Jumat, 14 Januari 2011

HUKUM TAKLIFI DAN WADH'I

HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I
Oleh: DR. H. Hasan Basri, MA


I. Pengertian Hukum

Hukum (Arab: al-Hukm) menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut istilah syara’ (dalam perspektif Ushul Fiqh), hukum ialah firman pembuat syara’ (syari’), teks ayat atau hadits, yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf) yang mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai adanya yang lain.

Hukum dalam perspektif Fiqh adalah aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur kehidupan manusia yang berhubungan dengan kewajiban dan hak, yang harus dilakukan dan ditinggalkan beserta sanksi-sanksinya agar manusia dapat hidup aman, damai, selamat, sejahtera dan bahagia baik di dunia maupun di Akhirat.

Kajian hukum di sini difokuskan pada hukum dalam perspektif Ushul Fiqh, tidak pada pendekatan Fiqh.

II. Pembagian Hukum

Menurut pandangan Ushul Fiqh, hukum dibagi dua:

1. Hukum Taklifi
2. Hukum Wadh’i

• Hukum taklifi adalah hukum yang dibebankan kepada orang-orang yang sudah mukallaf (dewasa dan berakal) untuk dilaksanakan sebagai tanggung jawab kepada Allah.

Hukum taklifi ada lima:

1. Ijab (kemestian): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Nadb (anjuran): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
3. Tahrim (larangan): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4. Karahah (kebencian): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
5. Ibahah (kebolehan): firman (teks ayat atau hadits) yang mebolehkan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.

• Hukum wadh’i ialah firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabbab); atau sebagai syarat yang lain (masyrut); atau sebagai penghalang adanya yang lain (mani’).



Hukum wadh’i dibagi tiga:

1. Sebab

Sebab ialah sesuatu yang jelas dan tertentu yang dijadikan sebagai pangkal adanya hukum (musabbab). Dengan adanya sebab, maka akan adanya hukum.

Contoh:

a) Sebab datangnya bulan Ramadhan, maka diwajibkan berpuasa.
b) Sebab masuknya waktu shalat, maka diwajibkan shalat
c) Sebab mencuri, maka adanya hukum potong tangan.

2. Syarat

Syarat ialah sesuatu yang karenanya baru ada hukum; dan ketiadaannya, maka tidak ada hukum (masyrut).

a) Genap satu tahun (haul) merupakan syarat wajib zakat perdagangan; tidak ada haul, maka tidak diwajibkan zakat.
b) Pezina yang sudah menikah merupakan syarat wajib dirajam; belum menikah berarti tidak dikenakan rajam, cukup dicambuk saja 100 kali.
c) Suci dari haidh bagi wanita sebagai syarat wajib shalat dan puasa; kondisi haidh tidak diwajibkan shalat dan puasa.

3. Mani’

Mani’ adalah sesuatu hal yang karena adanya dapat menghalangi kewajiban melaksanakan sesuatu; atau menjadi penghalang terlaksananya suatu hukum.

Contoh:

a) Adanya najis pada tubuh atau pakaian, dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat.
b) Adanya kewajiban zakat karena sudah mencapai nishab (batas minimal kewajiban zakat), karena ada hutang maka menjadi penghalang kewajiban berzakat, karena membayar hutang hukumnya juga wajib. Jadi, hutang menjadi penghalang membayar zakat.
c) Adanya kewajiban menunaikan ibadah haji ke Baitullah, karena tidak ada keamanan di jalan, maka tidak wajib berhaji. Ketidakamanan di jalan merupakan penghalang kewajiban haji.

III. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Wadh’i

1. Hukum taklifi adalah menuntut melaksanakan suatu perbuatan atau membolehkan memilih (takhyir) bagi seorang mukallaf untuk melakukan suatu kewajiban atau tidak melakukan kewajiban itu. Sedangkan hukum wadh’i tidak menuntut, melarang atau membolehkan memilih suatu kewajiban, tetapi hanya menerangkan sebab, syarat, dan mani’ (penghalang) terhadap suatu kewajiban.

2. Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan orang mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang sanggup dilaksanakannya, dan kadang-kadang tidak mampu dikerjakan karena ada faktor-faktor: sebab, syarat, dan mani’.•

Kamis, 13 Januari 2011

SEBAB PERUSAK IMAN

SEBAB-SEBAB YANG DAPAT MERUSAK IMAN

Iman dapat rusak karena sikap atau perbuatan seperti tersebut di bawah ini:

1. Menyekutukan Allah (berbuat syirik).
2. Menjadikan makhluk sebagai perantara kepada Allah.
3. Mengutamakan petunjuk selain petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
4. Membenci syari'at Islam.
5. Mengamalkan sihir.
5. Percaya kepada perkataan dukun atau tukang ramal.
6. Menolong orang Musyrik.
7. Beperilaku seperti perilaku orang kafir dan musyrik.
8. Menghina dan memperolok-olok al-Qur'an.
9. Menghina Rasulullah.
10. Mengabaikan sunnah Rasulullah.
11. Mengkultuskan (mendewakan) makhluk.
12. Meyakini sebagian ayat al-Qur'an dan mengingkari sebagian yang lain.
13. Menyombongkan diri (takabbur).
14. Beramal dengan riya (mengharap pujian dari nmanusia).
15. Bertawakkal kepada selain Allah.
16. Meneladani selain Rasulullah dalam pengamalan syari'at.
17. Melakukan perbuatan atau ammalan bid'ah (yang tidak diajarkan oleh Rasulullah).
18. Mempercayai ajakan jin atau syaitan.
19. Memberi sajen (makanan) kepada jin atau syaitan.
20. Bersumpah dengan nama selain Allah.

Inilah antara lain faktor-faktor yang dapat merusak iman seorang Mukmin. Hendaknya perbuatan yang menjurus kepada kerusakan iman ini dihindari atau dijauhkan agar dapat selamat di dunia dan di akhirat kelak. Orang yang sudah rusak imannya akan batal segala amal shalih yang pernah dilakukannya; dan Allah tidak akan mengabulkan do'a-do'anya. Selain itu, dia ditetapkan sebagai calon penghuni neraka Jahannam.

DR. H. Hasan Basri, MA

AKAL DAN WAHYU

HUBUNGAN AKAL DAN WAHYU
DR. H. Hasan Basri, MA


Pengertian Akal

Akal berasal dari bahasa Arab, al-‘aql yang berarti “paham” atau “mengerti” atau “mengetahui.” Padanan kata al-‘aql adalah al-hijr artinya “menahan”, al-nuha artinya “kebijaksanaan”, dan al-qalb artinya “pemahaman”. Jadi, akal dapat dipakai dalam arti “kecerdasan praktis” (practical intelligence) atau dalam psikologi disebut “kecakapan untuk menyelesaikan masalah (problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah dan melepaskan diri dari bahaya..

Akal adalah alat untuk bepikir dan memahami sesuatu. Dengan akal, manusia dapat menyelesaikan persoalan-pesoalan kehidupan. Dengan akal, manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang pantas dilakukan dan yang tidak pantas dikerjakan. Dan karena ada akal itu juga manusia dibebankan kewajiban-kewajiban dan diberi tugas untuk menjadi ‘abid dan seklaigus sebagai khalifah di muka bumi.

Selanjutnya, wahyu berarti bisikan, isyarat, intuisi, atau ilham. Wahyu juga secara literal berarti suara, api dan kecepatan. Wahyu merupakan kalam Allah yang disampaikan kepada para rasul, termasuk yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW baik secara langsung maupun tidak langsung. Wahyu yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah al-Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, dan 6236 ayat, dalam bentuk mushhaf al-Qur’an, yang susunannya dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.

Kedudukan Akal dalam al-Qur’an

Kata-kata yang dipakai dalam al-Qur’an untuk menggambarkan kegiatan berpikit, bukan hanya al-‘aql (‘aqala) tetapi juga kata-kata lain yang mengandung arti yang sama atau hampir sama.

1. Nazhara: melihat secara abstrak dalam arti “berpikir” atau “merenungkan”. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata sudah diadopsi menjadi “penalaran”. Lihat surat Qaf: 6-7; al-Thariq: 5-7; dan al-Ghasyiyah: 17-20.
2. Tadabbara: merenungkan secara mendalam ayat-ayat Allah. Isyarat ini terdapat dalam surat Shad: 29; dan Muhammad: 24.
3. Tafakkara: memikirkan hasil ciptaan Allah. Isyarat ini terdapat dalam surat al-Nahl: 68-69; dan al-Jatsiyah: 12-13.
4. Faqiha: mengerti, memahami, atau mengetahui. Ini terdapat dalam surat al-Isra’: 44; al-An’am: 97-98; dan al-Taubah: 122.
5. Tadzakkara: mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari. Isyarat ini dalam al-Qur’an terdapat dalam lebih dari 40 ayat, antara lain: surat al-Zumar: 9; al-Dzariyat: 47-49; dan al-Zumar: 27.
6. Fahima: memahami atau mengerti. Ini diisyaratkan dalam surat al-Anbiya’: 87-89.
7. ‘Aqala: mengerti, mengetahui, memahami, berpikir terdapat dalam lebih dari 45 ayat, antara lain: surat al-Anfal: 22; al-Nahl: 11-12; Yusuf: 111; Ali Imran: 190; al-Nur: 44; dan Thaha: 128.

Dengan demikian jelaslah bahwa akal menempati posisi penting dalam al-Qur’an. Tidak sedikit ayat yang mendorong akal agar berpikir, memahami, merenungkan, mengambil pelajaran, dan meneliti fenomena alam (ayat-ayat kauniyah), selain mengkaji dan menghayati ayat-ayat Qur’aniyah. Karena pentingnya kedudukan akal, maka akal tidak bertentangan dengan wahyu. Wahyu mengakui kedudukan dan fungsi akal; sementara akal berfungsi untuk memahami wahyu agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hubungan Akal dan Wahyu

Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, tidak hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan juga dalam perkembangan ajaran agama Islam itu sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan dalam al-Qur’an, seperti kata-kata afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tatazakkarun. Karena itulah dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama “rasional” artinya agama yang menggunakan akal sehat dalam memahami ajaran-ajarannya; demikian juga orang yang diberi kewajiban untuk melaksanakan ajaran adalah orang yang berakal sehat. Sebab itulah Rasulullah mengisyaratkan “la dina liman la ‘aqla lah” (tidak ada kewajiban agama bagi orang yang tidak mempunyai akal).

Dalam pemikiran Islam, baik di bidang Filsafat maupun Ilmu Kalam (Teologi), dan Fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu; bahkan akal wajib tunduk kepada teks wahyu (nash). Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan tidak menetang wahyu sama sekali. Akal hanya memberi intrpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi ninterpretasi.

Sepanjang sejarah pemikiran Islam, yang dipertentangkan sebenarnya bukanlah akal dan wahyu, baik oleh kaum Mu’tazilah maupun oleh para Filosof Islam. Yang dipertentangkan adalah penafsiran (interpretasi) tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu juga, yang dianggap berlawanan secara tekstual (ta’arudh). Jadi, yang bertentangan sebenarnya adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain tentang penafsiran atau istinbath hukum dari teks wahyu, yang kemudian melahirkan pemikiran, pendapat, atau ijtihad yang berbeda-beda mengenai suatu hukum atau masalah.

Perlu ditegaskan bahwa pemakaian akal yang diperintahkan al-Qur’an seperti yang terdapat dalam ayat-ayat kauniyah mendorong manusia untuk meneliti alam sekitarnya dan mengembangkan ilmu pengatahuan dan teknologi. Karena itu, dengan pemakaian akal secara maksimal itulah maka manusia dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai khalifah di muka bumi.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa hubungan akal dan wahyu adalah bahwa akal diberikan oleh Allah kepada manusia untuk memahami wahyu. Wahyu adalah kebenaran mutlak; sedangkan kebenaran akal adalah relatif (nisbi). Oleh sebab itu akal harus tunduk kepada wahyu; dan wahyu merupakan kebenaran yang wajib diikuti serta diamalkan sesuai dengan tingkat pemahaman yang mampu ditangkap oleh akal manusia. Di samping itu, keberadaan akal sangat dihargai dalam Islam, sehingga Rasulullah menyatakan: “Barangsiapa menggunakan akalnya secara maksimal tau berijtihad untuk mengistinbathkan suatu hukum, dan ijtihadnya itu benar maka ia diberi dua pahala; dan jika ijitihadnya itu salah, maka diberi satu pahala.” Pernyataan Rasulullah ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya akal dalam memahami wahyu; dan hasil pemahaman wahyu oleh akal mendapat penghargaan dari Allah meskipun salah. Bagaimana pun juga akal merupakan alat untuk memahami dan menganalisis teks-teks wahyu untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam.

HUDUD: APLIKASINYA

HUDUD: MAKNA DAN SISTEM PENERAPANNYA

Allah subhanahu wa ta’ala al-Hakim (yang maha bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezholiman dan kerusakan. Syariat islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharuriyat al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari’at yang disesuaikan dengan pelanggaran tersebut.

Salah satunya adalah penegakan hudud yang menjadi satu keistimewaan ajaran islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluknya.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:

“Hudud berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia Karena dosa-dosa mereka bertujuan dalam melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit.” (1)

PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jama’ (plurals) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Sehingga dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya. (2) Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Hudud Allah adalah perkara-perkara yang Allah larang melakukan dan melanggarnya (3).

Adapun menurut syar’i, istilah hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya. (4)

DELIK HUKUMAN KEJAHATAN (Jarimah al-Hudud)

Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimu al-hudud (delik hukuman kejahatan).

Yaitu meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muharabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya. (5)
Dengan demikian Hudud mencakup 7 jenis:

1. Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
2. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri
3. Had al-Khamr (Hukuman orang yang minum Kamer (minuman memabukkan) untuk menjaga akal
4. Had as-Sariqah (Hukuman mencuri) untuk menjaga harta
5. Had al-Hiraabah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
6. Had al-Baghi (Hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa
7. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama. (6)

HIKMAH PENSYARIATAN HUDUD

Hudud disyaria’tkan untuk kemaslahan hamba dan memiliki tujuan yang mulia.
Di antaranya adalah:

a. Siksaan bagi orang yang berbuat kejahatan dan membuatnya jera. Apabila ia merasakan sakitnya hukuman ini dan akibat buruk yang muncul darinya maka ia akan jera untuk mengulanginya kembali dan dapat mendorongnya untuk istiqamah dan selalu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)

b. Membuat jera manusia dan mencegah mereka terjerumus dalam kemaksiatan, oleh karena itu Allah memerintahkan untuk mengumumkan had dan menerapkannya dihadapan manusia.

“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nur/24:2)
Syeikh ibnu ‘Utsaimin menyatakan bahwa diantara hikmah dari hudud adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan orang lain agar tidak terjerumus padanya dan pensucian dan penghapusan dosa. (7)

c. Hudud adalah penghapus dosa dan pensuci jiwa pelaku kejahatan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, ia bertutur:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dan disekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma’ruf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman didunia maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no: 1709 dan Nasa’i 7/148)

d. Menciptakan suasana aman dalam masyarakat dan menjaganya.

e. Menolak keburukan, dosa dan penyakit dari masyarakat, karena kemaksiatan apabila telah merata dan menyebar pada masyarakat maka akan diganti Allah dengan kerusakan dan musibah serta dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka solusi terbaiknya adalah menegakkan dan menerapkan hudud. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. ar-Rûm/30:41)
Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ الأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih penduduknya daripada mereka diguyurhujan selama empat puluh hari.” (Hasan ; Shahih Ibnu Majah no; 2057, Ibnu Majah 2/848 no : 2538, Nasa’I 8/76). (8)

SYARAT PENERAPAN AL-HUDUD (9)

Penerapan al-Hudud tidak dilakukan tanpa 4 syarat:

1. Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
2. Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
3. Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
4. Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.

HUKUM MENEGAKKAN HUKUMAN HAD

Diwajibkan kepada wali umur (penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan hukuman Had kepada seluruh rakyatnya berdasarkan dalil dari al-Qur`aan, as-Sunnah dan Ijma’ serta dituntut qiyas yang shahih. (10)

Dalil al-Qur`aan diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)
Dalil as-Sunnah diantaranya adalah hadits Ubadah bin Shamit yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ

“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah pada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecamanan orang yang suka mencela mempengaruhi kamu dalam (menegakkan hukum-hukum) Allah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah No. 2058 dan Ibnu Majah No. 2540)
Demikian juga ulama kaum muslimin sepakat atas hal ini.

TIDAK DIBENARKAN SYAFAAT (REKOMENDASI) PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJA HIJAUKAN

Apabila perkaranya telah masuk ke pemerintah atau telah dimeja hijaukan maka dilarang adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau pengurangan hukuman. Juga pemerintah tidak boleh menerima syafaat dalam hal ini. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa kaum Quraisy sangat memusingkan mereka ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang telah melakukan kasus pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang berbicara hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau menjawab, “Adakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.” (Muttafaqun ’alaih)(11)

Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang yang member syafaat dalam hukuman had setelah sampai ke pemerintah. Adapun bila belum sampai maka diperbolehkan.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan:

Tidak boleh menggagalkan (hukuman had) dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya dan tidak boleh memberikan syafaat padanya. Siapa yang menggagalkannya karena hal ini –padahal ia mampu menerapkannya- maka semoga laknat Allah, malaikat dan semua manusia menimpanya.(12)

PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD

Tak ada yang berwenang menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga mengutus Unais radhiallahu ‘anhu untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا

“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (HR al-Bukhari no. 2147)
Demikian juga memerintahkan para sahabat untuk merajam Maa’iz, dengan menyatakan:

اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ

“Bawalah ia dan rajamlah.” (HR al-Bukhaari no. 6815)
Demikian juga karena penentuan hukuman had dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezholiman, sehingga wajib dilaksanakan oleh imam atau wakilnya. (13)

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SAMA DALAM HUDUD?

Wanita dalam penerapan hukuman had sama seperti lelaki, karena pada asalnya semua yang ditetapkan syari’at untuk lelaki juga berlaku pada wanita sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini umum berlaku dalam ibadah, mu’amal ataupun dalam hukuman. Namun para ulama memberikan 3 pengecualian, yaitu:

a. Wanita dihukum dengan duduk sedangkan lelaki dengan berdiri.
b. Pakaian wanita diikat sedangkan lelaki tidak.
c. Pakaiannya diikat hingga tidak terbuka auratnya, sedangkan lelaki tidak. (14)

Syeikh ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Inilah yang membedakan wanita dengan laki-laki dalam had karena kebutuhan menuntutnya. Kalau tidak maka pada asalnya wanita sama dengan lelaki.(15)

Demikianlah selintas permasalahan hudud dalam islam. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada kaum muslimin tentang keindahan dan kelengkapan syari’at islam.
Wabillahitaufiq.

Referensi:

1. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zad al-Mustaqni’, Syeikh Muhamad bin Shalih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1428, Dar Ibnu al-Jauzi
2. Fat-hu Dzi al-Jalal wa al-Ikram, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1428 H, al-Maktabah al-Islamiyah.
3. Al-Mulakhash al-Fiqh, Prof.DR. Sholeh bin Abdillah alfauzaan, cetakan pertama tahun 1423 H, Idârat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta`
4. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman al-Basâm, cetakan kelima tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi.
5. Manhaj as-Salikin Wa Taudih al-Fiqhu Fiddin, Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di, tahqiq Muhammad bin Abdulaziz al-Khudhairi, cetakan pertama tahun 1421 H, Dar al-Wathan

• Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Diakses: www.mihrabia.blogspot.com

HUDUD: APLIKASINYA

HUDUD: MAKNA DAN SISTEM PENERAPANNYA

Allah subhanahu wa ta’ala al-Hakim (yang maha bijaksana) senantiasa menjaga hak-hak manusia dan menjaga kehidupan mereka dari kezholiman dan kerusakan. Syariat islam pun ditetapkan untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang merupakan adh-Dharuriyat al-Khamsu (lima perkara mendesak pada kehidupan manusia). Sehingga setiap orang yang melanggar salah satu masalah ini harus mendapatkan hukuman yang ditetapkan Syari’at yang disesuaikan dengan pelanggaran tersebut.

Salah satunya adalah penegakan hudud yang menjadi satu keistimewaan ajaran islam dan merupakan bentuk kesempurnaan rahmat dan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala kepada makhluknya.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:

“Hudud berasal dari rahmat untuk makhluk dan kebaikan mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang yang menghukum manusia Karena dosa-dosa mereka bertujuan dalam melakukannya untuk kebaikan dan rahmat kepada mereka, sebagaimana tujuan orang tua membina anak-anaknya dan dokter dalam mengobati orang yang sakit.” (1)

PENGERTIAN HUDUD

Hudud adalah kosa kata dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jama’ (plurals) dari kata had yang asal artinya pembatas antara dua benda. Sehingga dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya. (2) Ada juga yang menyatakan bahwa kata had berarti al-man’u (pencegah), sehingga dikatakan Hudud Allah adalah perkara-perkara yang Allah larang melakukan dan melanggarnya (3).

Adapun menurut syar’i, istilah hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama dan menghapus dosa pelakunya. (4)

DELIK HUKUMAN KEJAHATAN (Jarimah al-Hudud)

Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sudah menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang disebut jaraimu al-hudud (delik hukuman kejahatan).

Yaitu meliputi kasus; perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan, muharabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan perbuatan melampui batas lainnya. (5)

Dengan demikian Hudud mencakup 7 jenis:

1. Had zina (hukuman Zina) ditegakkan untuk menjaga keturunan dan nasab.
2. Had al-Qadzf (hukuman orang yang menuduh berzina tanpa bukti) untuk menjaga kehormatan dan harga diri
3. Had al-Khamr (Hukuman orang yang minum Kamer (minuman memabukkan) untuk menjaga akal
4. Had as-Sariqah (Hukuman mencuri) untuk menjaga harta
5. Had al-Hiraabah (hukuman para perampok) untuk menjaga jiwa, harta dan harga diri kehormatan.
6. Had al-Baghi (Hukuman pembangkang) untuk menjaga agama dan jiwa
7. Had ar-Riddah (hukuman orang murtad) untuk menjaga agama. (6)

HIKMAH PENSYARIATAN HUDUD

Hudud disyaria’tkan untuk kemaslahan hamba dan memiliki tujuan yang mulia.
Di antaranya adalah:

a. Siksaan bagi orang yang berbuat kejahatan dan membuatnya jera. Apabila ia merasakan sakitnya hukuman ini dan akibat buruk yang muncul darinya maka ia akan jera untuk mengulanginya kembali dan dapat mendorongnya untuk istiqamah dan selalu taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)

b. Membuat jera manusia dan mencegah mereka terjerumus dalam kemaksiatan, oleh karena itu Allah memerintahkan untuk mengumumkan had dan menerapkannya dihadapan manusia.
“Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nur/24:2)
Syeikh ibnu ‘Utsaimin menyatakan bahwa diantara hikmah dari hudud adalah membuat jera pelaku untuk tidak mengulangi dan orang lain agar tidak terjerumus padanya dan pensucian dan penghapusan dosa. (7)

c. Hudud adalah penghapus dosa dan pensuci jiwa pelaku kejahatan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, ia bertutur:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِك

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dan disekeliling beliau ada sekelompok sahabatnya, “Berjanji setialah kamu kepadaku, untuk tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kamu dan tidak berbuat dusta sama sekali serta tidak bermaksiat dalam hal yang ma’ruf. Siapa di antara kamu yang menepati janjinya, niscaya Allah akan memberikannya pahala. Tetapi siapa saja yang melanggar sesuatu darinya, lalu diberi hukuman didunia maka hukuman itu adalah sebagai kafarah (penghapus dosanya), dan barangsiapa yang melanggar sesuatu darinya lalu ditutupi olah Allah kesalahannya (tidak dihukum), maka terserah kepada Allah; Kalau Dia menghendaki diampuni-Nya kesalahan orang itu dan kalau Dia menghendaki disiksa-Nya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I/ 64 no: 18, Muslim 3/1333 no: 1709 dan Nasa’i 7/148)

d. Menciptakan suasana aman dalam masyarakat dan menjaganya.

e. Menolak keburukan, dosa dan penyakit dari masyarakat, karena kemaksiatan apabila telah merata dan menyebar pada masyarakat maka akan diganti Allah dengan kerusakan dan musibah serta dihapusnya kenikmatan dan ketenangan. Untuk menjaga hal ini maka solusi terbaiknya adalah menegakkan dan menerapkan hudud. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. ar-Rûm/30:41)
Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَحَدٌّ يُقَامُ فِيْ الأَرْضِ أَحَبُّ إِلَى أَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمْطَرُوْا ثَلاَثِيْنَ صَبَاحًا
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu hukuman kejahatan yang ditegakkan di muka bumi lebih penduduknya daripada mereka diguyurhujan selama empat puluh hari.” (Hasan ; Shahih Ibnu Majah no; 2057, Ibnu Majah 2/848 no : 2538, Nasa’I 8/76). (8)

SYARAT PENERAPAN AL-HUDUD (9)

Penerapan al-Hudud tidak dilakukan tanpa 4 syarat:
1. Pelaku kejahatan adalah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal.
2. Pelaku kejahatan tidak terpaksa dan dipaksa.
3. Pelaku kejahatan mengetahui pelarangannya.
4. Kejahatannya terbukti ia yang melakukannya tanpa ada syubhat. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengakuannya sendiri atau dengan bukti persaksian orang lain.

HUKUM MENEGAKKAN HUKUMAN HAD

Diwajibkan kepada wali umur (penguasa) untuk menegakkan dan menerapkan hukuman Had kepada seluruh rakyatnya berdasarkan dalil dari al-Qur`aan, as-Sunnah dan Ijma’ serta dituntut qiyas yang shahih. (10)

Dalil al-Qur`aan diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Maidah/5:38)

Dalil as-Sunnah diantaranya adalah hadits Ubadah bin Shamit yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللَّهِ لَوْمَةُ لَائِمٍ
“Tegakkanlah hukuman-hukuman (dari) Allah pada kerabat dan lainnya, dan janganlah kecamanan orang yang suka mencela mempengaruhi kamu dalam (menegakkan hukum-hukum) Allah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah No. 2058 dan Ibnu Majah No. 2540)
Demikian juga ulama kaum muslimin sepakat atas hal ini.

TIDAK DIBENARKAN SYAFAAT (REKOMENDASI) PEMBEBASAN HUKUMAN, BILA SUDAH DIMEJA HIJAUKAN

Apabila perkaranya telah masuk ke pemerintah atau telah dimeja hijaukan maka dilarang adanya syafaat (rekomendasi) pembebasan atau pengurangan hukuman. Juga pemerintah tidak boleh menerima syafaat dalam hal ini. Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

“Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa kaum Quraisy sangat memusingkan mereka ihwal seorang perempuan suku Makhzum yang telah melakukan kasus pencurian. Mereka mengatakan, “Siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu mengemukakan permintaan supaya perempuan itu dibebaskan)?” Tidak ada yang berbicara hal itu, kecuali Usamah kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Beliau menjawab, “Adakah engkau hendak menolong supaya orang bebas dari hukuman Allah?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah, “Hai sekalian manusia, orang-orang sebelum kamu menjadi sesat hanyalah disebabkan apabila seorang bangsawan mencuri, mereka biarkan (tidak melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad memotong tangannya.” (Muttafaqun ’alaih)(11)

Dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang yang member syafaat dalam hukuman had setelah sampai ke pemerintah. Adapun bila belum sampai maka diperbolehkan.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan:
Tidak boleh menggagalkan (hukuman had) dengan syafaat, hadiah dan yang lainnya dan tidak boleh memberikan syafaat padanya. Siapa yang menggagalkannya karena hal ini –padahal ia mampu menerapkannya- maka semoga laknat Allah, malaikat dan semua manusia menimpanya.(12)

PIHAK YANG BERWENANG MELAKSANAKAN HUDUD

Tak ada yang berwenang menegakkan hudud, kecuali imam, kepala negara, atau wakilnya (aparat pemerintah yang mendapat tugas darinya). Sebab, di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliaulah yang melaksanakannya, demikian pula para Khalifahnya sepeninggal Beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah juga mengutus Unais radhiallahu ‘anhu untuk melaksanakan hukum rajam, sebagaimana dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا

“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengaku (berzina), maka rajamlah!” (HR al-Bukhari no. 2147)
Demikian juga memerintahkan para sahabat untuk merajam Maa’iz, dengan menyatakan:
اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
“Bawalah ia dan rajamlah.” (HR al-Bukhaari no. 6815)
Demikian juga karena penentuan hukuman had dibutuhkan ijtihad dan tidak aman dari kezholiman, sehingga wajib dilaksanakan oleh imam atau wakilnya. (13)

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SAMA DALAM HUDUD?

Wanita dalam penerapan hukuman had sama seperti lelaki, karena pada asalnya semua yang ditetapkan syari’at untuk lelaki juga berlaku pada wanita sampai ada dalil yang mengkhususkannya. Hal ini umum berlaku dalam ibadah, mu’amal ataupun dalam hukuman. Namun para ulama memberikan 3 pengecualian, yaitu:

a. Wanita dihukum dengan duduk sedangkan lelaki dengan berdiri.
b. Pakaian wanita diikat sedangkan lelaki tidak.
c. Pakaiannya diikat hingga tidak terbuka auratnya, sedangkan lelaki tidak. (14)

Syeikh ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Inilah yang membedakan wanita dengan laki-laki dalam had karena kebutuhan menuntutnya. Kalau tidak maka pada asalnya wanita sama dengan lelaki.(15)

Demikianlah selintas permasalahan hudud dalam islam. Mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada kaum muslimin tentang keindahan dan kelengkapan syari’at islam.
Wabillahitaufiq.

Referensi:

1. Asy-Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zad al-Mustaqni’, Syeikh Muhamad bin Shalih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1428, Dar Ibnu al-Jauzi
2. Fat-hu Dzi al-Jalal wa al-Ikram, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, cetakan pertama tahun 1428 H, al-Maktabah al-Islamiyah.
3. Al-Mulakhash al-Fiqh, Prof.DR. Sholeh bin Abdillah alfauzaan, cetakan pertama tahun 1423 H, Idârat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta`
4. Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman al-Basâm, cetakan kelima tahun 1423 H, Maktabah al-Asadi.
5. Manhaj as-Salikin Wa Taudih al-Fiqhu Fiddin, Syeikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di, tahqiq Muhammad bin Abdulaziz al-Khudhairi, cetakan pertama tahun 1421 H, Dar al-Wathan

• Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

HUDUD: PENGERTIANNYA

HUDUD

Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal. menurut bahasa bisa juga cegahan. sedangkan menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an sebagai hak Allah.

Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada (Qs. An-Nisa':15-16) adalah pada masa-masa pertama turunnya agama Islam. kemudian setelah masyarakat Islam. kemudian setelah masyarakat Islam semakin mantap dan iman kaum muslim pun semakin tebal.

Perbuatan keji menurut Jumhur Mufassirin yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti: zina, homosek dan yang sejenisnya. menurut pendapat muslim dan mujahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homoseksual antara wanita dengan wanita atau lesbian). Menurut Jumhur Mufassirin jalan yang lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Yang artinya sebagai berikut:

"Perempuan yang berzina dan laki - laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman". (Qs. An Nur:2)

Keterangan Ayat tentang Hudud

1. (Perempuan yang berzina dan laki - laki berzina) kedua - duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bagi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari sunnah.

2. (maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni seratus kali pukulan. Jika dikatakan jaladahu artinya ia memukul kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. Kemudian ditambahkan hukuman bagi pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh bagi orang merdeka (selain budak). Sedangkan bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi.

QISHASH: PENGERTIANNYA

QISHASH

Qishash (bahasa arab: قصاص) adalah istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.

Dasarnya adalah: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang mema'afkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik." [Al Baqarah:178]
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]

Meski demikian dikatakan Al Qur'an bila hak Qisas dilepaskan oleh korban maka itu menjadi penebus dosa bagi mereka. Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan meminta penebus dalam bentuk materi.
Qisas dipraktekkan di negara-negara yang menganut syariat Islam seperti Arab Saudi, Iran dan Pakistan

Rabu, 12 Januari 2011

SEJARAH MASUK ISLAM : KRONOLOGIS

KRONOLOGIS MASUK ISLAM KE ASIA TENGGARA

Sejarah awal Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul pada tahun 611 Masehi, di Makkah kemudian berkerbang di Madinah. Pada masa-masa berikutnya Islam terus berkembang sampai ke berbagai belahan dunia yang disiarkan oleh para ulama, da'i, muballigh. Dan pada umumnya dikembangkan oleh para pedagang Muslim dan guru-guru sufi atau tasawuf.

I. Islam masuk ke kawasan Asia Tenggara melalui kawasan Nusantara, yaitu bagian paling ujung Sumatera, yang terkenal Aceh (tepatnya Samdera Pase). Sebagian sejarawan mengatakan masuknya Islam ke Aceh sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Miladiyah; namun, sebagian yang lain menyatakan Islam masuk ke Aceh pada abad ke-12 atau 13 Miladiyah.

II. Kemudian Islam betrkembang ke Pulau Jawa, sekitar abad ke-14. Namun, proses Islamisasi sudah berlangsung sejaka abad-abad ke-12 dan 13.

III. Selanjutnya Islam terus berkembang ke bagian Indonesia bagian Timur khususnya daerah Maluku pada abad ke-14 atau ke-15.

IV. Proses Islamisasi terus berlangsung sampai ke Kalimantan Timur dan Makassar pada abad ke-16.

V. Islam terus mengembangkan sayapnya sampai ke Sulawesi, terutama Gowa dan Tallo pada abad ke-17.

VI. Antara abad-abad ke-16, 17 dan 18, Islam menyebar ke Semenanjung Malaysia, Pattani (Thailand), Filipina, dan Brunei Darussalam.

Syi'ar Islam terus saja berkembang pesat sampai zaman kini, tak pernah henti. Bahkan, bagian benua Amerika dan Eropa sekalipun Islam menjadi agama idola yang menjanjikan masa depan. Tidak sedikit kaum terpelajar di Eropa, Amerika, Jepang, Cina, dan Australia yang memeluk agama Islam sebagai "way of life" mereka. Bahkan, mereka menjadi da'i-da'i yang paling penting untuk kawasan sekuler itu. Bahkan, seorang penulis dari Amerika menulis sebuah buku berjudul: THE WORLD WITHOUT ISLAM, yang sangat menarik untuk masa kini dibaca dan dikaji.

DR. H. Hasan Basri, MA

FAKTOR -FAKTOR PERUSAK AQIDAH

DR. H. Hasan Basri, MA


FAKTOR DAN PAHAM PERUSAK AQIDAH


Aqidah seseorang dapat terkontaminasi oleh berbagai paham dan kepercayaan. Dan bahkan, kepercayaan dan pengkultusan kepada selain Allah dapat merusak aqidah. Berikut akan dijelaskan secara ringkas (snapshot) tentang faktor-faktor perusak aqidah, paham yang menyimpang dari aqidah dan cara memantapkan aqidah:

• Faktor Perusak Aqidah

1) Tawakkal kepada Selain Allah (Al-Maidah/5: 23).
2) Tidak Mengakui Nikmat (Lahir dan Batin) Anugerah Allah (Luqman/31: 20).
3) Beramal dengan Tujuan Selain Allah (Al-An’am/6: 162-163).
4) Tidak Menetapkan Hukum Berdasarkan Kitabullah (Al-Maidah/5: 44, 45, 47, 49, dan 50).
5) Taat Secara Mutlak kepada Selain Allah dan Rasul-Nya (Asy-Syu’ara’/26: 151-152).
6) Murtad atau Mencari Agama Lain, selain Islam (Ali Imran/3: 19 dan 85).
7) Mencintai Kehidupan Dunia Melebihi Kecintaan Akhirat (Ibrahim/14: 2-3).
8) Menghina Al-Qur’an dan Sunnah (At-Taubah/9: 64-65).
9) Manghalalkan yang Diharamkan All, peah atau Sebaliknya (An-Nahl/16: 116).
10) Beriman kpd Sebagian Ayat al-Qur’an dan Ingkar kpd Sebagian yang Lain (Al-Baqarah/2: 85).
11) Mengangkat Orang Yahudi dan Nasrani (Kafir) sbg Pemimpin (Al-Maidah/5: 51).
12) Menghina Rasulullah SAW dan Meyakini ada Rasul Setelahnya (Al-Ahzab/33: 21, 40)
13) Meyakini Wahyu Masih Diturunkan Sampai Sekarang (Al-An’am/6: 115).
14) Tidak Mengakui Asma’ul Husna (Al-A’raf/7: 180; Al-Isra’/17: 110).
15) Menyamakan Allah dengan Makhluk (Al-Ikhlash/112: 1-4; Asy-Syura/42: 11)
16) Berbuat Syirik (Syirik Jali dan Syirik Khafi).

a. Syirik Jali: Menyembah selain Allah secara terang-terangan (An-Nisa’/4: 48, 116; Luqman/31: 13) --- jelas Objek, Waktu, Tempat, Media.
b. Syirik Khafi: Syirik tersembunyi, beramal dengan riya’ (pamer).

Mengenai syirik khafi dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Ahmad.

ألا أخبركم بما أخوف عليكم عندى من المسيح الدجال؟ قالوا بلى يا رسول الله، قال: الشرك الخفي يقوم الرجل فيصلى فيزين صلاته لما يرى من نظر رجل (رواه أحمد).

Syirik Khafi disebut juga al-Syirk al-Ashghar (syirik kecil) karena tidak terlihat dalam tindakan nyata, ia ada dalam hati manusia, seperti sifat riya’, kagum terhadap makhluk, dan sombong.

• Paham Perusak Aqidah

1) Positivisme: paham yang menentang keyakinan kepada yang ghaib.
2) Rasionalisme: paham yang mengandalkan rasio (akal), mengabaikan wahyu.
3) Materialisme: paham yang mengutamakan aspek materi, mengabaikan ruhani (jiwa, iman).
4) Agnotisisme: paham yang ragu-ragu (skeptisisme) terhadap agama dan wahyu.
5) Sekularisme: paham yang memisahkan antara agama dan dunia. Urusan politik diurus oleh Negara, dan urusan agama diurus oleh masjid atau lembaga agama, tanpa campur tangan Negara. Beragama adalah urusan pribadi (individual).
6) Atheisme: paham yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu tidak ada.
7) Dinamisme: paham yang mengandalkan hidup pada kekuatan benda atau makhluk.
8) Animisme: paham yang percaya kepada arwah (ruh) dan memuja makhluk ghaib.
9) Politheisme: paham yang percaya bahwa Tuhan itu banyak (Trinitas, Trimurti, dsb.).
10) Pantheisme: paham yang percaya bahwa semua yang ada di alam ini adalah Tuhan, alam ini mmerupakan “cerminan Tuhan”, “God is everything, and everything is God.” Atau disebut juga Wahdat al-Wujud.
11) Liberalisme: paham kebebasan dalam berpikir dan bertindak; atau kebebasan untuk beragama dan mengamalkan ajaran agama apa pun; dan kebebasan untuk mengekspresikan keinginan, kehendak, pendapat tanpa batas. Paha mini juga menyebutkan bahwa “semua agama sama.”
12) Pluralisme: paham yang mengakui kemajemukan etnis, bangsa, agama, dan pemikiran/paham/aliran dan sekaligus mengapresiasikannya. Salah satu poin penting paham ini adalah “semua agama sama” setiap pemeluknya yang mengamalkan ajaran agamanya sama-sama masuk surga; tidak ada perbedaan antara satu agama dengan agama lain. Menurut paham ini, pernikahan beda agama boleh.

• Pemantapan Aqidah

1) Realisasi Komitmen manusia dengan Allah (Al-A’raf/7: 172).
2) Kembali kepada Fithrah, al-Din al-Qayyim (Ar-Rum/30: 30).
3) Penghayatan Makna Syahadatain (Ali Imran/3: 31-32; dan At-Taubah/9: 23-24)
4) Internalisasi Hakikat Tauhidullah (Ali Imran/3: 18; dan Muhammad/47: 19)
5) Istiqamah pada Iman/Tauhid (Fushilat/41: 30; dan Al-Ahqaf/46: 13-14)
6) Memperbaharui Iman (Tajdid al-Iman) dengan Kalimat Tauhid: لا إله إلا الله

سئل رسول الله صلعم أي الأعمال أفضل؟ قال: إيمان بالله، قال ثم ماذا؟ قال: الجهاد في سبيل الله، قال ثم ماذا؟ قال: حج مبرور (رواه البخاري ومسلم).

جددوا إيمانكم. قيل: يا رسول الله، وكيف نجدد إيماننا ؟ قال: أكثروا من قول: لا إله إلاالله (رواه أحمد بإسناد حسن).

KISI-KISI SOAL UJIAN FINAL : PENDIDIKAN AQIDAH

KISI-KISI SOAL UJIAN FINAL

MATA KULIAH : PENDIDIKAN AQIDAH
KODE/SKS : TPA 5806/ 2 SKS
HARI/UNIT : SELASA/ 3
DOSEN : DR. H. HASAN BASRI, MA
ASISTEN : LUKMAN EMHA, S.AG


Soal-soal mengenai PENDIDIKAN AQIDAH yang akan diuji pada ujian final adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah berikut ini:

1. Seputar ruang lingkup, fungsi aqidah bagi kehidupan dan signifikansi mempelajari aqidah Islamiyah.
2. Mengenai hubungan antara iman dan amal shalih berserta ayat-ayat al-Qur’an sebagai dalilnya dan faktor-faktor perusak aqidah..
3. Karakteristik atau ciri khas aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
4. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan syirik, bid’ah, tahayul, dan khurafat.
5. Persoalan-persoalan teologi Islam yang berhubungan dengan prinsip-prinsip aqidah, yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok:

a. Khawarij
b. Syi’ah
c. Murji`ah
d. Qadariyah
e. Jabariyah
f. Mu’tazilah
g. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
h. Wahhabiyah dan Muhammadiyah

6. Apa yang Anda ketahui tentang istilah-istilah berikut ini beserta contohnya:

a. Tahrif
b. Ta’thil
c. Takyif
d. Tamtsil
e. Tasybih
f. Tanzih
g. Tajdid al-Iman


CATATAN:

1. Ujian dilaksanakan hari SABTU, Tanggal: 15 Januari 2011, JAM 09.30-11.30 WIB (Siang), RUANG 18. Fakultas Tarbiyah, Surin.
2. Diharapkan hadir tepat waktu dan mengikuti aturan disiplin ujian.
3. Menyerahkan tugas makalah diskusi kelompok yang sudah diperbaiki (revisi).

• Selamat belajar semoga sukses…ojo memble ye?

Banda Aceh, 12 Januari 2011

Selasa, 11 Januari 2011

KISI-KISI SOAL UJIAN FINAL : MAZAHIB ISLAMIYAH

KISI-KISI SOAL UJIAN FINAL

MATA KULIAH : MAZAHIB ISLAMIYAH
KODE/SKS : TPA 7803/ 2 SKS
HARI/UNIT : SENIN/ 3
DOSEN : DR. H. HASAN BASRI, MA



Soal-soal mengenai Mazahib Islamiyah yang akan diuji pada ujian final adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah berikut ini:

1. Seputar latar belakang, faktor-faktor, pengaruh lahirnya Mazahib Islamiyah.
2. Masalah-masalah yang berhubungan dengan mazhab-mazhab Fiqh dan aliran Tasawuf, sejarah yang melatarbelakangi munculnya, dan sebab-sebab munculnya di dunia Islam.
3. Hal-hal yang berkaitan dengan munculnya gerakan dan paham keagamaan (pokok-pokok pemikiran Islam modern) di beberapa negara: Mesir, Turki, India, Arab Saudi, dan Indonesia berikut dengan tokoh-tokohnya.
4. Gerakan-gerakan pembaharuan (tajdid) Islam, tokoh dan pemikirannya:

a. MESIR---difokuskan pada pemikiran pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905), meliputi latar belakang, pokok-pokok pemikiran, dan pengaruhnya di Mesir dan terhadap dunia Islam pada umumnya.
b. TURKI---difokuskan pada pembaharuan dan gerakan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal al-Taturk (1881-1938), mencakup pengaruh pemikirannya terhadap syari’at Islam dan proses sekularisasi di Turki.
c. INDIA---difokuskan pada pembaharuan pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Syahid (1786-1831), meliputi: gerakan, pokok-pokok pemikiran, dan pengaruhnya.
d. ARAB SAUDI----difokuskan pada gerakan yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787), meliputi gerakan pemurnian ‘aqidah dan hubungannya dengan politik, dan pengaruhnya baik di Arab Saudi maupun di dunia Islam.

5. Gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan pembaharuan yang dilakukan, difokuskan pada:

a. MUHAMMADIYAH dengan tokohnya Ahmad Dahlan.
b. AL-IRSYAD dengan tokohnya Ahmad Surkati.
c. PERSIS dengan tokohnya Ahmad Hassan.




CATATAN:

1. Ujian dilaksanakan hari SABTU, 15 Januari 2011, JAM 14.00 WIB (Siang), RUANG 23.
2. Diharapkan hadir tepat waktu dan mengikuti aturan disiplin ujian.
3. Menyerahkan tugas makalah diskusi kelompok yang sudah diperbaiki (revisi).

Selamat belajar semoga sukses…ojo memble ye?

MATERI KULIAH MAZAHIB ISLAMIYAH: Bagian 3

DR. H. Hasan Basri, MA


MATERI KULIAH: MAZAHIB ISLAMIYAH
Bagian 3

1. Mazhab-mazhab Fiqh dalam Islam (Ahl al-Ra’yi dan Ahl al-Hadits)

a. Sejarah Munculnya Mazhab

• Mazhab muncul Mazhab muncul pertama kali pada masa Khalifah Abbasiyah di bawah pemerintahan Khalifah al-Makmun, pada abad ke-2 H atau abad ke-8 M.
• Al-Makmun menjadikan fiqh Hanafi sebagai mazhab resmi nagara.
• Mazhab berkembang ke wilayah-wilayah lain di bawah kekuasaan Abbasiyah.
• Karena pengaruh politik, umat Islam menganggap bahwa berpegang teguh pada mazhab tertentu suatu keharusan.
• Karena didukung oleh kekuasaan, pemikiran mazhab terus berkemabng secara luas.

b. Faktor-Faktor Timbul Mazhab

• Puncak kejayaan ilmu pada masa Khalifah Abbasiyah.
• Kembali kepada karya-karya ulama.
• Kajian terhadap hukum-hukum Islam dianggap sudah selesai dan tuntas, tidak perlu ada ijtihad baru.
• Tertutupnya pintu ijtihad.
• Tiba fase jumud (stagnasi) atau kemandegan berpikir umat Islam.
• Berkembang sikap taqlid (taqlid mahdhi dan taqlid jamid)di kalangan umat Islam.
• Memilih mazhab yang disukai oleh masing-masing kelompok.

c. Mazhab-Mazhab Fiqh:

1) Ahl al-Ra’yi

• Mazahab Ahl al-Ra’yi berpusat di Irak. Mereka dinamakan Ahl al-Ra’yi karena dalam menetapkan hukum lebih mengutamakan akal atau rasio (ra’yu) daripada nash (al-Qur’an dan Hadits).
• Dalam memberikan fatwa, Ahl al-Ra’yi dipengaruhi oleh latar belakang cara berpikir Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah ibnu Mas’ud.
• Kalangan tabi’in yang mengikuti jejak mereka antara lain: Al-Qamah bin Qa`is dan Ibrahim al-Nakha’i.
• Penyebab mereka menjadi kelompok Ahl al-Ra’yi, adalah:
a) Kufah dan Bashrah adalah pusat atau markas tentara Islam.
b) Kufah merupakan tempat kedudukan Ali bin Abi Thalib yang banyak dikunjungi para sahabat terkenal pada masanya, seperti Abdullah ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqas, Ammar bin Yassir, dan Abu Musa al-Asy’ari.
c) Para sahabat tersebut menyampaikan hadits-hadits Rasulullah kepada penduduk Irak.
d) Para penduduk Irak merasa cukup dengan hadits-hadits yang disampaikan oleh para sahabat tersebut, sehingga tidak diperlukan lagi hadits-hadits dari ulama-ulama lain.
e) Irak adalaha negeri yang sangat dinamis dalam perkembangan pemikiran, terutama mengenai hukum Islam; dan juga sering terjadi konflik politik sehinga lahir kelompok Syi’ah dan Khawarij.
f) Irak dalam sejarah dikenal sebagai kawasan yang paling subur lahirnya hadits-hadits palsu untuk kepentingan golongan atau kelompok masing-masing.
g) Sebagai konsekuensinya, para ulama kemudian membuat syarat-syarat yang ketat untuk dapat menerima sebuah hadits; akhirnya mereka mengutamakan rasio (ra’yu), karena banyak hadits yang diragukan kesahihannya.

2) Ahl al-Hadits

• Mazhab Ahl al-Hadits berpusat di Hijaz (Makkah dan Madinah).
• Latar belakang pemikiran mereka dipengaruhi oleh cara berpikir Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar (keduanya sahabat Rasulullah), yang berpegang secara ketat pada nash (al-Qur’an dan Hadits).
• Mereka baru menggunakan akal (ra’yu) jika tidak terdapat dalilnya dalam al-Qur’an dan Hadits, biasanya untuk memecahkan persoalan-persoalan baru.
• Para pengikut atau pendukung mereka antara lain: Ibnu Musayyab, Mujahid ibnu Jubair, dan Atha’.

Tokoh-Tokoh Mazhab:

I. Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)

Namanya Abu Hanifah al-Nu’man, terkenal dengan Imam ahl al-Ra’yi. Beliau lahir di Kufah dan meninggal dunia di Baghdad. Muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Zufar bin Hudzail bin Qa`is sl-Kufi, al-Hasan bin Ziyad, dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani.

Pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur berkuasa di Baghdad, Abu Hanifah diundang ke Baghdad untuk menjabat hakim, tetapi beliau menolak berkali-kali, akhirnya beliau dijebloskan ke dalam penjara dan kemudian dihukum cambuk. Akhirnya, ia meninggal dunia di Baghdad dalam usia 70 tahun. Ciri yang paling menonjol adalah beliau lebih mengandalkan Qiyas dalam penetapan hukum.

Karya al-Syaibani:

• Zhahir al-Raiwayah
• Al-Mabsuth
• Al-Jami’ al-Kabir
• Al-Jami’ al-Shaghir
• Al-Sayr al-Kabir
• Al-Sayr al-Kabir

Pengaruh didunia:
• Irak
• Turki
• Affghanistan
• Bukhara
• Pakistan
• India
• Mesir teutama kalangan akademik Jami’ah al-Azhar

II. Imam Malik bin Anas (93 – 179 H/ 712 – 798 M)

Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits, lahir dan meninggal dunia di Madinah. Karena itu, ia terkenal dengan Imam al-Haramain.

Murid-muridnya:

• Al-Auza’i
• Sufyan al-Tsauri
• Sufyan bin ‘Uyainah
• Ibnu al-Mubarak
• Al-Syafi’i

Kitabnya: al-Muwaththa’, kitab hadits 1720 hadits, ditulis tahun 144 H atas perintah Khlifah Ja’far al-Manshur.
Ciri yang paling menonjol adalah sangat tergantung pada amalan (praktik) penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ahad yang shahih.

Pengaruh di Dunia:

• Marokko
• Mauritania
• Mali
• Al-Jazair
• Tunisia
• Libiya
• Mesir (Iskandariyah)
• Sudan Utara
• Sinegal
• Pantai Gading
• Nigeria
• Afrika Utara
• Hijaz

III. Imam al-Syafi’i (150 – 204 H/ 767 – 820 M)

Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Utsman bin syafi’i, lahir di Ghazzah (kawasan Palestina Selatan) dan meninggal dunia di Mesir. Beliau hafal Kitab yang ditulis Imam Malik, al-Muwaththa’. Tahuan 195 H beliau hijhrah ke Baghdad untuk belajar dari murid Imam Abu Hanifah, kemudian beliau berangkat ke Makkah. Tahun 198 H beliau kembali lagi ke Baghdad; dan tahun 199 H beliau berangkat ke Mesir. Kumpulan fatwa selama di Baghdad disebut Qaulun Qadim dan di Mesir disebut Qaulun Jadid. Beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun.

Guru-guru beliau: Malik bin Anas, Muslim bin Khalid, Ibnu ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad.

Murid-Muridnya: Ahmad bin Hanbal, al-humaidi, Abu Thahir bin al-Buwaithi, Muhammad bin Abdil Hakam.

Beliau pernah dipenjara dan disiksa karena tidak mengakui al-Qur’an sebagai makhluk tetapi qadim.

Karya-karyanya:

1) al-Musnad
2) Mukhtalif al-Hadits
3) al-Sunan

Dalam bidang Fiqh dan Ushul Fiqh

1) al-Umm
2) al-Risalah

Pengaruhnya di Dunia:

• Kairo
• Somalia
• Eritria
• Kenya Afrika Tuimur
• Zanzibar
• Hadramaut
• Pakistan
• Asia
• Suria
• Libanon
• Yaman (Yaman Selatan)
• Emirat Arab
• Indonesia
• Brunei Darussalam
• Malaysia
• Filipina

Ciri khasnya: pendapat lama (Qaulun Qadim) dan baru (Qaulun Jadid); dalam menetapkan hukum, tidak menggunakan istihsan dan mengutamnakan hadist Ahad.

IV. Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H/ 780 – 855 M)

Nama aslinya, Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal al-Marwazi, lahir dan meninggal dunia di Baghdad.

Beliau merantau ke Makkah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan lain-lain. Beliau adalah murid setia Imam al-Syafi’i. Beliau hafal 1000.000 hadis. Pendapat beliau menolak “al-Qur’an adalah makhluk.” Sebagai akibatnya, beliau disiksa dan di penjara.

Muridnya: Imam al-Bukhari, Muslim, Ibnu Abiddunya dan Ahmad bin Abi al-Hawarimi.

Karyanya:

Musnad al-Kabir berisi 40.000 hadits.

Pengaruhnya:

• Saudi Arabia
• Hijaz
• Qathar
• Mesir

Sebab Perbedaan Pendapat dalam Islam:

1) Perbedaan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
• Lafazh Musytarak (satu kata banyak makna)
• Amr (perintah) dan Nahy (larangan)
• Haqiqat (makna sebenarnya) dan Majaz (makna kiasan)
• ‘Amm (makna umum) dan Khash (makna khusus)
• Nasikh (yang menghapus) dan Mansukh (yang dihapus)
• Muthlaq (makna bebas, tidak terikat) dan Muqayyad (makna terikat)
• Manthuq (makna tekstual) dan Mafhum (makna yang dipahami, kontekstual)
• Ta`wil (pengalihan makna)
• Mujmal (tidak jelas pengertiannya) dan Zhahir (makna yang sudah jelas)

2) Perbedaan Cara Menilai tingkat Kesahihan Hadits
3) Perbedaan dalam menilai dalil yang bertentangan
• Ta’arudh antara dua Nash al-Qur’an
• Antara dua Nash Sunnah
• Antara Nash Qur’an dan Sunnah
• Antara dua Qiyas
• Antara Nash dengan Qiyas

4) Perbedaan dalam menilai ‘urf atau adat kebiasaan
5) Merujuk kepada dalil-dalil yang diperselisihkan

• Mafhum Mukhalafah
• Mafhum Muwafaqah
• Istishhab

2. Aliran-aliran Tasawuf dalam Islam (Ahl Basrah dan Kuffah)

1) Pengertian Tasawuf

• Suatu ilmu yang mempelajari tentang aspek kehidupan ruhaniyah (esoteric) dengan melakukan ‘uzlah dan zuhud dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan berupaya untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.

• Menurut Ma’ruf al-Kharakhi, tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk, termasuk meninggalkan kesenangan duniawi.

• Zakariya al-Anshari mengemukakan bahwa tasawuf ialah ilmu yang menerangkan tentang cara mensucikan jiwa dan cara pembinaan kesejahteraan lahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.

• Menurut Muhammad Amin al-Kurdi, tasawuf adalah suatu ilmu untuk mengetahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju kepada keridhaan Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya menuju pelaksanaan perintah-Nya.


2) Asal-Usul Tasawuf

a) Sumber Ajaran Tasawuf

• Pengaruh Kristen---kehidupan para Rahib (biarawan dan Biarawati)
• Pengaruh Filsafat---jasmani merupakan penjara bagi ruh (mistik Phythagoras)
• Filsafat Emanasi Plotinus---segala yang ada adalah pancaran dari Zat yang Esa
• Filsafat Mistik Neo-Platonis---segala wujud berasal dari Prinsip Pertama dan akan kembali lagi untuk bersatu dengan Prinsip Pertama.
• Ajaran Buddha---paham Nirwana dan kontemplasi.
• Ajaran Hindu—persatuan antara Atman dan Brahman (meninggalkan kehidupan duniawi agar lebih dekat dengan Tuhan).
• Ajaran Islam---doa’, zikir, khusyu’, tawadhu’, tawakkal, amanah, istiqamah, sabar, wara’, akhlakul karimah, dan perintah hidup zuhud.

b) Sebab-sebab Timbul Tasawuf

• Sebab Vertikal: muncul perasaan takut (khauf) dan cinta (hubb) kepeda Allah.
• Sebab Horizontal: formalisme dalam beragama (khusyu’, tawadhu’, taat, dan ikhlas); dan politik kultural (kejenuhan, kebosanan dan menghindari diri dari sistem kehidupan politik yang cenderung zalim dan menyimpang dari nilai-nilai moral dan jauh dari agama).

3) Esensi Tasawuf

• Kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
• Menjauhi kemewahan duniawi dan memilih hidup sederhana.

4) Tujuan Tasawuf

• Berupaya mendekatkan diri kepada Allah dengan membersihkan jiwa dan menjauhkan perbuatan dosa.
• Untuk dapat berhubungan langsung dengan Allah.

5) Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf
• Tasawuf Akhlaqi---aspek yang dapat dilihat dari perilaku sehari-hari, seperti: sopan santun, kelembutan, kejujuran, keramahan, kepedulian sosial, tawadhu’, dan kesederhanaan.
• Tasawuf ‘Amali---kajian tasawuf untuk dipraktikkan, seperti suluk, do’a, ratib, wirid, dan zikir.
• Tasawuf Falsafi---kajian tasawuf secara teoretis mengacu kepada pembahasan filsafat, misalnya konsep tentang ittihad, wahdatul wujud, hulul, ma’rifat, mahabbah, insan kamil, ahwal dan maqamat, dan sebagainya.

6) Tingkatan Pemahaman Ajaran Islam

a) Syari’at (amalan lahir yang difardhukan, yang tercakup dalam rukun Islam).
b) Tariqat (Perjalanan menuju pendekatan diri kepada Allah dengan cara tertentu, dan memadukan aspek lahiriyah dan batiniyah).
c) Haqiqat (inti dari syari’at dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi).
d) Ma’rifat (pengetahuan dan pengalaman tentang Tuhan melalui hati sanubari, sehingga jiwa menyatu dengan Tuhan.

7) Sistem Pembinaan Akhlak

a) Takhalli: mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi, dengan cara menjauhkan diri dari kemaksiatan dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.
b) Tahalli: menghiasi diri dengan cara membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbatan yang baik dan akhlak terpuji.
c) Tajalli: terungkapnya Nur Ghaib bagi hati sehingga terbuka jalan untuk mencapai Tuhan.

8) Aliran-Aliran Tasawuf

a) Ahl Kufah

Kufah merupakan kota tempat kelahiran tasawuf yang dikenal pada awalnya dengan istilah zuhud, dan pelaku zuhud dinamakan zahid. Para zahid Kufahlah yang pertama memakai pakaian yang terbuat dari kain wol kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang dipakai para penguasa Bani Umayyah. Para zahid terkenal di Kufah adalah Sufyan al-Tsauri (w. 135 H), Rabi’ ibn Hasyim (w. 150 H), dan Jabir ibn Hayyan (w. 190 H).

b) Ahl Basrah

Bashrah dikenal sebagai kota yang penuh dengan kemegahan dan kemewahan. Aliran zuhud mengambil corak yang lebih ekstrem daripada Kufah, sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik (mysticism). Para zahid terkenal di Bashrah adalah Hasan al-Bashri (w. 110 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).

• Pesan tentang zuhud, Hasan al-Bashri mengatakan: “Jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin terasa di tangan, tetapi racunnya membunuh.”

Dari kedua kota tersebut aliran zuhud pindah ke kota-kota lain. Di Persia (Khurasan) muncul tokoh yang bernama Ibrahim bin Ad-ham (w. 162 H), dan muridnya, Syafiq al-Balkhi (w. 194 H). Di Madinah muncul tokoh bernama Ja’far al-Shadiq (w. 148 H).

• Ibrahim bin Ad-ham berpesan: “Kamu diciptakan bukan untuk hidup senang…. Tinggalkan dunia ini karena cinta pada dunia membuat orang tuli serta buta, dan menjadi budak.”

Jadi, kemunculan tasawuf di Kufah dipelopori oleh Rabi’ ibn Hisyam; sedangkan tasawuf di Bashrah dipelopori oleh Hasan al-Bashri.

9) Jalan Menuju Tuhan
Jalan atau tahapan yang ditempuh oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah disebut maqamat (stages atau stations). Para ahli berbeda dalam menempatkan maqamat, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yang harus ditempuh seseorang menuju Tuhan.

• Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi membuat 10 maqamat dengan urutan sebagai berikut:

Taubat-----Zuhud-----Shabar-----Faqir-----Tawadhu’-----Taqwa-----Tawakkal-----Ridha-----Mahabbah-----Ma’rifah.

• Abu Hamid al-Ghazzali menyusun 8 maqamat dengan urutan sebagai berikut:

Taubat-----Shabar-----Faqir-----Zuhud-----Tawakkal-----Mahabbah-----Ma’rifah-----Ridha

• Abu Qasim ‘Abd al-Karim al-Quyairi menyusun 6 maqamat dengan urutan sebagai berikut:

Taubat-----Wara’-----Zuhud-----Tawakkal-----Shabar-----Ridha.

• Abu Nashr al-Sarraj al-Tusi menyusun 7 maqamat dengan urutan sebagai berikut:

Taubat-----Wara’-----Zuhud-----Faqir-----Shabar----Tawakkal-----Ridha.

10) Bentuk-Bentuk Zuhud

I. MAHABBAH

Mahabbah dari kata hubb artinya cinta. Maksudnya adalah cinta kepada Allah. Konsep mahabbah dicetuskan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, seorang tokoh sufi wanita yang berasal dari Bashrah, Irak. Menurut al-Adawiyah, mahabbah merupakan ungkapan perasaan rindu dan pasrah kepada Allah, sehingga seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada-Nya. Cinta kepada Allah memenuhi seluruh jiwanya sehingga ia menolak semua tawaran nikah dengannya, dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Allah yang dicintainya; dan siapa saja yang ingin menikahinya haruslah meminta izin terlebih dahulu kepada Allah. Dalam ungkapannya, ia mengatakan: “Cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada syaitan.” Kemudian ia menyebutkan: “Aku mencintai Nabi, tetapi cintaku kepada Pencipta memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk.”

II. MA’RIFAH

Ma’rifah (gnosis) artinya mengenal Allah dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Allah.Ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi ia adalah anugerah dari Allah (a direct knowledge of God based on revelation). Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung pada kehendak Allah dan rahmat-Nya. Karena itu, maka ma’rifah adalah pemberian Allah kepada sufi yang sanggup menerimanya.

Tokoh pencetus ma’rifah adalah Dzunnun al-Mishri (w. 860 M), sehingga ia dipandang sebagai “Bapak Paham Ma’rifah.”

Menurut al-Mishri ada tiga tingkatan ma’rifah:

1. Ma’rifah ‘Awwam: Allah yang Esa dipahami dengan perantaraan ucapan syahadat.
2. Ma’rifah ‘Ulama: Allah yang Esa dipahamai menurut logika (akal).
3. Ma’rifah Sufi: Allah yang Esa dipahami dengan perantaraan hati sanubari.

Ungkapan al-Mishri yang terkenal tentang ma’rifah adalah: “Aku mengetahui Allah dengan Allah, seandainya tidak karena Allah, maka aku tak akan mengetahui Allah.”

III. FANA’ DAN BAQA’

Fana’ artinya pemusnahan atau penghancuran diri; setiap fana’ harus diiringi baqa’ yang berarti tetap, terus hidup atau kekal. Fana’ dan baqa’ merupakan dua komponen kembar dua. Ini dapat dipahamai melalui ungkapan: “Jika kejahilan (ignorance) dari seseorang hilang, yang tertinggal ialah pengetahuan.”

Pelopor konsep fana’ dan baqa’ adalah Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M). al-Bustami menjelaskan tentang fana’ dan baqa’ melalui ungkapan: “Aku tahu pada Allah melalui diriku, sehingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”

IV. ITTIHAD

Ittihad adalah satu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Allah; sustu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi “hai Aku.” Dalam ittihad “identitas telah hilang, dan dengan sendirinya identitas telah menjadi satu.”

Paham ittihad ini dikembangkan oleh Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M), sebagai lanjutan dari konsep fana’ dan baqa’. al-Bustami mengungkapkan perasaan ittihad: “Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina; tetapi aku heran terhadap cintaku-Mu padaku, karena Engkau adalah raja Maha Kuasa.”

V. HULUL

Paham hulul dikemukakan oleh Husain ibn Manshur al-Hallaj yang lahir di Persia pada tahun 858 M; dan kemudian menetap di Baghdad. Pada tahun 922 M ia dihukum bunuh dan setelah badannya tak bernyawa lagi, lalu ia dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Ia dibunuh karena dituduh bahwa ia menyebarkan dan mengamalkan paham sesat, hulul.

Hulul menurut bahasa berarti mengambil tempat. Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Allah memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Menurut al-Hallaj, Allah kelihatannya mempunyai dua sifat dasar, yaitu: sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Sebaliknya, manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Kalau sifat-sifat kemanusiaan ini telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya; dan ketika itu ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Dengan cara beginilah seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan.

Perbedaan antara ITTIHAD al-Bustami dengan paham HULUL al-Hallaj adalah dalam ITTIHAD yang dilihat satu wujud; sedangkan dalam HULUL ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh.


VI. WAHDAT AL-WUJUD

Wahdat al-Wujud artinya kesatuan Wujud (unity of existence). Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul. Tokoh pelopor Wahdat al-Wujud adalah Muhyiddin ibn al-‘Arabi, dari Murcia, Spanyol (lahir tahun 1165 M).

Dalam paham Wahdat al-Wujud, nasut yang ada dalam hulul dirubah oleh Ibn al-‘Arabi menjadi al-khalq (makhluk) dan lahut menjadi al-haqq (Pencipta). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek sebelah luar disebut khalq; dan aspek sebelah dalam disebut haqq. Kata khalq dan haqq merupakan sinonim dari al-‘Ardh (accidence) dan al-Jawhar (substance); dan dari al-Zhahir (bagian luar) dan al-Bathin (bagian dalam).

Dengan demikian, paham Wahdat al-Wujud menegaskan bahwa dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan (al-Hqq) dan sifat kemakhlukan (al-Khalq). Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain Tuhan adalah wujud bayangan. Dan segala yang ada di alam ini merupakan bayangan Tuhan, sehingga Tuhan tidak berbeda dari bayangannya, ibarat berdiri di depan cermin. Jadi, bayangan yang ada dalam cermin sama dengan yang berdiri di depan cermin. •

Sabtu, 08 Januari 2011

THE REAL FIRST LADY: ISTERI SOEKARNO

INGGIT GARNASIH, ISTRI SOEKARNO: THE REAL FIRST LADY


Banyak dari kita yang mengagumi sosok Soekarno (kemudian ditulis: Sukarno) sebagai Presiden RI, perintis gerakan Non-Blok, Don Juan yang selalu dikelilingi wanita cantik, dan orator yang terkenal di seluruh dunia. Namun berapa banyak yang mengetahui perjuangan penuh liku dan kerikil tajam yang ia tempuh sebelum mencapai kesuksesan? Siapakah penyokong terbesarnya?

Sejarah mungkin telah meredupkan nama Inggit Garnasih, istri Sukarno yang paling berjasa menghantarkannya ke gerbang kejayaan. Buktinya, saya sama sekali tidak tahu, tidak ingat pernah mendengar nama itu sebelum diberi tahu Mbak Niken dan dipinjamkan biografinya. Setelah baca biografinya, saya berpikir, kok bisa sih perempuan sehebat ini tersembunyikan dari pelajaran sejarah Indonesia? Yang saya tahu, istri Sukarno ya Fatmawati, yang (dibandingkan dengan perjuangan Inggit) ‘hanya’ menjahitkan bendera pusaka merah putih itu. Satu lagi, Dewi Sukarno (karena terkenal kecantikannya). Tujuh lainnya saya tidak tahu. Dengan membaca buku ini, kita akan tahu bahwa; Inggit is the real Indonesian first lady.

Penulis menceritakan kisah ini dengan cantik dari berbagai sumber yang dapat dipercaya. Saya terhanyut dalam perjuangan, dan romantisme kisah cinta mereka. Terutama pengorbanan luar biasa yang diberikan Ibu Inggit dalam 20 tahun perkawinan mereka. Antara lain:

- Banting tulang membiayai rumah tangga dan kuliah Sukarno
- Membiayai kegiatan-kegiatan politik Sukarno, termasuk menyediakan makan para pemuda rekan-rekan Sukarno yang sering berdiskusi di rumahnya
- Melayani Sukarno lahir batin; membuatkan jamu, memijiti saat lelah dan sakit, memberi semangat saat jiwa Sukarno lemah dan putus asa
- Setia mengunjungi, membawakan makanan, buku, uang saat Sukarno dipenjara, meski jarak 20 km harus ditempuh dengan berjalan kaki
- Ikut serta bahkan membawa Ibunya sebagai tim yang mendampingi Sukarno saat diasingkan ke Ende, dipindah ke Bengkulu, Padang, lalu kembali ke Jawa

Sukarno saat itu sulit menggunakan ilmu arsitekturnya karena ia tidak sudi bekerja di bawah pemerintah Belanda, sehingga uang yang dihasilkannya hanya dari honor menulis di koran-koran. Sedangkan Inggit? Apapun ia kerjakan demi membuat Kusno kesayangannya, tetap menjadi singa podium yang gagah mengaum. Membuat bedak dan lulur, meracik jamu, menjahit baju, menjual kutang, bedak, rokok, dan menjadi agen sabun dan cangkul meskipun kecil-kecilan. Ia bahkan menggadaikan perhiasan, dan menjual tanah peninggalan orang tuanya demi membiayai hidup di pengasingan. Ialah ibu, kawan, kekasih bagi Sukarno.

Lalu tibalah saat yang telah ditentukan Sang Khalik. Tahun 1943, saat Sukarno hampir mencapai puncak kejayaannya. Ia berusia 40 tahun sedang Inggit 53 tahun. Jiwa lelakinya kembali muda, ia ingin memiliki keturunan, yang memang sulit didapat dari Inggit. Yang paling menyakitkan, keinginan ini dipicu oleh ketertarikan Sukarno pada anak angkat mereka, Fatmawati. Ia cinta Fatma, sekaligus menyayangi Inggit. Namun prinsip yang dipegang erat oleh keluarga Inggit, pantang dimadu. Akhirnya terjadilah perceraian itu, saat segalanya telah Inggit berikan. Ia dikembalikan ke pangkuan keluarga dengan membawa dua batu ceper yang selalu ia gunakan membuat bedak dan lulur guna menyambung hidup.

Waktu berjalan, masa berganti. Persembahan cinta Inggit yang agung seakan memudar dan terlupakan. Indonesia merdeka dan memberi kekuasaan tertingginya pada Sukarno, saat Fatmawati menjadi istrinya. Lalu belasan tahun kemudian, saat anak-anak (yang menjadi alasan perceraian Sukarno-Inggit) telah lahir dari Fatmawati, hati Sukarno menjelajahi wanita-wanita cantik lain yang dinikahi selang satu sampai tiga tahun saja. Sebutlah Hartini, Dewi, Kartini, Haryati, Yurike, dan Heldy. Entah karena alasan apa, mungkin hanya karena ia adalah pencinta wanita. Sesederhana itu.

Wanita-wanita cantik yang dipuja dan dinikahi seorang gentlemen, gagah, punya kekuasaan, bisa ditebak bagaimana sikapnya. Ny. H, saat ingin pergi menemui Sukarno dan mobilnya mogok, ia marah-marah lalu minta dikirimi mobil dari istana segera. Saat mobil tak kunjung datang dan ia tidak bisa berangkat, ia merajuk dan menangis kesal setelah bertemu Sukarno. Ny. D, saat acara kenegaraan di Tokyo, menangis dan berteriak-teriak hanya karena namanya tidak dicantumkan di undangan resmi. Manja. Suatu sifat yang tidak pernah dimunculkan oleh Inggit. Ia cadas; tegar, kuat, dan bermartabat.

Simaklah bagaimana ia menguatkan Sukarno di saat-saat paling lemah dalam hidupnya.

Setelah lulus dan terlibat pergerakan politik, pemerintah Belanda menganggapnya sebagai ancaman sehingga Kusno ditangkap, dipenjara di Bantjeuy. Kemudian ia dipenjara lagi di Sukamiskin. Praktis, ia tidak bisa menghidupi keluarga. Justru Inggitlah yang memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus kesejahteraan Sukarno di dalam penjara.

[Dengan muka redup, suamiku mendekat, lalu berkata perlahan-lahan, “Inggit, maafkanlah aku. Maafkanlah, Inggit. Aku telah melalaikan tugasku sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Aku telah melalaikan Inggit, melalaikan tugasku sebagai suami. Aku telah menyusahkanmu, Inggit.”]

[“Tidak kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati? Di rumah segalanya beres. Kan aku masih punya dua tangan. Dan aku bisa bekerja dan menghasilkan cukup uang untuk mengatur kehidupan rumah tangga. Beres, kasep.. beres!” aku membesarkan hatinya.]

Lalu saat di pengasingan di Ende, Sukarno terjangkit malaria. Saat itu, kondisi jiwa Sukarno sangat lemah. Berkali-kali ia mengeluh kepada Inggit. Ia pernah berucap keinginan untuk mebuat taktik berpura-pura bekerja sama dengan pemerintah agar segera kembali ke Jawa. Inggit sebaliknya menolak dan memandang Sukarno berjiwa lemah.

[“Kus, kamu ini bagaimana? Baru mendapatkan ujian sekecil ini sudah tak kuat. Bagaimana nanti jika jadi pemimpin? Cobaan pasti lebih berganda. Mestinya Kus bisa lebih sabar dari kami. Masak calon pemimpin berjiwa selemah ini? Percayalah, ini bukan untuk selamanya, ini hanya sementara. Buktikan tak lama lagi kita pasti keluar dari pulau terpencil ini. Nggit yakin itu, sebab Tuhan tak akan mungkin terus-menerus menguji hambaNya. Dia masih sayang kepada kita. Percayalah.”]

Saat Ibu Inggit menemui Sukarno terakhir kalinya di dalam peti jenazah, ia berucap, “Ngkus, geuning Ngkus the miheulaan, ku Nggit didoakeun..”. Dan itu bukanlah bukti terakhir cinta Inggit pada Sukarno. Tahun 1980 saat berita mengenai kelemahan politik Sukarno mencuat, Ibu Inggit memberikan sanggahannya pada wartawan yang mewawancarainya.

Istri-istri Sukarno mencicipi manisnya kehidupan di istana, diberi rumah di Kebayoran, Slipi, Gatot Subroto, sementara Inggit hanya mampu menatap puing-puing rumah panggung di Jalan Ciateul yang penuh memori kebahagiaan, kesengsaraan, dan perjuangan bersama Kusno kesayangannya. Kamar dan rumahnya begitu sederhana. Harta miliknya hanyalah radio Philips buatan tahun 1949, sebuah foto Bung Karno tersenyum manis, sebuah teropong dan perangkat makan sirih serta sebuah pispot. Ditambah dua buah balai-balai dan sebuah lemari kayu murahan.

[“Yang lalu sudahlah berlalu, aku telah mengantarkan Kusnoku, Kasepku, Kesayanganku, Fajarku ke gerbang kebahagiaan, gerbang cahaya yang dari dulu diimpikannya.”]

Rasanya tidak berlebihan kalau saya berpikir, ‘Tanpa dukungan Ibu Inggit, mungkin tidak akan ada putra terbaik bangsa yang kemampuan dan kharismanya diakui di berbagai negara. Mungkin sekarang kita masih akan sengsara dalam penjajahan’. Dan saya tidak tahan untuk tidak berpikir, ‘Di antara sekian banyak istri Sukarno, siapakah yang akan dipilihnya menjadi permaisuri di akhirat nanti?’

Lalu satu lagi, ‘Seandainya Sukarno memiliki keturunan dari Ibu Inggit, akan jadi sehebat apakah dia?’

Bravo…!

ISTERI-ISTERI SOEKARNO

DARI SITI OETARI SAMPAI YURIKE SANGER
Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger
Julius Pour

"BANYAK suami menilai istrinya bagaikan mutiara. Tetapi sebenarnya, mereka justru merusak dan tidak menghargai kebahagiaan istrinya? Mereka memuliakan istrinya, mereka cintai sebagai barang berharga, mereka anggap 'mutiara', tetapi sebagaimana orang selalu menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya dalam kurungan atau 'pingitan'. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, begitu katanya. Melainkan untuk menjaga, untuk menghormati, untuk memuliakan. Perempuan mereka anggap sebagai Dewi, tetapi selalu mereka jaga, awasi dan selalu 'dibantu' sehingga menjadi insan yang sampai mati justru tidak akan pernah
bisa menjadi dewasa"Hal ini dikemukakan Soekarno dalam Sarinah, buku yang secara rinci mengemukakan pandangan Bung Karno terhadap perempuan. Bahwa mereka, adalah bagian mutlak perjuangan kemerdekaan, oleh karena itu peran sertanya sejajar dan sangat dibutuhkan.

Sarinah diterbitkan di Yogyakarta tahun 1947, di tengah perang kemerdekaan. Tetapi yang menarik, buku tersebut sengaja ditulis Bung Karno. Sementara kita tahu, hampir semua karyanya pada umumnya berasal dari transkrip pidato dan jarang yang sengaja dipersiapkan sebagai buku. "Atas permintaan banyak orang, apa yang pernah saya kursuskan, kemudian saya tulis dan saya lengkapi, Sarinah inilah hasilnya," katanya dalam pengantar buku.

Awal tahun 1946, akibat tekanan politis dari Pemerintah Belanda yang tidak menghendaki bekas jajahannya merdeka, Pemerintah Republik terpaksa mengungsi dari Jakarta. Dan di Yogya, setiap dua minggu sekali, Bung Karno menyelenggarakan kursus wanita di ruang belakang Istana Kepresidenan. Bahan-bahan kursus, dengan bantuan Mualliff Nasution, sekretaris pribadinya, dikumpulkan, dilengkapi, dan ditulis ulang oleh Bung Karno, dipersiapkan menjadi buku.

Bahwa judul bukunya demikian, alasannya sederhana. "Saya namakan Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya telah menerima rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima pelajaran untuk mencintai orang kecil. Dia sendiri orang kecil, tetapi budinya besar. Semoga Tuhan membalas kebaikannya."
Sarinah hadir dalam kehidupan Bung Karno sejak tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, pertengahan tahun 1917. Sebagaimana dikisahkan melalui Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, dia dilahirkan di Surabaya (1901) dengan nama Kusno. Oleh karena sejak kecil sering sakit, sesuai kebiasaan setempat, ayahnya mencari nama baru, Soekarno. "Karena itu, Soekarno menjadi namaku sebenarnya dan satu-satunya. Pernah ada wartawan goblok menulis nama awalku Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Soekarno. Dan memang, dalam masyarakat kami, tidak luar biasa memakai satu nama.

Di Mojokerto, Bung Karno kecil tinggal bersama ayahnya, seorang guru, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ibunya, Ida Ajoe Njoman Rai, keturunan bangsawan Bali, dan Sukarmini kakak kandungnya yang dua tahun lebih tua. Sesudah beberapa waktu, datang orang kelima, sosok yang disebutnya, "Bagian rumah tangga kami. Dia tidak pernah kawin, tidur dengan kami, makan apa yang kami makan, tetapi tidak mendapat gaji sepeser pun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih, tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Dan mulai mengajarku mencintai rakyat."
Dengan nada plastis yang digemarinya, Bung Karno melukiskan, "Selagi Sarinah memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku selalu duduk di sampingnya. Dia kemudian mengatakan, Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia pada umumnya."
Bung Karno menambahkan, "Sarinah adalah nama biasa. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku."

Kurang kasih sayang ibu
Sangat menarik mencermati kedekatan Bung Karno dengan ibunya, sebagaimana pernah dipesankan Sarinah. Ternyata, tidak ada buku atau tulisan yang khusus dipersembahkan Bung Karno kepada ibunya. Dalam otobiografinya, namanya hanya sepintas disebutkan, memberikan pangestu sewaktu Bung Karno masih kecil. Selain itu, sebelum tidur, sering menceriterakan kisah kepahlawanan. Dan semasa perang kemerdekaan, menghardik para gerilyawan yang mencoba menghindari pertempuran.

Bagaimana sesungguhnya keakraban Bung Karno dengan ibunya, dan dengan begitu penghargaannya kepada kaum wanita, sempat menumbuhkan beragam analisis. Kita bisa saja berspekulasi, oleh karena terlampau diagungkan, sosok Sarinah mungkin hanya imajiner. Sulit mencari bukti, apakah Sarinah benar-benar ada. Dan jika demikian, apakah memang begitu besar perannya dalam membentuk kepribadian Bung Karno?
Prof SI Poeradisastra, dalam kata pengantar buku Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (terbit tahun 1981) pernah mempersoalkan masalah ini. Ada foto Bung Karno sedang menjumpai ibunya. Dia berlutut di hadapan wanita tua tersebut dengan sangat khidmat. Tetapi, demikian Poeradisastra, dua hal tetap menjadi pertanyaan.

Pertama, mengapa Ida Ajoe tidak pernah menengok putranya, baik ke Jakarta maupun ketika masih berada di Yogyakarta? Hal tersebut tidak dia lakukan, bahkan juga sesudah tahun 1950, sewaktu kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui dunia internasional; ketika suasana mulai tenang dan Bung Karno telah dikukuhkan (lagi) sebagai presiden.
Perjalanan ke Jakarta dilakukan hanya saat suaminya wafat di zaman Jepang. Sedangkan sampai sekitar tahun 1950, sewajarnya ibu ini belum terlalu sepuh untuk tidak sanggup mengunjungi putra dan cucunya yang sudah menetap di Istana Negara, Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kedua, mengapa sampai ada dua monumen kasih sayang dari Bung Karno kepada Sarinah? Buku tentang perjuangan kaum wanita, dan nama toko serba ada pertama di Indonesia. Tetapi, justru tidak ada kenangan khusus untuk Ida Ajoe Njoman Rai?
Atas dasar dua pertanyaan tersebut, Poeradisastra menarik kesimpulan, "Bung Karno adalah penderita kekurangan kasih sayang ibu, sehingga dia akhirnya malah mengidealkan dan mengidolakan Sarinah, sebagai wanita tua yang sepenuhnya memberikan kasih sayangnya."

Dalam impian, "kehilangan" sebuah kasih sayang mungkin saja bisa dipenuhi dengan cara menampilkan sosok Sarinah. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, perasaan "kehilangan" tersebut tampaknya baru bisa diperoleh sesudah hadir Inggit Garnasih, induk semang Bung Karno ketika berkuliah di THS Bandung.

Benih cinta pertama
"Aku sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan cinta dengan mereka," begitu pernyataan Bung Karno. Alasannya sangat luas dan mendasar. Sebagai lelaki tampan yang sejak remaja sangat percaya diri, Bung Karno mengaku, "Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk bisa memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk kepada kemauanku."

Mungkin saja semua pernyataan tersebut benar. Tetapi juga mungkin, daya khayal Bung Karno sangat melambung. Oleh karena dia kemudian mengungkapkan, cinta pertamanya tertuju kepada Pauline Gobee, anak gurunya. Kemudian muncul deretan nama, semuanya gadis keturunan Belanda, yakni Laura, Raat, Mien Hessels.

Bagaimanapun, sesuatu yang semula mungkin belum sempat dia bayangkan, hidup perkawinan justru sudah dimulai Bung Karno ketika usianya belum genap 20 tahun. Tahun 1921, di Surabaya, dia menikah dengan Siti Oetari, gadis usia 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemilik rumah tempatnya menumpang ketika dia di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tjokroaminoto, ayah mertuanya, membantu mencarikan tempat indekos dengan menghubungi teman lamanya, Sanusi, seorang guru.

Bencana sering datang bagai pencuri, mendadak dan tidak terduga. Begitu Bung Karno tiba di Bandung, dijemput Sanusi di stasiun dan langsung diajak ke rumahnya, api gairah sudah mulai menyala. "Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tetapi jelas ada keuntungan tertentu di rumah ini. Keuntungan utama justru berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap. Raut tubuhnya tampak jelas, dikelilingi oleh cahaya lampu dari arah belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga cantik warna merah melekat di sanggul dengan senyum menyilaukan mata. Namanya Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi."

Menurut Bung Karno, "Segala percikan api yang memancar dari anak lelaki berumur dua puluh tahun, masih hijau dan belum punya pengalaman, telah menyambar seorang perempuan dalam umur tiga puluhan tahun yang matang dan berpengalaman." Percikan gairah tersebut tidak hanya berhenti membakar Bung Karno. Secara bersamaan menghanguskan simpul tali perkawinan yang baru satu tahun dia jalani. Meskipun alasannya, kata Bung Karno, "Oetari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamar pun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seseorang yang baru saja kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak."

Siti Oetari dicerai dan dikembalikan kepada Tjokroaminoto. Sementara itu, menurut Bung Karno, Sanusi adalah seorang tukang judi yang setiap malam terus-menerus menghabiskan waktunya di tempat bilyar. Maka mudah diduga apa yang bakal terjadi, "Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan pada hari-hari itu belum ada televisi. Hanya Inggit dan aku berada di rumah yang selalu kosong. Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian itu kemudian tumbuh".

Apa pun alasannya sehingga mereka berdua menjadi dekat, Poeradisastra tetap menilai Inggit Garnasih seorang wanita luar biasa. "Kekasih satu-satunya yang mencintai Soekarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Soekarno dalam kemiskinan dan kekurangan."

Ditambahkannya, "Saya harus meminta maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Soekarno, dengan segala jasa dan segi positifnya masing-masing. Tetapi saya harus mengatakan bahwa hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta. Kekurangannya, Inggit tidak melahirkan anak."

Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Bung Karno sehingga lebih dewasa dalam bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita Sunda ini bagaikan induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan. Janda cerai selama empat bulan tersebut kemudian menikah dengan Bung Karno pada pertengahan tahun 1923.

Selama 20 tahun hidup perkawinannya bersama Bung Karno, dengan setia dia menjenguk suaminya ketika disekap di Penjara Sukamiskin. Dengan kesetiaan luar biasa mengikuti suaminya menjalani pengasingan di Flores, sambil mengajak ibu dan dua anak angkatnya. Asmi, ibu mertua Bung Karno, tutup usia ketika mendampingi menantunya di tempat pembuangan.

Memulai hidup baru lagi
Ada sebuah kalimat bersayap, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Pada usia tersebut Bung Karno mungkin ingin merintis hidup baru, dengan memakai alasan sangat mendasar, soal anak.

Dengan kebesaran jiwa yang sulit dicari bandingannya, Inggit akhirnya menyerahkan Bung Karno kepada Fatmawati, bekas putri angkatnya dalam masa pembuangan di Bengkulu. Gadis yang ternyata berani dan bahkan sudah menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya, dan yang kemudian menjadi istri dari bekas suami ibu angkatnya.
Bencana dimulai dengan kedatangan Hassan Din bersama istri dan putrinya, Fatmawati, untuk mencari tempat indekos di Bengkulu. Secara kebetulan usia anak gadis tersebut sepadan dengan Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno. Maka hari itu juga, Fatmawati langsung ditinggal pulang dan diserahkan pengawasannya kepada pasangan Bung Karno-Inggit. Pesona Fatmawati dilukiskan oleh Bung Karno, "Rambutnya seperti sutera di belah tengah dan menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota baru keluarga kami." Sesudah beberapa waktu tinggal bersama, Bung Karno berkomentar, "Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajari dia bermain bulu tangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir, sementara alunan ombak berbuih putih memukul-mukul mata kaki."

Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin bertambah erat. Meskipun, menurut Bung Karno, "Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah sekadar pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih 20 tahun dari padanya dan dia memanggilku Bapak. Bagiku dia hanya seorang gadis yang menyenangkan, salah seorang dari anak-anak yang selalu mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang mulai melarut dalam kehidupanku. Yang kuberikan kepadanya kasih sayang seorang bapak."

Walau disembunyikan, akhirnya Inggit menyadari terjadinya percikan bunga-bunga cinta. "Aku merasa ada sebuah percintaan sedang menyala di rumah ini. Sukarno, jangan coba-coba menyembunyikan diri. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya."

Bung Karno masih mencoba berkilah, "Jangan begitu. Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri."

Inggit mengingatkan, "Menurut adat kita, perempuan tidak rapat kepada laki-laki. Kebiasaan anak gadis lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Engkau harus mendudukkan hal ini menurut cara yang pantas."
Bung Karno kemudian semakin sadar, "Fatmawati sudah menjadi perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan ada kabar akan segera dikawinkan. Usia istriku mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia utama dalam kehidupan. Aku ingin anak, istriku tidak dapat memberikan. Aku menginginkan kegembiraan hidup, Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal demikian"
Menurut versi Bung Karno, dengan cara sopan dia sudah pernah mengajukan izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku Kuantar ke Gerbang, karya Ramadhan KH berdasar wawancara dengan Inggit Gar-nasih, Bung Karno sambil menahan tangis bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara kita tidak usah bercerai?"
"Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau harus dimadu, pantang aku)," jawab Inggit sengit. "Boleh saja kau kawin, tetapi ceraikan diriku lebih dulu."

Akhirnya Bung Karno menceraikan Inggit setelah Jepang menduduki Indonesia dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada bulan Juni 1943, Bung Karno kawin dengan Fatmawati memakai cara nikah wakil, sebab mempelai putri masih tertinggal di Sumatera. Bulan November 1944, lahir putra pertama, Mohammad Guntur. Bung Karno langsung mengucapkan syukur, "Aku tidak sanggup melukiskan kegembiraan yang diberikan kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya, Tuhan Maha Pengasih mengkaruniai kami seorang anak."

Menyembunyikan nama istri
Dalam autobiografinya yang terbit bulan November 1965 tetapi dikerjakan Cindy Adams sejak tahun 1963, Bung Karno mengungkapkan semua kisah perkawinannya, mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Tetapi, melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Naoko Nemoto (Maret 1962), Haryati (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964).

Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy Adams, terbit tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Oleh karena itu buku tersebut juga masih melupakan Yurike Sanger, pelajar SMA berusia 16 tahun, bekas anggota "pagar ayu" Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kepada Majalah Swara Kartini, Yurike sempat mengungkapkan bahwa Bung Karno pernah berjanji kepadanya, "Adiklah, istri Mas yang terakhir".

Di antara semua pernikahannya, yang kemudian memicu persoalan justru ketika menikahi Hartini. Wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini mengungkapkan, bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah. "Bapak langsung menyatakan sangat tertarik kepada diri saya." Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima orang anak, muncul komentar spontan, "Benar, sudah lima orang anak dan masih tetap secantik ini?"
Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno menyebutkan, "Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut." Jatuh cinta bisa terjadi kapan dan di mana saja. Tetapi, yang kemudian menyulut reaksi pro-kontra, khususnya di kalangan wanita pada masa itu, oleh karena Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati, sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima orang anak.

Suasananya lebih diperburuk oleh karena secara kebetulan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membicarakan Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1952 untuk mengatur tunjangan pensiun bagi janda pegawai negeri. Isu paling utama, bagaimana pembayaran gaji dilakukan jika istri pegawai negeri lebih dari satu? Isu ini kemudian mengangkat persoalan, apakah seorang pegawai negeri boleh mengambil istri baru? Dan kalau diizinkan, bagaimana persyaratannya?

Dengan munculnya isu itu, sejumlah ormas wanita penentang keputusan pemerintah melakukan unjuk rasa dan mengirim delegasi ke berbagai pihak. Termasuk menghadap Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menjalin percintaan backstreet dengan Hartini. Mereka meminta Presiden memberi teladan dan ikut memperjuangkan lahirnya sebuah undang-undang perkawinan yang adil, sebagaimana dulu semangatnya pernah disebutkan Bung Karno dalam buku Sarinah. Para pimpinan ormas wanita tersebut mengemukakan, seandainya Presiden menghendaki poligami, minimal dia wajib untuk mengikuti ketentuan hukum Islam dan harus meminta persetujuan istri pertama lebih dahulu.

Ketegangan antara Bung Karno dengan ormas-ormas wanita penentang poligami mencapai puncaknya ketika Fatmawati, berkat dukungan kuat dari sebagian besar ormas wanita memutuskan "meninggalkan Istana Negara dan memulai kehidupan baru, terpisah dari suaminya."

Dilengkapi tekad Bung Karno yang tampaknya sudah tidak bisa disurutkan, setelah menjalin cinta gelap antara Jakarta-Salatiga, bulan Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Bertindak sebagai wali nikah, oleh karena Bung Karno tidak bisa hadir, komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo.

Bung Karno mengungkapkan, "Fatmawati sangat marah atas perkawinan ini. Sebetulnya dia tidak perlu marah. Istriku pertama dan juga yang kedua adalah pemeluk Islam yang saleh serta menyadari hukum-hukum agama." Ditambahkannya, "Aku tidak menceraikan Fatma karena anak kami sudah lima orang. Bagi orang Barat, mengawini istri kedua selalu dianggap tidak beradab, tidak sopan dan tindakan kejam."
Sayang, Bung Karno ternyata tidak hanya berhenti sampai kepada istri kedua. Cindy Adams tanpa sengaja bertemu Haryati di Istana Tampaksiring, Bali, semasa mengikuti kunjungan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Tampaknya, Haryati waktu itu sudah lebih dulu dikirim ke Bali untuk mendahului rombongan resmi.

Haryati menjelaskan, "Kami menikah di Jakarta bulan Mei 1963 dan Bapak berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat luas. Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru
23 tahun." Kesulitan semacam ini tidak hanya menimpa Haryati. Oleh karena situasi serupa juga pernah dijalani Ratnasari Dewi. Dalam My Friend the Dictator, Dewi mengungkapkan, "Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang". Pertemuan pertama tersebut membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu.

Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama sangat indah, Ratnasari Dewi. Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko, seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki Naoko, melakukan bunuh diri. "And I was so alone. I had lost my whole family."

Dewi menjelaskan, "Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan bersembunyi di rumah. Satu-satunya kegembiraan, Bapak sangat memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya, Bapak dengan setia membawakan buah-buahan."

Kelemahan dan kekuatan
Tulisan ini bukan untuk menunjukkan kelemahan kepribadian Bung Karno sebagai seorang lelaki. Tetapi ingin mengungkapkan betapa kemudian Bung Karno melupakan pesan Sarinah, semakin berani menyerempet bahaya, dan bahkan, melalaikan persyaratan aturan perkawinan menurut hukum Islam. Ketika otobiografi Bung Karno terbit, para istri Bung Karno kecewa. Hartini sangat marah, sebab namanya hanya muncul selintas, sedangkan Inggit dan Fatmawati diceriterakan panjang lebar.
Ratnasari Dewi bahkan sempat mengamuk, hanya karena namanya sama sekali tidak disebut. Yang justru paling senang dengan buku tersebut adalah Bung Karno, oleh karena dia langsung memerintahkan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada malaikat di antara manusia, setiap orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Wanita pada satu sisi merupakan titik lemah Bung Karno, tetapi di sisi lain sesuatu yang mampu memberikan gairah dan semangat hidup. "I'm a very physical man. I must have sex every day," katanya dengan kebanggaan meluap kepada Cindy Adams.

Maka, sebuah kelemahan bisa berubah menjadi kekuatan, tergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapi. Tetapi ketika usianya sudah semakin lanjut, dilengkapi keruwetan pribadi akibat semakin kompleksnya pengaturan jadwal oleh karena yang harus dikelolanya semakin banyak, ketajaman analisis yang selama ini dimiliki Bung Karno mulai tumpul.

Akan tetapi, seberapa besar minus nilai Bung Karno sebagai lelaki, sama sekali tidak menghilangkan perannya sebagai pejuang kemerdekaan. Dan juga tidak akan melenyapkan sumbangannya dalam memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan Tanah Airnya, Indonesia, yang sangat dicintainya.

Mengamati perjalanan Bung Karno-sebagai akibat masa kecil yang mungkin kurang bahagia-dia berusaha mengimbangi dengan mengembangkan daya khayal sangat dahsyat. Khayalan tersebut tercipta dengan hadirnya sosok Sarinah; seorang wanita yang jauh lebih tua, lebih matang sekaligus punya kemampuan melindungi dan memberikan selimut kehangatan kepada batin Bung Karno. Oleh karena itu menjadi jelas, mengapa perkawinannya dengan Siti Oetari hanya bertahan kurang dari dua tahun. Kekosongan tersebut kemudian dipenuhi Inggit Garnasih, wanita sederhana yang rela mengabdi dengan sepenuh jiwa raganya.

Sering orang mempersoalkan, derita Bung Karno jauh lebih ringan dibanding para pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Mereka diasingkan ke Digul atau Banda, sementara Bung Karno "hanya" ke Flores dan Bengkulu. Tetapi, di Digul atau Banda, mereka tidak terpencil, karena ada ratusan atau paling tidak sejumlah rekan lain dengan semangat dan daya nalar setara. Di sisi lain, Bung Karno harus tinggal sendirian, tanpa ada teman dengan tingkat intelektual sepadan di sekitarnya. Sungguh beruntung, dalam kesendirian tersebut di sampingnya tetap hadir Inggit Garnasih.

Sesudah Inggit terpaksa dan dipaksa surut ke belakang, frekuensi "ketergelinciran" Bung Karno semakin sering terjadi. Bung Karno yang merasa tetap perkasa, semakin tua justru semakin tambah percaya diri. Malahan mungkin merasa tidak memerlukan sayap pelindung, yang selama ini tanpa dia sadari menghangatkan batinnya.

Ia mengkhayalkan dirinya burung rajawali yang sanggup terbang sendirian menjelajah angkasa luas. Ia mungkin lupa, dalam kekosongan jiwa, rajawali tersebut telah merapuh, tidak ubahnya burung pipit yang selalu harus berusaha mencari perlindungan.
* Julius Pour Wartawan Kompas.

soekarno file di kompas

Siti Oetari
Inggit Garnasih
Fatmawati
Ratna Sari Dewi
Yurike Sanger
Haryati