Rabu, 10 April 2013

SAMPEL MAKALAH TAFSIR - II [UNIT 3]



Model Makalah:  Cover Depan dan Kajian


TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ILMU PENGETAHUAN
[Kajian Surat al-Mujadilah/58: 11]









MAKALAH
(Tugas Individual Mata Kuliah Tafsir-II, Unit 3-PAI)




DISUSUN OLEH:

_____________________________
NIM: ……………………….……..







DOSEN PENGASUH:
DR. H. HASAN BASRI, MA












FAKULTAS TARBIYAH
IAIN AR-RANIRY BANDA ACEH
2013

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ILMU PENGETAHUAN
[Kajian Surat al-Mujadilah/58: 11]

Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA


I.     Teks Ayat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
       
II. Ma’na al-Mufradat

تَفَسَّحُوا : tawassa’u artinya melempangkan atau melapangkan.
انْشُزُوا : qumu, inhadhu atau irtafi’u, artinya berdiri, bangkit, sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi.
يَرْفَع : meninggikan atau mengangkat.
الْمَجَالِسِ : (jamak dari majlis) artinya tempat duduk atau forum pertemuan.
الْعِلْم : ilmu pengetahuan.
دَرَجَاتٍ : maratib artinya peringkat, martabat atau kedudukan


II.           Tarjamah Tafsiriyyah

Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu, saling berlapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan kepadamu; dan apabila dikatakan, berdirilah maka berdirilah niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang beriman dan orang-orang berilmu di antaramu beberapa derajat, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-Mujadilah/58: 11).

III.        Asbab al-Nuzul

Adapun sebab diturunkan ayat di atas adalah sebagai berikut:

§  Diriwayatkan bahwa apabila ada orang yang baru datang ke majlis Rasulullah, para sahabat tidak mau memberikan tempat duduk kepada orang lain. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut (al-Mujadilah: 11) sebagai perintah untuk memberikan tempat duduk kepada orang yang baru datang (HR. Ibnu Jarir dari Qatadah).

§  Dalam riwayat yang lain dikemukakan bahwa ayat tersebut diturunkan pada hari Jum’at, di saat pahlawan-pahlawan Badar datang ke forum pertemuan yang penuh sesak. Orang-orang yang hadir lebih awal tidak mau memberikan tempat duduk kepada mereka,sehingga mereka terpaksa berdiri. Lalu Rasulullah menyuruh para sahabat yang sedang duduk itu supaya mereka berdiri agar tamu yang baru datang mendapat tempat duduk. Namun, orang-orang yang diperintah berdiri itu merasa tersinggung perasaan mereka. Kemudian, Allah menurunkan ayat di atas (al-Mujadilah: 11) yang memerintahkan kepada mereka untuk memberikan tempat duduk kepada saudara-saudara mereka sesama mukmin (HR. Ibnu Abi Hatim dari Muqatil).[1]

IV.   Tafsir al-Ayat
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا

Allah memanggil orang-orang beriman dengan menggunakan huruf nida’ sebagai suatu kemuliaan dan panggilan yang penuh kelembutan. Ini menandakan bahwa orang-orang yang diapanggil itu adalah mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini berarti Allah memanggil orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya dan menghiasi mereka dengan iman yaitu perhiasan manusia yang sangat berharga dalam kehidupan ini.[2]
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا

Apa ada orang yang memerintahkan kamu berikanlah kelapangan tempat duduk kepada saudaramu dalam suatu majlis (forum pertemuan atau pengajian), baik majlis pengajian Rasulullah maupun forum pertemuan selainnya, maka hendaklah kamu memberikan ruang atau tempat duduk kepadanya.
يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ

Jika kamu memberi kelapangan atau kemudahan kepada orang lain, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadamu berupa rahmat dan surga-Nya. Dalam kaitan ini, Mujahid menjelaskan bahwa jamaah yang hadir dalam majlis Rasulullah dianjurkan untuk berlapang-lapang tempat duduk agar jamaah yang datang terlambat juga mendapat tempat duduk di dekat Rasulullah, sehingga sama-sama mendapat bagian tempat dalam majlis Rasulullah. Ayat ini menjelaskan tentang perintah untuk berlapang-lapang itu tidak hanya terbatas pada tempat tetapi juga berlapang dada dan orang yang memberikan kemudahan kepada orang lain, maka Allah akan memberikan kepadanya kelapangan rizki, keluasan kubur, dan bahkan akan memperoleh kemudahan jalan ke surga.[3]
وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا

Apabila diperintahkan kepadamu wahai orang-orang beriman, bangkit dan berdirilah dari tempat dudukmu untuk memberikan tempat duduk kepada orang lain, maka patuhilah dan berikan kelapangan kepada saudaramu. Bagian ayat ini mengandung dua perintah: pertama, mereka diperintahkan untuk melapangkan tempat duduk dalam suatu majlis dan kedua, melaksanakan perintah dengan mematuhi etika dan adab majlis.[4]
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Allah akan meninggikan derajat dan kedudukan orang-orang beriman yang mau mematuhi dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan Rasul-Nya. Orang-orang yang berilmu di  antara mereka diberikan keistimewaan berupa peringkat atau kedudukan i yang terhormat dan mulia dan akan diberikan kepada mereka derajat yang paling tinggi di dalam surga. Dalam hal ini, Ibnu Mas’ud menyatakan: Allah memberikan kemuliaan kepada para ulama sembari memberi dorongan kepada manusia untuk menuntut ilmu karena Allah akan mengangkat orang beriman yang mempunyai ilmu lebih tinggi daripada orang beriman yang tidak mempunyai ilmu. Selanjutnya, al-Qurthubi menjelaskan bahwa ketinggian derajat orang beriman yang berilmu di sisi Allah tidak hanya berlomba-lomba untuk mendapat tempat dalam suatu majlis, tetapi memang Rasulullah telah bersabda:

§          فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب.

Kelebihan orang berilmu dibandingkan orang yang tidak berilmu (awam) seperti kelebihan bulan di malam purnama atas seluruh bintang-bintang.

§          يشفع يوم القيامة ثلاثة: الأنبياء، ثم العلماء، ثم الشهداء.

Pada hari Kiamat akan diberikan pertolongan (syafa’at) kepada tiga golongan: para nabi, ulama, dan syuhada’ (orang-orang yang mati syahid).
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ

Allah maha mengetahui siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang berhak mendapat keutamaan dan kemuliaan berupa derajat dan kedudukan yang lebih tinggi; dan siapa saja yang berhak memperoleh pahala dari sisi-Nya. Tentu saja, setiap orang beriman yang taat menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dan menunaikan kewajiban menuntut ilmu akan diberikan keistimewaan baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia diberikan kemudahan jalan hidup dan di akhirat dilempangkan jalan ke surga.[5]


V.           Munasabah al-Ayat bi al-Ayat

قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Mereka berkata: Maha sempurna Engkau ya Allah, tidak ilmu bagi kami kecuali apa saja yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau maha mengetahui dan maha bijak (al-Baqarah/2: 32).

Ayat ini menjelaskan tentang ilmu yang dimiliki malaikat begitu Allah selesai menciptakan Adam dan mengajarkannya berbagai ilmu. Kemudian, Adam diperintahkan oleh Allah untuk mengajarkan malaikat; dan malaikat pun mendapat ilmu setelah Adam  mengajarkannya. Namun, malaikat menyadari bahwa semua ilmu berasal dari Allah, dan malaikat pun bertasbih kepada Allah sebagai pernyataan rasa syukurnya atas ilmu yang diberikan kepadanya. Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap kita mendapat ilmu, kita wajib bersyukur kepada Allah dengan tawadhu’ (ketundukan) dan tadharru’ (kerendahan hati).

وَاللهُ أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَتَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Allah telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu, dan Allah menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu dapat mensyukuri nikmat (al-Nahl/16: 72).

Ayat di atas menjelaskan tentang potensi atau kapasitas dasar yang diberikan Allah keapada manusia berupa alat yang dapat digunakan untuk mendapatkan ilmu. Allah mengingatkan manusia bahwa Dia telah menghadirkan manusia ke dunia ini dan ketika manusia dilahirkan dari rahim ibunya, manusia tidak mengetahui apa pun. Dengan kata lain, manusia sama sekali tidak mempunyai ilmu ketika baru dilahirkan. Maka dengan diberikan pendengaran, penglihatan, dan hati kemudian manusia dapat mengetahui sesuatu yang ada di sekitarnya. Pendengaran merupakan gerbang ilmu yang paling utama bagi manusia. Dengan banyak mendengar manusia memperoleh ilmu. Demikian pula dengan melihat sesuatu, melalui visual manusia dapat menangkap fenomena di jagat raya dan akan menjadi ilmu. Allah juga memberikan hati kepada manusia, dengan hati manusia dapat merasa dan fungsi hati adalah sebagai filter (penyaring) mana ilmu yang benar dan yang salah. Oleh sebab itu, tidak semua yang didengar dan dilihat sesuai dengan kata hati. Dengan adanya tiga potensi itu diharapkan manusia semakin menjadi hamba Allah yang bersyukur. Jadi, tujuan ilmu adalah untuk mensyukuri nikmat Allah.

وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا.ً

Dan janganlah kamu mengikuti suatu pendapat yang kamu sendiri tidak ada ilmu tentang itu, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawabannya (al-Isra’/17: 36).

Ayat 72 surat al-Nahl di atas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ayat 36 surat al-Isra’, yaitu sama-sama menegaskan tentang pentingnya pendengaran, penglihatan, dan hati. Karena manusia diberikan tiga kapasitas sebagai gerbang ilmu, maka manusia tidak boleh mengikuti suatu pendapat, ajaran, mazhab, pemikiran, atau aliran jika tanpa mempelajarinya terlebih dahulu tingkat keabsahan dan kebenarannya. Ayat ini merupakan larangan bertaqlid (mengikuti suatu paham tanpa mengetahui dalilnya) kepada orang lain. Karena itu, manusia terutama orang beriman diwajibkan belajar agar mendapatkan ilmu yang benar, tanpa harus mengikuti paham atau pendapat orang lain. Ayat ini juga menyatakan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Setiap orang tidak bisa bebas dari tanggung jawab ini karena Allah sudah memberikan alat yang paling penting bagi manusia untuk mengetahui mana yang benar dan yang salah. Kebenaran (al-haqq) wajib diikuti, sedangkan kesalahan (al-bathil) harus dihindari.

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي.  وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي . وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي. يَفْقَهُوا قَوْلِي.

Musa berdo’a, ya Tuhanku lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku agar mereka mudah memahami ucapanku (Thaha/20: 25-28).

Ayat di atas menerangkan bahwa ketika Nabi Musa mengalami kesulitan berbicara di depan umatnya untuk menyampaikan dakwah, beliau berdo’a kepada Allah agar diberi kemudahan dalam urusannya. Dan Musa pun berdo’a agar diberi kelapangan dada dan dihilangkan kesulitan dalam mengungkapkan pesan kepada umatnya. Do’a ini dapat kita amalkan juga agar kita pun diberikan kemudahan untuk mendapatkan ilmu yang berguna baik untuk diri kita maupun orang lain.
فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلاَتَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا.

Maha tinggi Allah, Raja yang sebenarnya; dan janganlah kamu terburu-buru membaca al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan berdo’alah: “ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu untukku.” (Thaha/20: 114).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an  merupakan sumber utama ilmu. Dan Allah adalah satu-satunya Raja yang menguasai seluruh alam ini. Jika manusia ingin meraih ilmu hendaklah kembali mengkaji al-Qur’an, sebagaimana Rasulullah yang pada mulanya tidak memiliki ilmu kemudian diturunkan al-Qur’an kepadanya, dan beliau pun mendapatkan ilmu. Agar ilmu dari al-Qur’an dapat diperoleh dengan sempurna, maka dalam membaca al-Qur’an tidak boleh tergesa-gesa karena ketergesaan itu tidak meninggalkan bekas dalam memori tidak menyejukkan jiwa. Karena itu, membaca dan mengkaji al-Qur’an secara cermat, penuh ketenangan dan kesabaran maka ilmu akan lebih mudah terserap ke dalam otak, hati dan jiwa. Pada akhir ayat itu, Allah mengajarkan Rasul-Nya untuk berdo’a agar ditambahkan ilmu. رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا (ya Allah, tambahkanlah ilmu untukku). Do’a ini sangat bagus kita amalkan agar kita pun selalu ditambah ilmu oleh Allah.

يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَن تَنفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ فَانفُذُوا لاَتَنفُذُونَ إِلاَّ بِسُلْطَانٍ

Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu mampu menerobos seluruh penjuru langit dan bumi, maka teroboslah, kamu tidak dapat menerobosnya kecuali dengan sulthan (al-Rahman/55: 33).

Ayat ini merupakan teguran dan sekaligus tantangan yang ditujukan kepada kelompok jin dan manusia agar mereka membekali diri dengan sulthan. Kata sulthan dalam ayat ini adalah al-quwwah (kekuatan). Dalam konteks sekarang kata sulthan dapat diterjemahkan sebagai sains dan teknologi. Allah menjamin bahwa jika jin dan manusia sudah memiliki sulthan yang optimal, maka mereka dapat menjelajah seluruh penjuru langit dan bumi walau sangat susah dan berat. Karena itu, dengan ilmu dan teknologi itu manusia dapat melakukan sesuatu yang sulit menjadi lebih mudah. Secara faktual dapat kita saksikan zaman kini di mana manusia sudah meraih teknologi tinggi (high technology) dan manusia pun sudah mampu merubah wajah dunia. Dengan menggunakan teknologi canggih, segalanya menjadi serba nudah dan cepat; sesuatu yang pada zaman dulu tidak mungkin, sekarang menjadi mungkin sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (telepon, televisi, komputer, internet, dan sebagainya); bahkan tempat yang jauh menjadi dekat. Bagi kita umat Islam wajib mensyukuri nikmat Allah yang sangat agung berupa ilmu dan teknologi yang bersumber dari al-Qur’an. Sebab itulah al-Qur’an diturunkan melampaui zamannya, di mana tingkat ilmu dan teknologi pada saat al-Qur’an diturunkan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan zaman modern sekarang ini. Ini menandakan bahwa semakin tinggi ilmu dan teknologi manusia, akan semakin mudah memahami makna atau isyarat yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an.

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلاًّ ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ.  وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَّكُمْ لِتُحْصِنَكُم مِّن بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنتُمْ شَاكِرُونَ.

Maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hikmah, dan kepada masing-masing mereka (Dawud dan Sulaiman) kami berikan hukum dan ilmu; dan Kami telah menundukkan gunung-gunung dan burung yang bertasbih kepada Kami, dan Kamilah yang melakukannya. Dan telah Kami ajarkan kepada Dawud cara membuat baju besi sebagai pelajaran bagimu, untuk melindungimu dari bahaya peperangan, maka adakah kamu bersyukur (al-Anbiya’/21: 79-80).

Nabi Dawud dan Sulaiman, dalam sejarah dikisahkan sebagai nabi yang dianugerahkan ilmu dan hikmah oleh Allah. Nabi Dawud selain sebagai Rasul, dia juga seorang raja yang memimpin umat mansia pada zamannya dan sekaligus menetapkan hukum-hukum untuk dijalankan oleh umatnya. Demikian juga anaknya, Nabi Sulaiman yang danugerahkan oleh Allah ilmu dan kekuasaan yang luar biasa yang belum pernah diberikan kepada seorang Rasul pun baik sebelum maupun sesudahnya. Sebab itulah Nabi Sulaiman berdo’a agar Allah memberikan kekuasaan kepadanya berupa kekuasaan yang tak dimiliki oleh orang lain sesudahnya, yaitu kekuasaan yang meliputi alam insani, alam jin, hewani, dan alam nabati; semuanya berada di bawah kendali dan kekuasaan Nabi Sulaiman. Do’a Nabi Sulaiman tenatng permohonan kekuasaan:

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak layak Engkau berikan kepada seorang pun sesudahku, sesungguhnya Engkau maha pemberi (Shad/38: 35).

Namun, Nabi Sulaiman tak pernah menyombongkan diri, bahkan terus menerus bersyukur kepada Allah. Salah satu do’a tenang pernyataan rasa syukurnya yang sangat terkenal dicantumkan dalam al-Quran:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Ya Tuhanku, berilah kepadaku kekuatan untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku dan kepada kedua orang tuaku, dan berilah kekuatan kepadaku untuk dapat melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan masukkan aku dengan rahmat-Mu ke dalam kelompok hamba-hamba-Mu yang shalih (al-Naml/27: 19).





... قل هل يستوى الذين يعلمون والذين لايعلمون إنما يتذكر اولوا الألباب.

… Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui; hanya orang-orang yang berakal cerdas yang dapat mengambil pelajaran (al-Zumar/39: 9).

Ayat 9 surat al-Zumar di atas menggunakan kata istifham inkari, yaitu pertanyaan yang tak perlu dijawab karena dalam susunan kalimat sudah terkandung jawabannya. Ini sebagai penegasan bahwa bagaimana pun juga orang-orang berilmu tidak sama dengan orang-orang yang tak berilmu (juhala’). Maka, dalam ayat 11 surat al-Mujadilah di atas ditegaskan bahwa Allah menempatkan orang-orang beriman dan berilmu pada posisi yang sangat terhormat dengan a’la al-darajat (peringkat tertinggi). Untuk dapat memperoleh ilmu, manusia harus menggunakan akalnya yang cerdas secara maksimal. Kata ulu al-albab dala hakikat dan kejelasannyam ayat di atas secara harfiah bermakna “yang mempunyai hati” atau “akal yang cerdas”. Ibnu Katsir mendefinisikan ulu al-albab dengan dzu al-‘uqul wa al-afham (yang mempunyai akal pikiran dan pemahaman) atau akal pikiran yang sempurna dan cerdas (al-‘uqul al-tammah al-zakiyyah) yang dapat mengetahui hakikat segala sesuatu dengan jelas.[6] Dengan demikian, berbahagialah orang-orang beriman dan berilmu.

VI.             Munasabah al-Ayat bi al-Hadits

Ayat 11 surat al-Mujadilah ada korelasi dengan hadits-hadits Rasulullah tentang etika menghadiri majlis ilmu dan zikir. Di antara hadits-hadits yang berkenaan dengan motivasi ilmu pengetahuan adalah:

لا يقيمن أحدكم رجلا من مجلسه ثم يجلس فيه ولكن توسعوا وتفسحوا يفسح الله لكم (رواه البخارى و مسلم).

Hadits di atas menjelaskan bahwa orang beriman tidak dibolehkan membangunkan orang lain dari tempat duduknya, kemudian ia jadikan tempat itu sebagai tempat duduknya. Namun, dianjurkan setiap orang beriman memiliki sikap kasih sayang kepada saudaranya dengan cara melapangkan tempat duduknya agar orang lain mendapat tempat duduk. Tindakan ini merupakan keluhuran dan kemuliaan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya.

لايزال الله في عون العبد ما زال العبد فى عون أخيه (رواه مسلم).

Hadits ini menegaskan bahwa jika seorang mukmin memberikan kemudahan kepada saudaranya baik memberikan atau melapangkan tempat duduk maupun menolongnya dari kesusahan dan kesulitan hidup, maka Allah akan menolongnyan dan memudahkan jalan hidupnya di dunia dan di hari Kiamat nanti. Prinsip tolong-menolong yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada umatnya merupakan akhlak yang sangat mulia sehingga memberi pengaruh dan hikmah yang sangat tinggi. Bahkan Allah sangat mencintai hamba-Nya yang senang menolong orang lain.
 إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا، وما رياض الجنة يا رسول الله؟ قال: حلق الذكر، فإن الله تعالى سيارات من الملائكة يطلبون حلق الذكر فإذا أتوا عليهم حفوا بهم (رواه البخارى).

Hadits di atas menerangkan tentang pentingnya majlis zikir atau forum ilmiah. Karena itu, barangsiapa yang menjumpai satu forum ilmiah, maka ia ikut serta di dalamnya agar ia dapat mereguk hikmah ilmu, karena Rasulullah menggambarkan majlis nilmu itu sebagai “taman surga”. Dan para malaikat pun dikirim oleh Allah untuk menyampaikan rahmat-Nya dan sekaligus menghapus dosa-dosa orang yang berada di majlis ilmu tersebut. Ini merupakan penghargaan Allah kepada orang-orang yang berada di “taman surga” (riyadh al-jannah) itu.

VII.          Khulashah: Hikmah Tasyri’ dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam

Dari kajian ayat di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan (khulashah) yang merupakan hikmah tasyri’ diturunkan ayat tersebut kepada Rasulullah dan orang-orang beriman:

§  Allah menurunkan wahyu berupa ayat al-Qur’an yang dilatarbelakangi oleh satu atau beberapa sebab sebagai prolog suatu perintah yang wajib ditaati oleh para hamba-Nya.
§  Dengan ada sebab tersebut akan semakin mudah untuk mengingat atau mengenang suatu perintah dan dapat dipraktikkan langsung pada saat terjadinya.
§  Salah satu metode pendidikan Qur’ani adalah dengan pendekatan kasuistik (case study) di mana seseorang dapat belajar langsung dari suatu peristiwa; dan jika terdapat kekurangan atau kesalahan dapat diperbaiki pada saat itu juga.
§  Ayat tersebut diturunkan untuk memperbaiki perilaku masyarakat yang cenderung monopoli atau menguasai suatu tempat sehingga orang lain tidak mendapat bagian. Dilihat dari perspektif pendidikan, ayat tersebut mengajarkan manusia agar bersifat lemah lembut terhadap sesama, memaafkan orang lain, memuliakan tamu, dan memudahkan urusan orang lain.
§  Memotivasi setiap oranng beriman untuk menuntut ilmu. Allah menjanjikan kepada orang beriman dan berilmu akan diberikan kemuliaan, keistimewaa, dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai ilmu.
§  Ayat 11 surat al-Mujadilah di atas menegaskan bahwa mencari ilmu itu tidak terbatas pada satu tempat saja, tetapi boleh di mana saja dan kapan saja serta oleh siapa saja.








REFERENSI

Abu al-Fida’ Isma’il ibn Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 1. Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997.

Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi. Tafsir al-Jalalain. Bairut: Dar al-Qalam, t.th.

Muhammad al-Wahidi. Asbab al-Nuzul. Beirut: Dar al-kitab al-‘Ilmiyyah, 2006.

Muhammad ‘Ali al-Shabuni. Shafwah al-Tafasir, Juz 3. al-Qahirah: Dar al-Hadits, t.th.

Tim Penyusun. Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.






[1] Muhammad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, (Beirut: Dar al-kitab al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 213.
[2] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, Juz 3, (al-Qahirah: Dar al-Haditrs, t.th.), h. 332.
[3] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, h. 332-333.
[4] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, h. 333.
[5] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, h. 333.
[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 1, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), h. 447.