ilmu agama.” Kemudian, muncul istilah IMTAQ (Iman dan Taqwa) dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) sebagai realisasi integrasi agama dan sains dalam Islam. Selanjutnya lahir model pendidikan Islam modern dengan sistem madrasah terpadu atau dayah terpadu, yang menegaskan bahwa Islam adalah agama unggul yang memiliki otoritas untuk mengembangkan sains modern. Karena, pada masa kejayaan Islam supremasi ilmu berada di tangan umat Islam. Oleh sebab itu, kalau umat Islam ingin maju maka mereka harus menguasai sains dan teknologi melalui reformasi sistem pendidikan Islam. Dalam konteks ini, Dayah Jeumala Amal telah mengambil bagian signifikan sebagai spearhead (ujong tombak) pengembangan pendidikan Islam modern di Aceh.
Di era modern, dayah (baca: dayah modern) dapat mengadopsi inovasi teknologi untuk menopang kualitas pembelajarannya. Perangkat teknologi informasi merupakan sarana paling penting dalam pengembangan sistem pendidikan dayah zaman kini dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral Qur‟ani. Memang, tak dapat dipungkiri bahwa setiap inovasi teknologi pasti melahirkan dampak ganda, antara manfaat dan mudharat.
4
Di sinilah dayah berperan untuk membuat filter atau tangkal agar inovasi teknologi dapat memberikan nilai positif dan konstruktif bagi kehidupan siswa/santri dan lingkungan sekitarnya. Bagaimanapun juga, pemanfaatan teknologi pada zaman ini merupakan suatu keniscayaan di mana setiap orang pasti tidak dapat memisahkan diri darinya. Sebab itu, sebagai subsistem dunia global, dayah sekurang-kurangnya dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi tersebut tanpa harus mereduksi nilai-nilai yang dianut selama ini. Untuk itu, diperlukan kepekaan dan ketajaman analisis dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sebelum inovasi teknologi diaplikasikan.
Membangun Peradaban: Reorientasi dan Transformasi
“Islam has great impact upon the world, as one of the greatest and most powerful continous civilization in history. No other civilization has lasted as long over such a broad expanse of the world as Islam … The world would be a much more impoverished place in the absence of Islamic civilization” [Graham E. Fuller, 2010]
Islam telah memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia, sebagai salah satu peradaban yang mempunyai pengaruh terbesar dan kuat yang terus berlangsung sepanjang sejarah. Tidak ada peradaban lain yang berlangsung lama dan berkembang luas di dunia seperti peradaban Islam … Dunia pasti akan mengalami kehancuran dan kepunahan tanpa kehadiran peradaban Islam.
Diskursus Islam terus berlangsung baik di kalangan sarjana Timur maupun Barat, tanpa kecuali seorang mantan wakil ketua Badan Intelijen Amerika (CIA), Graham E. Fuller. Tidak berlebihan kalau Fuller dalam bukunya, A World Without Islam menulis bahwa tanpa kehadiran Islam, dunia akan mengalami kegersangan intelektualitas, budaya, dan peradaban. Bahkan, Fuller menggambarkan bagaimana nasib dunia tanpa agama Islam. Dunia masa depan sangat ditentukan oleh eksistensi agama Islam, sebagai agama yang membawa rahmat kepada seluruh alam (rahmatan lil „alamin). Lebih lanjut Fuller menegaskan, Islam merupakan agama masa depan manusia yang memiliki kekuatan dalam aspek-aspek: sistem kehidupan (system of life), sejarah (history), peradaban (civilization), kebudayaan (culture), dan ilmu pengetahuan (science). Secara singkat Fuller menegaskan bahwa “the world without Islam is impossible” (dunia tanpa agama Islam adalah tidak mungkin).
Pada kenyataannya Fuller tidak sendirian dalam mengungkapkan pandangan positifnya terhadap Islam, bahkan John L. Esposito mengemukan pendapat yang sama dalam bahasa yang berbeda, “From its earliest days, Islam possessed a rich tradition of reform,” tulis Esposito dalam The Future of Islam (2009). Menurut Esposito, Islam adalah agama reformasi dan tradisi reformasi sudah mengakar dalam tradisi Islam sejak masa-masa awal. Konsep tajdid (renewal) dan reformasi (ishlah) merupakan komponen dasar dalam pandangan dunia Islam, yang berakar dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dalam
5
konteks ini, lanjut Esposito, Rasulullah pernah mengatakan: “Allah akan mengutus seorang reformis kepada umat ini dalam setiap seratus tahun.”
Memang tak dapat dipungkiri, awal milenium ketiga banyak sarjana Barat menaruh perhatian terhadap kajian Islam dari berbagai sudut pandang. Meskipun sejak sepuluh tahun terkahir ini Islam sering dihujat, terutama oleh Barat, dengan berbagai predikat negatif, seperti “Islam fundamentalis”, “Islam radikal”, “Islam teroris” dan “Islam jihad”, tidak mengurangi makna dan hakikat Islam itu sendiri. Karena, secara normatif Islam telah mendapat pengakuan dari Allah sebagai agama yang mengungguli seluruh agama di dunia ini (al-Fath/48: 28). Pada sisi lain, sebagian sarjana Barat semakin serius mengkaji Islam dalam berbagai perspektifnya dengan berbagai pendekatan, dari pendekatan historis, politis, sosiologis, antropologis, filologis, hermeneutika sampai fenomenologis. Semua pendekatan ini telah mengungkap makna Islam secara holistik dan sekaligus meyakinkan kelompok yang selama ini tidak begitu simpati dengan Islam. Bahkan kelompok “Islam liberal” pun semakin ragu melangkah begitu membaca hasil studi yang dilakukan oleh sebagian sarjana Barat yang justeru terkesan “membela Islam” sebagai agama universal dan up to date. Kelompok yang disebut terakhir, mengalihkan perhatian mereka ke ranah “Islam progresif” agar lebih akomodatif. Predikat apa pun yang disematkan kepada Islam, tetap saja Islam tampil sebagai agama yang unggul dan tak ada agama-agama lain yang dapat menandinginya. Begitulah Islam dalam perspektif sebagian sarjana Barat masa kini, seperti kekhawatiran Fuller, apa jadinya kalau Islam tak pernah ada, “What if Islam never existed?”
Buku-buku keislaman akhir-akhir ini semakin fenomenal dan digemari oleh masyarakat, tidak saja kalangan akademisi melainkan juga masyarakat secara umum. Pada tataran ini, kehadiran buku-buku yang bernuansa Islami semakin menadapat tempat di hati masyarakat Islam. Tidak sedikit buku-buku bertajuk Islam dipublikasikan dan di banyak toko buku hampir semua sudut tidak luput dari tumpukan buku-buku Islami dalam berbagai disiplin ilmu. Agaknya, tradisi membaca di kalangan bangsa Indonesia semakin meluas walaupun jangkauan penyebaran buku-buku ke daerah-daerah masih terbatas. Namun, sebagian masyarakat yang sadar membaca tetap saja melacak buku-buku baru setiap hari melalui internet dan situs alam maya. Walhasil, mereka pun memperoleh ilmu yang berguna untuk menghidupkan gairah intelektual mereka.
Tradisi serupa sudah pernah terjadi pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah di mana kegandrungan akan ilmu di kalangan masyarakat semakin menemukan momentumnya. Para sultan yang berkuasa pun menaruh perhatian serius pada penyebaran ilmu melalui buku-buku dan memberikan dorongan, baik secara moral maupun material, kepada para peneliti dan penulis. Zaman ini sangat membanggakan umat Islam karena lahir penulis-penulis besar dan hebat dan percikan ilmu pada zaman itu dapat dirasakan sampai sekarang. Sejarah mencatat ulama-ulama besar masa itu yang tak terlupakan yang meninggalkan warisan ilmu dalam berbagai bidang. Adanya
6
kesinambungan mata rantai ilmu dari perintis masa awal sampai sekarang adalah hasil telaahan karya-karya ulama masa lampau (zaman Klasik tahun 650-1250 dan abad Pertengahan tahun 1250-1800 Masehi). Dengan semangat penelitian dan penulisan kembali naskah-naskah ilmiah telah melahirkan generasi baru pencinta ilmu hingga abad ini dan mungkin juga masa akan datang.
Pada zaman Klasik, pemikiran Islam berkembang begitu pesat sehingga mengharuskan kaum Muslimin merambah jalan Filsafat, yang kemudian lahir Filsafat Islam. Munculnya Filsafat Islam di arena pemikiran merupakan hasil interaksi agama Islam dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang mengakibatkan terserapnya budaya dan tradisi non-Muslim ke dalam wilayah pemikiran Muslim, yang sepanjang sejarah diwakili oleh Eropa dibelahan Barat, serta India, Iran, dan Cina di belahan Timur. Kalau ditelusuri lebih jauh dalam khazanah Islam, buku-buku yang menguraikan hal ihwal lahirnya Filsafat Islam, semakin membuka tabir keilmuan bahwa Islam sebagai sebuah sumber peradaban, dipandang ikut meletakkan “batu pertama” bangunan budaya dan peradaban modern yang saat ini berkembang pesat di Barat. Di abad pertengahan, Islam merupakan juru „penyelamat‟ bagi peradaban Yunani, Persia dan Romawi dengan cara menerjemahkan karya-karya mereka ke dalam bahasa Arab dan tradisi Islam.
Kemajuan Islam abad Pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan Muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, al-Razi dan generasi setelah mereka, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan yang sama sekali baru. Melalui Filsafat, kaum Muslimin masa lampau telah membentuk tradisi berpikir secara rasional; dan Islam pun dipahami tidak semata-mata berdasarkan wahyu. Dalam pembuktian eksistensi Allah, misalnya, mereka menggunakan logika yang bersandar pada rasio. Begitu pula ketika menjelaskan proses penciptaan alam, keberadaan jiwa, dan relativitas makhluk.
Tentu saja, gairah dan tradisi keilmuan akan memudar jika penguasa dan masyarakat pencinta ilmu tidak memberikan apresiasi kepada para peneliti ilmiah dan penulis. Sebab itu, untuk menghidupkan kembali semangat pengembangan ilmu diperlukan lembaga riset independen yang mendapat dukungan dari penguasa. Penguasa berkewajiban memberikan dorongan dan semangat kepada para peneliti ilmiah untuk mengembangkan dan melahirkan ilmu-ilmu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, gerakan penerjemahan, penulisan kembali manuskrip klasik, dan melacak khazanah intelektual dalam berbagai dokumen bukan saja perlu tetapi menjadi sebuah keharusan yang urgen dan signifikan. Gerakan ini hanya dapat dilakukan apabila hati manusia sudah tercerahkan oleh cahaya ilmu Ilahi. Dengan demikian, suatu saat nanti di negeri ini akan lahir generasi yang memiliki pikiran cemerlang dan peradaban yang tinggi (brilliant and civilized generation).
7
Sekarang umat manusia dihadapkan pada adagium “Religion without Faith” dan “Spirituality without God”. Jika ini benar-benar terjadi maka manusia akan kehilangan sumber peradaban yang amat penting. Secara lahiriah, manusia mempunyai agama, tetapi keberadaan agama dalam dirinya menjadi hampa tanpa makna (meaningless). Tetapi, fenomena ini semakin akrab dengan manusia modern yang terlalu tergantung pada teknologi canggih. Manusia lebih sering berkomunikasi dengan mesin dan alat-alat elektronik sehingga jauh dari relasi dengan sesama manusia. Konsekuensinya, manusia akan kehilangan fithrah kemanusiaannya dan pada gilirannya manusia akan menjadi seperti robot, yang hilang kepekaan terhadap lingkungan sosialnya. Dalam kondisi semacam ini, manusia menghadapi dilema kehidupan, antara mempertahankan nilai-nilai moral-sosial dan meraih kemajuan tetapi terisolasi dari lingkungan sosialnya. Bagi umat Islam tidaklah terlalu sulit menghadapi problema tersebut, yaitu tetap berpegang teguh pada ajaran normatif-religius dan semangat membangun peradaban insani. Pada tataran ini, umat Islam tak bisa memisahkan diri dari agama yang diyakininya walaupun mereka berada pada zaman yang penuh tantangan. Karena itulah, sesungguhnya peradaban Islam dibangun di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dengan masalah sosial yang bervariasi.
Membangun kembali (rekonstruksi) peradaban Islam di tengah-tengah masyarakat dunia yang sering disebut era penuh “anxiety” (kecemasan) dan “uncertainty” (ketidakpastian) ini tidaklah mudah. Degradasi moral dan akhlak, misalnya, justeru terjadi di kalangan “orang-orang terdidik” dan “pemimpin bangsa”. Perasaan malu (al-haya‟) yang merupakan kunci iman nyaris pupus dari jiwa manusia. Melakukan penyimpangan moral dan kekuasaan dianggap hal yang lumrah. Hukum diciptakan untuk dilanggar dan ilmu untuk mengecoh teman. Begitulah kondisi manusia di abad ini yang jauh dari petunjuk Ilahi. Ironisnya, mereka yang diamanahkan untuk memimpin umat berubah menjadi pengkhianat. Krisis multi-dimensional semakin sulit untuk disembuhkan kecuali munculnya kesadaran untuk kembali kepada kebenaran, jalan Allah; jalan Islam. Ketika manusia mau kembali kepada jalan Islam, maka akan lahir peradaban baru yaitu masyarakat madani (civil society).
Menciptakan Masyarakat Madani
Problematika masyarakat modern ditandai pada: penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendangkalan iman, lebih mengutamakan keyakinan kepada akal pikiran dari pada keyakinan religius (wahyu), disintegrasi ilmu pengetahuan, pola hubungan materialistik, kepribadian yang terpecah (split personality), stress, depresi, frustrasi, rasa cemas, gelisah, kehilangan harga diri dan masa depan. Dalam kehidupan modern, pendekatan religius menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya,
8
arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam, ladang kering dapat tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik sehingga jelas arah tujuannya. Pendekatan religius bukan hanya untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak perkembangan yang menyeluruh dalam studi Islam dengan pendekatan multidisipliner, interdisipliner dan transdisipliner.
Masyarakat madani (civilized society) adalah masyarakat yang berperadaban tinggi, berakhlaq mulia, dan berkeseimbangan hidup antara duniawi dan ukhrawi. Profil masyarakat madani merupakan refleksi dari ulul albab yang disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 16 kali. Ulul albab yang diilustrasikan dalam al-Qur‟an itu adalah profil sumber daya manusia yang handal di kalangan orang-orang beriman. Mereka mempunyai sifat-sifat terpuji yang dibebankan tugas-tugas berat baik yang bersifat individual maupun tugas sosial. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, Al-Qur‟anul „Azhim, juz 1, mendefinisikan ulul albab sebagai orang-orang yang memiliki pikiran sempurna dan cemerlang sehingga dapat mengetahui hakikat sesuatu secara mendalam. Sedangkan Ahmad Musthafa al-Maraghy, dalam kitabnya, Tafsir Al-Maraghy, juz 4 menjelaskan bahwa ulul albab adalah orang-orang yang mempunyai daya nalar yang tinggi, mampu mengambil manfaat dan meresapi hikmah dan keutamaan yang terkandung dalam nikmat-nikmat Allah pada setiap situasi dan kondisi. Selanjutnya, menurut Ali Syari‟ati dalam karyanya, Man and Islam, ulul albab dapat dipahami sebagai “social prophet” (pencerah sosial) yang memiliki tiga sifat utama: kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas berpikir. Secara singkat, ulul albab dapat dikatakan sebagai “man of understanding.”
Dalam al-Qur‟an dijelaskan bahwa ulul albab memiliki 10 karakteristik utama, yaitu: 1) mempunyai kepekaan iman yang tinggi (Ali Imran: 193); 2) pandai membaca dan menangkap isyarat ayat-ayat qur‟aniyah dan kauniyah (Ali Imran: 190); 3) kemampuan memadukan aspek zikir dan pikir (Ali Imran: 191); 4) selalu berupaya mencari hikmah dan hidayah Allah (Al-Baqarah: 269); 5) bersikap kritis dan responsif terhadap informasi (Az-Zumar: 18); 6) memiliki komitmen yang kuat terhadap janji baik janji dengan Allah maupun dengan sesama manusia (Ar-Ra‟du: 20-21); 7. sabar dalam mencari ridha Allah, giat mendirikan shalat, gemar berinfaq, „arif, dan bijak (Ar-Ra‟du: 22); 8) gemar melakukan qiyamul lail atau shalat sunat tahajjud (Az-Zumar: 9); 9) senantiasa menempuh jalan taqwa (Al-Baqarah: 179, 197, dan al-Maidah: 100); dan 10) tidak merasa takut kepada selain Allah dan suka menjalin hubungan persaudaraan atau silaturrahim (Ar-Ra‟du: 21).
Karakteristik ulul albab, secara gamblang dan aplikatif dijelaskan oleh Prof. DR. Abdussalam (sarjana Fisika Pakistan pemenang hadiah Nobel 1979) bahwa al-Qur‟an mengajarkan kita dua hal: tafakkur dan tasyakkur. Tafakkur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi kemudian menyingkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakkur ini dapat disebut sebagai sains (science). Sedangakan tasyakkur ialah
9
memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran sehingga kenikmatan itu semakin bertambah dan semakin dirasakan manfaatnya oleh umat manusia. Tasyakkur ini kemudian disebut teknologi (technology).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa masyarakat madani adalah masyarakat yang memiliki kapasitas iman, ilmu, dan amal shalih pada satu sisi; dan mempunyai kemampuan dalam bidang tafakkur dan tasyakkur serta mampu menyeimbangkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi pada sisi yang lain. Masyarakat madani akan mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, keharmonisan, keadilan, dan peradaban mulia di bawah pancaran cahaya al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Dalam konteks akademik, jika tradisi keilmuan sudah terbangun dengan baik, maka akan meningkat prestasi akademik di kalangan mahasiswa yang kemudian akan melahirkan sarjana-sarjana yang berkualitas tinggi (excellent scholars). Dengan munculnya peserta didik yang berkualitas tinggi, maka akan lahir masyarakat madani (civil society) yang didambakan oleh umat sepanjang zaman. “In educational matters, you trust in your teacher. When you want to go to some place and do not the way, you ask somebody who knows it; and follow the way he points out” (dalam masalah pendidikan, Anda percaya kepada guru. Ketika Anda pergi ke suatu tempat dan tidak mengetahui jalan, Anda bertanya kepada seseorang yang mengetahuinya; dan ikuti jalan yang ditunjukinya), demikian kata Abul A‟la al-Maududi dalam Towards Understanding Islam.
Reformasi Strategi Pembelajaran di Dayah
Dalam menghadapi era teknologi informasi dan globalisasi, Dayah Jeumala Amal dihadapkan pada tantangan untuk melakukan reformasi sistem pembelajaran dan manajemen pendidikan. Karena itu, adopsi dan difusi teknologi instruksional mutlak diperlukan sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan dalam semua jenjang. Pemanfaatan teknologi informasi secara maksimal baik oleh para guru/ustadz maupun siswa/santri dalam proses instruksional menjadi suatu keniscayaan. Istilah Information and Communication Technology (ICT) suatu istilah yang biasa digunakan dalam jaringan global saat ini. Dalam kehidupan keseharian, setiap orang selalu menggunakan ICT sebagai media komunikasi dan bahkan media pembelajaran. Di berbagai lembaga pendidikan saat ini, ICT bukanlah barang asing. Dengan ICT proses pembelajaran belangsung efektif dan efisien walau dalam ruang yang sangat terbatas. Dengan ICT proses pembelajaran jarak jauh pun dapat terjadi. Strategi pembelajaran di dayah diharapkan dapat menerapkan prinsip ICT ini sehingga proses pembelajaran didasarkan pada komunikasi tiga arah: pertama, komunikasi antara guru dengan santri; kedua, komunikasi antara santri dengan sumber belajar; dan ketiga, komunikasi di antara para santri.
.Para pakar pendidikan menyatakan bahwa keberhasilan pencapaian tujuan dari pembelajaran sangat ditentukan oleh keseimbangan antara ketiga aspek tersebut. Kemudian, ditegaskan pula bahwa perancangan suatu pembelajaran dengan mengutamakan keseimbangan antara ketiga bentuk komunikasi tersebut sangat penting dalam lingkungan pembelajaran berbasis web. Dari sejumlah studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa internet dapat dipergunakan sebagai media pembelajaran. Internet
10
merupakan jaringan global yang menghubungkan beribu bahkan berjuta jaringan komputer (local and wide area network) dan komputer pribadi (stand alone) yang memungkinkan setiap komputer yang terhubungan kepadanya dapat melakukan komunikasi satu sama lain. Melalui internet memungkinkan dikembangkan e-learning di berbagai lembaga pendidikan yang mempunyai perangkat atau jaringan komputer yang memadai.
E-learning merupakan suatu teknologi informasi yang relatif baru di Indonesia. E-learning terdiri dari dua suku kata: “e” merupakan singkatan dari “electronic” dan “learning” yang berarti “pembelajaran”. Jadi, e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer. Karena itu, e-learning sering disebut dengan “online course”.
Selanjutnya, fasilitas aplikasi internet sudah semakin meluas, sedikitnya terdapat lima aplikasi standar untuk keperluan pembelajaran: 1) e-mail, disebut juga surat elektronik yang merupakan fasilitas yang paling sederhana dan digunakan secara luas oleh pengguna (user) internet; 2) mailing list, merupakan perluasan dari penggunaan e-mail di mana pengguna yang telah memiliki alamat e-mail dapat bergabung membentuk kelompok diskusi, memecahkan masalah bersama, dan saling berbagi informasi; 3) file transfer protocol, fasilitas ini memberikan kemudahan bagi pengguna untuk mencari dan mengambil arsip file (download) baik berupa artikel, jurnal ilmiah, review buku, maupun hasil penelitian; 4) news group, digunakan untuk melakukan komunikasi antara dua orang atau lebih secara serentak dalam waktu yang sama (real time) dan komunikasinya bersifat sinkron. Bentuk komunikasinya dapat berupa teks (visual), suara (audio), dan gabungan keduanya, teks dan suara (audio-visual). Fasilitas ini biasanya disebut chatting; 5) world wide web (www), merupakan koleksi besar dengan berbagai macam dokumentasi yang tersimpan dalam berbagai server di seluruh dunia, yang dikembangkan dengan Hypertext Mark-Up Language (HTML), yang memungkinkan terjadinya koneksi (link) antar dokumen. World wide web bersifat multimedia karena merupakan kombinasi dari teks, foto, grafika, audio, animasi, dan video.
Berdasarkan penelitian dan pengalaman sebagaimana yang telah dilakukan di banyak negara maju, pendayagunaan internet untuk pembelajaran dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu: 1) web course; 2) web centric course; 3) web enhanced course.
Web Course ialah penggunaan internet untuk keperluan pembelajaran, di mana seluruh bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan dan ujian sepenuhnya disampaikan melalui internet. Siswa dan guru terpisah, namun komunikasi antara siswa dan guru dapat dilakukan setiap saat. Bentuk web course tidak memerlukan adanya kegiatan tatap muka baik untuk pembelajaran maupun ujian, karena semua proses pembelajaran sepenuhnya dilakukan melalui internet, seperti e-mail, chatting room, bulletin board, dan online conference.
Web Centric Course adalah di mana sebagian bahan belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, dan latihan disampaikan melalui internet. Seperti halnya web course, siswa dan guru sepenuhnya terpisah tetapi pada waktu-waktu yang telah ditetapkan mereka dapat bertatap muka baik di sekolah maupun di tempat lain yang telah ditentukan.
Web Enhanced Course yaitu pemanfaatan internet untuk pendidikan, menunjang peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar di kelas. Bentuk ini dikenal dengan nama web lite course, karena kegiatan pembelajaran utama adalah tatap muka di kelas.
11
Prospek dan Tantangan Dayah
Revolusi teknologi, informasi, dan transportasi menyebabkan individu dan masyarakat seakan hidup dalam singel village atau global village tanpa batas teritorial dan kultural. Perubahan yang terjadi begitu cepat melalui proses globalisasi yang berakibat lahirnya global culture, juga dalam waktu bersamaan muncul rasa keterasingan dan kegelisahan dalam menghadapi dinamikan perubahan yang terjadi. Pada satu sisi dayah semakin menemukan momentum untuk mengembangkan diri lebih jauh; dan pada sisi lain dayah menghadapi tantangan globalisasi dalam mengendalikan moral umat. Sementara, problema internal pendidikan dayah juga menghadapi kendala dalam rangka transformasi dan transmisi ilmu di tengah-tengah masyarakat yang terus berubah. Hal ini, antara lain, dapat ditandai pada perubahan gaya hidup dalam segala aspeknya. Tambahan lagi, kurikulum pendidikan dayah yang sampai saat ini belum mengalami pembaruan yang berarti dalam rangka menghadapi tuntutan zaman.
Secara prospektif, dayah merupakan wadah perlindungan dan pelestarian nilai-nilai agama dan moral umat yang kian berubah. Pada gilirannya, dayah akan menjadi “spiritual healer” dan “problem solver” bagi masyarakat modern yang terimbas globalisasi. Kegersangan jiwa, kegalauan spiritual, kegelisahan, stress yang berkepanjangan, frustrasi, dan dipresi merupakan efek negatif yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi dan globalisasi. Dalam kaitan ini, Dayah Jeumala Amal perlu melakukan terobosan baru sebagai antisipasi terhadap penyimpangan moral di kalangan anak-anak dan remaja, sebagai generasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Keberadaan dayah menjadi sangat penting ketika pendidikan sekolah pada umumnya tidak mampu membendung aneka problema yang dihadapi kawula muda; bahkan tawuran antar pelajar/siswa pun semakin membudaya. Selain itu, ancaman narkoba dan penyalahgunaan obat-obatana terlarang semakin marak tidak hanya di Aceh bahkan di seluruh dunia. Problematika sosial ini merupakan tantangan berat yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan masa kini, tanpa kecuali Dayah Jeumala Amal.
Penutup: Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi komunikasi telah memberikan kontribusi penting dalam pengembangan teknologi pendidikan. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya teknologi pendidikan tidak bisa dipisahkan dari teknologi komunikasi. Baik secara teoretis maupun praktis, teknologi komunikasi telah memberi pengaruh yang amat besar terhadap pengembangan proses pembelajaran; dan sekaligus memainkan peranan penting dalam berbagai kiprah teknologi pendidikan. Dan teknologi pendidikan telah menerapkan prinsip-prinsip komunikasi dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Teori-teori ilmu komunikasi telah diterapkan dalam teknologi pendidikan sebagai wujud nyata bahwa teori-teori tersebut merupakan landasannya. Dengan demikian, teknologi pendidikan tidak akan berjalan efektif tanpa ditopang oleh teknologi komunikasi. Karena itu pula, teknologi pendidikan mencakup pengertian belajar melalui media massa. Pengaruh media terhadap sistem pembelajaran telah menciptakan suasana belajar dan pembelajaran menjadi lebih menarik, efisien, dan efektif. Dengan pemanfaatan media pembelajaran secara efektif melahirkan lembaga-lembaga pendidikan yang inovatif dan membuka kesempatan belajar seluas-seluasnya tanpa dibatasi oleh ruang kelas atau sekolah. Bahkan dengan kemajuan teknologi komunikasi telah lahir learning network (jaringan belajar), pendidikan jarak jauh, Universitas Terbuka, dan
12
SMP Terbuka. Pada gilirannya, di setiap universitas atau institut, tanpa kecuali dayah akan lahir virtual library (perpustakaan maya) yang memungkinkan diakses oleh publik dari seantero dunia.
Tanpa dapat dielakkan bahwa modernisasi dan globalisasi akan melahirkan demokratisasi, sekularisasi, dan westernisasi, yang menjadi ancaman bagi dunia Islam secara umum dan dayah pada khususnya. Merupakan tugas kita semua untuk membendung arus perubahan yang mengacu kepada dampak negatif dan destruktif. Dengan pendekatan religius, dayah dapat berperan sebagai pengawal moral umat dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Islami yang bersumberkan al-Qur‟an dan al-Sunnah. Untuk itu diperlukan wawasan keilmuan, kepekaan terhadap informasi, kemampuan berkomunikasi, dalam bahasa internasional, dan responsif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Tidaklah mustahil jika suatu saat nanti Dayah Jeumala Amal akan menjadi World Class Islamic Boarding School (Dayah Terpadu Berkelas Dunia).■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar