Model Makalah: Cover Depan dan Kajian
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ILMU PENGETAHUAN
[Kajian Surat al-Mujadilah/58: 11]
MAKALAH
(Tugas
Individual Mata Kuliah Tafsir-II, Unit 3-PAI)
DISUSUN
OLEH:
_____________________________
NIM:
……………………….……..
DOSEN
PENGASUH:
DR.
H. HASAN BASRI, MA
FAKULTAS
TARBIYAH
IAIN
AR-RANIRY BANDA ACEH
2013
TAFSIR AYAT-AYAT
TENTANG ILMU PENGETAHUAN
[Kajian
Surat al-Mujadilah/58: 11]
Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA
I.
Teks
Ayat
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
II. Ma’na
al-Mufradat
تَفَسَّحُوا : tawassa’u artinya
melempangkan atau melapangkan.
انْشُزُوا : qumu, inhadhu atau irtafi’u, artinya berdiri, bangkit,
sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi.
يَرْفَع : meninggikan atau
mengangkat.
الْمَجَالِسِ : (jamak dari majlis)
artinya tempat duduk atau forum pertemuan.
الْعِلْم : ilmu pengetahuan.
دَرَجَاتٍ : maratib artinya peringkat, martabat atau kedudukan
II.
Tarjamah
Tafsiriyyah
Hai orang-orang beriman, apabila
dikatakan kepadamu, saling berlapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan kepadamu; dan apabila dikatakan, berdirilah maka
berdirilah niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan
orang-orang berilmu di antaramu beberapa derajat, dan Allah maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan (al-Mujadilah/58: 11).
III.
Asbab
al-Nuzul
Adapun sebab diturunkan ayat di atas
adalah sebagai berikut:
§ Diriwayatkan bahwa apabila ada orang yang baru
datang ke majlis Rasulullah, para sahabat tidak mau memberikan tempat duduk
kepada orang lain. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut (al-Mujadilah: 11) sebagai
perintah untuk memberikan tempat duduk kepada orang yang baru datang (HR. Ibnu
Jarir dari Qatadah).
§ Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa ayat
tersebut diturunkan pada hari Jum’at, di saat pahlawan-pahlawan Badar datang ke
forum pertemuan yang penuh sesak. Orang-orang yang hadir lebih awal tidak mau
memberikan tempat duduk kepada mereka,sehingga mereka terpaksa berdiri. Lalu
Rasulullah menyuruh para sahabat yang sedang duduk itu supaya mereka berdiri
agar tamu yang baru datang mendapat tempat duduk. Namun, orang-orang yang
diperintah berdiri itu merasa tersinggung perasaan mereka. Kemudian, Allah
menurunkan ayat di atas (al-Mujadilah: 11) yang memerintahkan kepada mereka
untuk memberikan tempat duduk kepada saudara-saudara mereka sesama mukmin (HR.
Ibnu Abi Hatim dari Muqatil).[1]
IV.
Tafsir
al-Ayat
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
Allah memanggil orang-orang beriman
dengan menggunakan huruf nida’ sebagai suatu kemuliaan dan panggilan yang penuh
kelembutan. Ini menandakan bahwa orang-orang yang diapanggil itu adalah mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti Allah
memanggil orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan menghiasi mereka
dengan iman yaitu perhiasan manusia yang sangat berharga dalam kehidupan ini.[2]
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا
Apa ada orang yang memerintahkan kamu
berikanlah kelapangan tempat duduk kepada saudaramu dalam suatu majlis (forum
pertemuan atau pengajian), baik majlis pengajian Rasulullah maupun forum
pertemuan selainnya, maka hendaklah kamu memberikan ruang atau tempat duduk
kepadanya.
يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ
Jika kamu memberi kelapangan atau
kemudahan kepada orang lain, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadamu
berupa rahmat dan surga-Nya. Dalam kaitan ini, Mujahid menjelaskan bahwa jamaah
yang hadir dalam majlis Rasulullah dianjurkan untuk berlapang-lapang tempat
duduk agar jamaah yang datang terlambat juga mendapat tempat duduk di dekat
Rasulullah, sehingga sama-sama mendapat bagian tempat dalam majlis Rasulullah.
Ayat ini menjelaskan tentang perintah untuk berlapang-lapang itu tidak hanya
terbatas pada tempat tetapi juga berlapang dada dan orang yang memberikan
kemudahan kepada orang lain, maka Allah akan memberikan kepadanya kelapangan
rizki, keluasan kubur, dan bahkan akan memperoleh kemudahan jalan ke surga.[3]
وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا
Apabila diperintahkan kepadamu wahai
orang-orang beriman, bangkit dan berdirilah dari tempat dudukmu untuk
memberikan tempat duduk kepada orang lain, maka patuhilah dan berikan
kelapangan kepada saudaramu. Bagian ayat ini mengandung dua perintah: pertama,
mereka diperintahkan untuk melapangkan tempat duduk dalam suatu majlis dan
kedua, melaksanakan perintah dengan mematuhi etika dan adab majlis.[4]
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ
Allah akan meninggikan derajat dan
kedudukan orang-orang beriman yang mau mematuhi dan menjalankan
perintah-perintah-Nya dan Rasul-Nya. Orang-orang yang berilmu di antara mereka diberikan keistimewaan berupa
peringkat atau kedudukan i yang terhormat dan mulia dan akan diberikan kepada
mereka derajat yang paling tinggi di dalam surga. Dalam hal ini, Ibnu Mas’ud
menyatakan: Allah memberikan kemuliaan kepada para ulama sembari memberi
dorongan kepada manusia untuk menuntut ilmu karena Allah akan mengangkat orang
beriman yang mempunyai ilmu lebih tinggi daripada orang beriman yang tidak
mempunyai ilmu. Selanjutnya, al-Qurthubi menjelaskan bahwa ketinggian derajat
orang beriman yang berilmu di sisi Allah tidak hanya berlomba-lomba untuk mendapat
tempat dalam suatu majlis, tetapi memang Rasulullah telah bersabda:
§
فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر
الكواكب.
Kelebihan
orang berilmu dibandingkan orang yang tidak berilmu (awam) seperti kelebihan
bulan di malam purnama atas seluruh bintang-bintang.
§
يشفع يوم القيامة ثلاثة: الأنبياء، ثم العلماء، ثم
الشهداء.
Pada hari Kiamat akan diberikan
pertolongan (syafa’at) kepada tiga golongan: para nabi, ulama, dan syuhada’
(orang-orang yang mati syahid).
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Allah maha mengetahui siapa saja di
antara hamba-hamba-Nya yang berhak mendapat keutamaan dan kemuliaan berupa
derajat dan kedudukan yang lebih tinggi; dan siapa saja yang berhak memperoleh
pahala dari sisi-Nya. Tentu saja, setiap orang beriman yang taat menjalankan
perintah Allah dan Rasul-Nya dan menunaikan kewajiban menuntut ilmu akan
diberikan keistimewaan baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia diberikan
kemudahan jalan hidup dan di akhirat dilempangkan jalan ke surga.[5]
V.
Munasabah
al-Ayat bi al-Ayat
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ
مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka berkata: Maha sempurna
Engkau ya Allah, tidak ilmu bagi kami kecuali apa saja yang telah Engkau
ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau maha mengetahui dan maha bijak (al-Baqarah/2: 32).
Ayat ini menjelaskan tentang ilmu
yang dimiliki malaikat begitu Allah selesai menciptakan Adam dan mengajarkannya
berbagai ilmu. Kemudian, Adam diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan
malaikat; dan malaikat pun mendapat ilmu setelah Adam mengajarkannya. Namun, malaikat menyadari
bahwa semua ilmu berasal dari Allah, dan malaikat pun bertasbih kepada Allah
sebagai pernyataan rasa syukurnya atas ilmu yang diberikan kepadanya. Ayat ini
mengajarkan kepada kita bahwa setiap kita mendapat ilmu, kita wajib bersyukur
kepada Allah dengan tawadhu’ (ketundukan) dan tadharru’
(kerendahan hati).
وَاللهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ
وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allah telah mengeluarkanmu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu, dan Allah menjadikan
untukmu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu dapat mensyukuri nikmat (al-Nahl/16: 72).
Ayat di atas menjelaskan tentang potensi
atau kapasitas dasar yang diberikan Allah keapada manusia berupa alat yang
dapat digunakan untuk mendapatkan ilmu. Allah mengingatkan manusia bahwa Dia
telah menghadirkan manusia ke dunia ini dan ketika manusia dilahirkan dari
rahim ibunya, manusia tidak mengetahui apa pun. Dengan kata lain, manusia sama
sekali tidak mempunyai ilmu ketika baru dilahirkan. Maka dengan diberikan
pendengaran, penglihatan, dan hati kemudian manusia dapat mengetahui sesuatu
yang ada di sekitarnya. Pendengaran merupakan gerbang ilmu yang paling utama
bagi manusia. Dengan banyak mendengar manusia memperoleh ilmu. Demikian pula
dengan melihat sesuatu, melalui visual manusia dapat menangkap fenomena di
jagat raya dan akan menjadi ilmu. Allah juga memberikan hati kepada manusia,
dengan hati manusia dapat merasa dan fungsi hati adalah sebagai filter
(penyaring) mana ilmu yang benar dan yang salah. Oleh sebab itu, tidak semua
yang didengar dan dilihat sesuai dengan kata hati. Dengan adanya tiga potensi
itu diharapkan manusia semakin menjadi hamba Allah yang bersyukur. Jadi, tujuan
ilmu adalah untuk mensyukuri nikmat Allah.
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا.ً
Dan janganlah kamu mengikuti suatu
pendapat yang kamu sendiri tidak ada ilmu tentang itu, sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawabannya (al-Isra’/17: 36).
Ayat 72 surat al-Nahl di atas
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ayat 36 surat al-Isra’, yaitu
sama-sama menegaskan tentang pentingnya pendengaran, penglihatan, dan hati.
Karena manusia diberikan tiga kapasitas sebagai gerbang ilmu, maka manusia
tidak boleh mengikuti suatu pendapat, ajaran, mazhab, pemikiran, atau aliran
jika tanpa mempelajarinya terlebih dahulu tingkat keabsahan dan kebenarannya.
Ayat ini merupakan larangan bertaqlid (mengikuti suatu paham tanpa mengetahui
dalilnya) kepada orang lain. Karena itu, manusia terutama orang beriman
diwajibkan belajar agar mendapatkan ilmu yang benar, tanpa harus mengikuti
paham atau pendapat orang lain. Ayat ini juga menyatakan bahwa pendengaran,
penglihatan dan hati akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat nanti.
Setiap orang tidak bisa bebas dari tanggung jawab ini karena Allah sudah
memberikan alat yang paling penting bagi manusia untuk mengetahui mana yang
benar dan yang salah. Kebenaran (al-haqq) wajib diikuti, sedangkan
kesalahan (al-bathil) harus dihindari.
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي.
وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي . وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي. يَفْقَهُوا
قَوْلِي.
Musa berdo’a, ya Tuhanku
lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku
agar mereka mudah memahami ucapanku (Thaha/20:
25-28).
Ayat di atas menerangkan bahwa ketika
Nabi Musa mengalami kesulitan berbicara di depan umatnya untuk menyampaikan
dakwah, beliau berdo’a kepada Allah agar diberi kemudahan dalam urusannya. Dan
Musa pun berdo’a agar diberi kelapangan dada dan dihilangkan kesulitan dalam
mengungkapkan pesan kepada umatnya. Do’a ini dapat kita amalkan juga agar kita
pun diberikan kemudahan untuk mendapatkan ilmu yang berguna baik untuk diri
kita maupun orang lain.
فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلاَتَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِن
قَبْلِ أَن يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا.
Maha tinggi Allah, Raja yang
sebenarnya; dan janganlah kamu terburu-buru membaca al-Qur’an sebelum selesai
diwahyukan kepadamu, dan berdo’alah: “ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu untukku.” (Thaha/20: 114).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa
al-Qur’an merupakan sumber utama ilmu.
Dan Allah adalah satu-satunya Raja yang menguasai seluruh alam ini. Jika
manusia ingin meraih ilmu hendaklah kembali mengkaji al-Qur’an, sebagaimana
Rasulullah yang pada mulanya tidak memiliki ilmu kemudian diturunkan al-Qur’an
kepadanya, dan beliau pun mendapatkan ilmu. Agar ilmu dari al-Qur’an dapat
diperoleh dengan sempurna, maka dalam membaca al-Qur’an tidak boleh
tergesa-gesa karena ketergesaan itu tidak meninggalkan bekas dalam memori tidak
menyejukkan jiwa. Karena itu, membaca dan mengkaji al-Qur’an secara cermat,
penuh ketenangan dan kesabaran maka ilmu akan lebih mudah terserap ke dalam
otak, hati dan jiwa. Pada akhir ayat itu, Allah mengajarkan Rasul-Nya untuk
berdo’a agar ditambahkan ilmu. رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا (ya
Allah, tambahkanlah ilmu untukku). Do’a ini sangat bagus kita amalkan agar kita
pun selalu ditambah ilmu oleh Allah.
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن
تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ فَانفُذُوا لاَتَنفُذُونَ
إِلاَّ بِسُلْطَانٍ
Wahai jamaah jin dan manusia, jika
kamu mampu menerobos seluruh penjuru langit dan bumi, maka teroboslah, kamu
tidak dapat menerobosnya kecuali dengan sulthan
(al-Rahman/55: 33).
Ayat ini merupakan teguran dan sekaligus
tantangan yang ditujukan kepada kelompok jin dan manusia agar mereka membekali
diri dengan sulthan. Kata sulthan dalam ayat ini adalah al-quwwah
(kekuatan). Dalam konteks sekarang kata sulthan dapat diterjemahkan
sebagai sains dan teknologi. Allah menjamin bahwa jika jin dan manusia sudah memiliki
sulthan yang optimal, maka mereka dapat menjelajah seluruh penjuru
langit dan bumi walau sangat susah dan berat. Karena itu, dengan ilmu dan
teknologi itu manusia dapat melakukan sesuatu yang sulit menjadi lebih mudah. Secara
faktual dapat kita saksikan zaman kini di mana manusia sudah meraih teknologi
tinggi (high technology) dan manusia pun sudah mampu merubah wajah dunia.
Dengan menggunakan teknologi canggih, segalanya menjadi serba nudah dan cepat;
sesuatu yang pada zaman dulu tidak mungkin, sekarang menjadi mungkin sebagai
akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (telepon, televisi,
komputer, internet, dan sebagainya); bahkan tempat yang jauh menjadi
dekat. Bagi kita umat Islam wajib mensyukuri nikmat Allah yang sangat agung
berupa ilmu dan teknologi yang bersumber dari al-Qur’an. Sebab itulah al-Qur’an
diturunkan melampaui zamannya, di mana tingkat ilmu dan teknologi pada saat
al-Qur’an diturunkan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan zaman modern
sekarang ini. Ini menandakan bahwa semakin tinggi ilmu dan teknologi manusia,
akan semakin mudah memahami makna atau isyarat yang terkandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an.
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلاًّ ءَاتَيْنَا
حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ
وَكُنَّا فَاعِلِينَ. وَعَلَّمْنَاهُ
صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّن بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنتُمْ
شَاكِرُونَ.
Maka Kami telah memberikan
pemahaman kepada Sulaiman tentang hikmah, dan kepada masing-masing mereka
(Dawud dan Sulaiman) kami berikan hukum dan ilmu; dan Kami telah menundukkan
gunung-gunung dan burung yang bertasbih kepada Kami, dan Kamilah yang
melakukannya. Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud cara membuat baju besi
sebagai pelajaran bagimu, untuk melindungimu dari bahaya peperangan, maka
adakah kamu bersyukur (al-Anbiya’/21: 79-80).
Nabi Dawud dan Sulaiman, dalam
sejarah dikisahkan sebagai nabi yang dianugerahkan ilmu dan hikmah oleh Allah.
Nabi Dawud selain sebagai Rasul, dia juga seorang raja yang memimpin umat
mansia pada zamannya dan sekaligus menetapkan hukum-hukum untuk dijalankan oleh
umatnya. Demikian juga anaknya, Nabi Sulaiman yang danugerahkan oleh Allah ilmu
dan kekuasaan yang luar biasa yang belum pernah diberikan kepada seorang Rasul
pun baik sebelum maupun sesudahnya. Sebab itulah Nabi Sulaiman berdo’a agar
Allah memberikan kekuasaan kepadanya berupa kekuasaan yang tak dimiliki oleh
orang lain sesudahnya, yaitu kekuasaan yang meliputi alam insani, alam jin,
hewani, dan alam nabati; semuanya berada di bawah kendali dan kekuasaan Nabi
Sulaiman. Do’a Nabi Sulaiman tenatng permohonan kekuasaan:
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا
يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak layak Engkau berikan kepada seorang
pun sesudahku, sesungguhnya Engkau maha pemberi (Shad/38: 35).
Namun, Nabi Sulaiman tak pernah
menyombongkan diri, bahkan terus menerus bersyukur kepada Allah. Salah satu
do’a tenang pernyataan rasa syukurnya yang sangat terkenal dicantumkan dalam
al-Quran:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي
أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ
وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
Ya Tuhanku, berilah kepadaku
kekuatan untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku
dan kepada kedua orang tuaku, dan berilah kekuatan kepadaku untuk dapat
melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan masukkan aku dengan rahmat-Mu ke
dalam kelompok hamba-hamba-Mu yang shalih
(al-Naml/27: 19).
... قل هل
يستوى الذين يعلمون والذين لايعلمون إنما يتذكر اولوا الألباب.
… Katakanlah, adakah sama
orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui; hanya
orang-orang yang berakal cerdas yang dapat mengambil pelajaran (al-Zumar/39: 9).
Ayat 9 surat al-Zumar di atas
menggunakan kata istifham inkari, yaitu pertanyaan yang tak perlu
dijawab karena dalam susunan kalimat sudah terkandung jawabannya. Ini sebagai
penegasan bahwa bagaimana pun juga orang-orang berilmu tidak sama dengan
orang-orang yang tak berilmu (juhala’). Maka, dalam ayat 11 surat
al-Mujadilah di atas ditegaskan bahwa Allah menempatkan orang-orang beriman dan
berilmu pada posisi yang sangat terhormat dengan a’la al-darajat
(peringkat tertinggi). Untuk dapat memperoleh ilmu, manusia harus menggunakan
akalnya yang cerdas secara maksimal. Kata ulu al-albab dala hakikat dan
kejelasannyam ayat di atas secara harfiah bermakna “yang mempunyai hati” atau “akal
yang cerdas”. Ibnu Katsir mendefinisikan ulu al-albab dengan dzu
al-‘uqul wa al-afham (yang mempunyai akal pikiran dan pemahaman) atau akal
pikiran yang sempurna dan cerdas (al-‘uqul al-tammah al-zakiyyah) yang
dapat mengetahui hakikat segala sesuatu dengan jelas.[6] Dengan
demikian, berbahagialah orang-orang beriman dan berilmu.
VI.
Munasabah
al-Ayat bi al-Hadits
Ayat 11 surat al-Mujadilah ada
korelasi dengan hadits-hadits Rasulullah tentang etika menghadiri majlis ilmu
dan zikir. Di antara hadits-hadits yang berkenaan dengan motivasi ilmu
pengetahuan adalah:
لا يقيمن أحدكم رجلا من مجلسه ثم يجلس فيه ولكن توسعوا
وتفسحوا يفسح الله لكم (رواه البخارى و مسلم).
Hadits di atas menjelaskan bahwa
orang beriman tidak dibolehkan membangunkan orang lain dari tempat duduknya,
kemudian ia jadikan tempat itu sebagai tempat duduknya. Namun, dianjurkan
setiap orang beriman memiliki sikap kasih sayang kepada saudaranya dengan cara
melapangkan tempat duduknya agar orang lain mendapat tempat duduk. Tindakan ini
merupakan keluhuran dan kemuliaan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah kepada
umatnya.
لايزال الله في عون العبد ما زال العبد فى عون أخيه
(رواه مسلم).
Hadits ini menegaskan bahwa jika
seorang mukmin memberikan kemudahan kepada saudaranya baik memberikan atau
melapangkan tempat duduk maupun menolongnya dari kesusahan dan kesulitan hidup,
maka Allah akan menolongnyan dan memudahkan jalan hidupnya di dunia dan di hari
Kiamat nanti. Prinsip tolong-menolong yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada umatnya merupakan akhlak yang sangat mulia sehingga memberi pengaruh dan
hikmah yang sangat tinggi. Bahkan Allah sangat mencintai hamba-Nya yang senang
menolong orang lain.
إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا، وما رياض الجنة يا رسول
الله؟ قال: حلق الذكر، فإن الله تعالى سيارات من الملائكة يطلبون حلق الذكر فإذا
أتوا عليهم حفوا بهم (رواه البخارى).
Hadits di atas
menerangkan tentang pentingnya majlis zikir atau forum ilmiah. Karena itu,
barangsiapa yang menjumpai satu forum ilmiah, maka ia ikut serta di dalamnya
agar ia dapat mereguk hikmah ilmu, karena Rasulullah menggambarkan majlis nilmu
itu sebagai “taman surga”. Dan para malaikat pun dikirim oleh Allah untuk
menyampaikan rahmat-Nya dan sekaligus menghapus dosa-dosa orang yang berada di
majlis ilmu tersebut. Ini merupakan penghargaan Allah kepada orang-orang yang
berada di “taman surga” (riyadh al-jannah) itu.
VII.
Khulashah:
Hikmah Tasyri’ dan
Relevansinya dengan Pendidikan Islam
Dari kajian ayat di atas, dapat
diambil beberapa kesimpulan (khulashah) yang merupakan hikmah tasyri’
diturunkan ayat tersebut kepada Rasulullah dan orang-orang beriman:
§ Allah menurunkan wahyu berupa ayat al-Qur’an
yang dilatarbelakangi oleh satu atau beberapa sebab sebagai prolog suatu
perintah yang wajib ditaati oleh para hamba-Nya.
§ Dengan ada sebab tersebut akan semakin mudah
untuk mengingat atau mengenang suatu perintah dan dapat dipraktikkan langsung
pada saat terjadinya.
§ Salah satu metode pendidikan Qur’ani adalah
dengan pendekatan kasuistik (case study) di mana seseorang dapat belajar
langsung dari suatu peristiwa; dan jika terdapat kekurangan atau kesalahan
dapat diperbaiki pada saat itu juga.
§ Ayat tersebut diturunkan untuk memperbaiki
perilaku masyarakat yang cenderung monopoli atau menguasai suatu tempat
sehingga orang lain tidak mendapat bagian. Dilihat dari perspektif pendidikan,
ayat tersebut mengajarkan manusia agar bersifat lemah lembut terhadap sesama,
memaafkan orang lain, memuliakan tamu, dan memudahkan urusan orang lain.
§ Memotivasi setiap oranng beriman untuk menuntut
ilmu. Allah menjanjikan kepada orang beriman dan berilmu akan diberikan
kemuliaan, keistimewaa, dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang yang tidak mempunyai ilmu.
§ Ayat 11 surat al-Mujadilah di atas menegaskan
bahwa mencari ilmu itu tidak terbatas pada satu tempat saja, tetapi boleh di
mana saja dan kapan saja serta oleh siapa saja.
REFERENSI
Abu al-Fida’ Isma’il ibn Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 1. Bairut: Dar al-Ma’rifah,
1997.
Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad
al-Mahalli dan Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi. Tafsir
al-Jalalain. Bairut: Dar al-Qalam, t.th.
Muhammad
al-Wahidi. Asbab al-Nuzul.
Beirut: Dar al-kitab al-‘Ilmiyyah, 2006.
Muhammad ‘Ali
al-Shabuni. Shafwah al-Tafasir, Juz 3. al-Qahirah: Dar al-Hadits, t.th.
Tim Penyusun. Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002.
[1] Muhammad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Dar al-kitab
al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 213.
[2] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, Juz 3,
(al-Qahirah: Dar al-Haditrs, t.th.), h. 332.
[3] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, h. 332-333.
[4] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, h. 333.
[5] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, h. 333.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 1, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1997), h. 447.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar