Kamis, 30 September 2010

PENDIDIKAN ANAK


PENDIDIKAN ANAK MENURUT AL-QUR’AN

Oleh: Hasan Basri al-Mardawy



Prolog

Anak merupakan amanah yang dititipkan Allah kepada orang tua. Anak juga merupakan perhiasan dunia yang penuh ujian dan cobaan bagi orang tua. Anak juga diumpamakan ibarat kertas putih yang memungkinkan ditulis apa saja di atasnya. Semua orang tua mengharapkan agar anak-anak mereka menjadi orang yang berguna baik bagi agama, masyarakat, maupun bagi negara. Untuk mencapai tujuan ini maka anak perlu dididik ke arah yang benar, yaitu arah yang diridhai Allah. Tanggung jawab dalam pendidikan anak adalah orang tua (ayah dan ibu). Karena itu, ayah dan ibu merupakan guru pertama bagi anak. Selain itu, pendidikan anak juga merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru di sekolah, dan pemerintah. Namun, rumah tetap menjadi pusat pendidikan yang paling sentral bagi anak.

Tanggung Jawab Orang Tua
Bagaimana pun rumitnya dalam mendidik anak, orang tua memainkan peranan penting dalam pendidikan anak sampai anak itu dewasa. Menurut hadits Rasulullah SAW hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua ada tiga:

1.      Memberi nama yang baik setelah anak dilahirkan.
2.      Mengajarkan membaca dan menulis sesudah anak berakal.
3.      Menikahkannya jika sudah dewasa.

Dalam hadits yang lain secara rinci, Rasulullah menjelaskan ada lima hal yang perlu dilakukan orang tua ketika kelahiran anak:

1.      Tahnik, yaitu mengusap manisan (seperti korma, madu, atau sejenisnya) pada lidah atau langit-langit mulut anak sambil berdoa agar Allah memberkatinya. (Hadits Riwayat Bukhari)
2.      Do’a, yaitu memohon kepada Allah agar anak tersebut dilindungi oleh Allah dari gangguan dan godaan syaitan: a’uzu bikalimatillahit tammah, min kulli syaithanin wa hammah, wa min kulli ‘ainin lammah. (Hadits Riwayat Bukhari)
3.      Tasmiyah, yaitu memberi nama anak dengan nama yang bagus pada hari ketujuh dari kelahirannnya. (Hadits Riwayat Abu Dawud, Turmuzi, dan Darimi).
4.      Halq, yaitu mencukur rambut pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Turmuzi).
5.      Zibhah, yaitu menyembelih satu ekor kambing untuk anak perempuan, dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki pada hari ketujuh dari kelahirannya. (Hadits Riwayat Ahmad dan Turmudzi).

Seluruh rangkaian pelaksanaan seperti tersebut di atas, dalam Islam, disebut ‘aqiqah. ‘Aqiqah hukumnya sunat mu’akkadah (sunat yang sangat dianjurkan). Jika tidak mampu menyediakan kambing, maka melaksanakan empat hal saja (tahnik, do’a, tasmiyah, dan halq) sudah memadai. ‘Aqiqah hanya dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pada usia 7 hari, atau 14 hari, atau paling lambat 21 hari. Adapun bagi yang melaksanakan sesudah itu, tidak lagi disebut ‘aqiqah. Tujuan ‘aqiqah adalah untuk membebaskan anak dari pegadaian (murtahan), sehingga anak sudah memiliki identitas dan sudah jelas pula identitas orang tuanya.

Kewajiban Mendidik Anak

Anak wajib diberikan pendidikan baik di dalam keluarga, di sekolah, maupun di dalam kehidupan sosial. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa orang tua wajib mendidik anaknya agar terhindar dari siksaan api neraka (At-Tahrim: 6). Selain itu, dalam surat An-Nur ayat  58 yang menjelaskan tentang etika hubungan anak dengan orang tua di dalam rumah dalam tiga waktu:

Ø      Sebelum shalat subuh
Ø      Siang hari
Ø      Sesudah shalat Isya

Ketiga waktu tersebut merupakan aurat bagi orang tua yang tidak boleh dilihat oleh anak. Ini merupakan pendidikan moral dan sekaligus pendidikan seks bagi anak. Di samping itu, Rasulullah menganjurkan agar anak laki-laki dan perempuan dipisahkan tempat tidur ketika mereka sudah berumur 10 tahun.

Materi Pendidikan
Mengenai materi pendidikan dijelaskan secara rinci dalam surat Luqman ayat 12-19.

1.      Pendidikan ‘Aqidah (Luqman: 12)
2.      Pendidikan Akhlak (Luqman: 13-15)
3.      Pendidikan Ibadah (Luqman: 16-17)
4.      Pendidikan Dakwah (Luqman: 17)
5.      Pendidikan Sosial (Luqman: 19)

Metode Pendidikan
Metode adalah cara yang ditempuh oleh pendidik dalam membimbing dan memberikan pelajaran kepada anak sehingga dapat tercapai tujuan yang diharapkan.

1.      Metode Uswah Hasanah (Keteladanan)
2.      Metode Tabsyir (Menggembirakan)
3.      Metode Tanzir (Memberi hukuman)
4.      Metode Hiwar (Dialog/Tanya Jawab)
5.      Metode Tafakkur/Tadabbur (Perenungan/Penghayatan)

Tujuan Pendidikan


1.      Agar anak menjadi hamba Allah yang bertaqwa.
2.      Agar anak menjadi khalifah yang berkualitas.
3.      Agar anak dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Epilog

Demikianlah sekilas mengenai pendidikan anak menurut al-Qur’an sebagai bekal bagi orang tua dan guru dalam mendidik anak-anak baik di rumah maupun di sekolah. Semoga Allah meridhai harapan dan usaha kita dalam menyiapkan generasi masa depan yang beriman, taat beribadah, memiliki akhlak mulia, dan terampil dalam berdakwah untuk menyiarkan dan memajukan agama Islam. Mengakhiri pembahasan ini marilah kita dendangkan syair di bawah ini untuk membelajarkan anak-anak kita dalam mensyukuri nikmat yang diberikan Allah, berupa fisik kita yang banyak sekali manfaatnya.



MENSYUKURI KENIKMATAN


Allah berikan mata ini untuk melihat keindahan
Allah berikan hidung ini untuk mencium wewangian
Allah berikan lidah ini untuk  mengucap kebenaran
Allah berikan telinga ini untuk mendengar kebaikan

Ayo wahai kawan… mari syukuri kenikmatan 2 X

Allah berikan hati ini untuk merasa kedamaian
Allah berikan tangan ini untuk menolong sesama insan
Allah berikan kaki ini untuk mencari keridhaan
Allah berikan tubuh ini untuk mengabdi pada Islam

Ayo wahai kawan… mari syukuri kenikmatan 2 X

RESEP MASAKAN ACEH

RESEP MASAKAN KHAS ACEH 

  1. Resep Tumis biasa
    1. bawang merah
    2. daun salam koja (‘on teumeurui)
    3. daun pandan

  1. resep tumis komplit
    1. bawang merah
    2. bawang putih
    3. cengkeh keling (lawang kleng)
    4. cengkeh biasa
    5. kapu laga
    6. salam koja
    7. daun pandan
    8. cabe merah
    9. kemiri/Santan
10.buah pala

  1. resep beulacan
    1. satu buah kelapa (digiling atau blender)
    2. bawang merah (4 biji)
    3. bawang putih (2 biji)
    4. kunyit secukupnya
    5. cabe rawit
    6. serai
    7. jahe
    8. lada (hitam atau putih)
    9. daun salam koja (dicincang halus)
10.daun jeruk prut (dicincang halus)
Ø      setelah dicampur dipanaskan sampai kering
Ø      kemudian dibungkus dengan daun
Ø      setelah itu dipanggang/dibakar
Ø      siap disantap

  1. resep masakan daging sederhana
    1. bawang merah
    2. bawang putih
    3. jeura eungkot
    4. asam jawa
    5. salam koja
    6. minyak goreng

  1. resep tumis kulit ayam
    1. bawang merah                      8. u neulheue
    2. bawang putih             9. lada
    3. kunyit                          10. jahe
    4. capli kleng                  11. ulee santan
    5. jeura maneh              
    6. jeura eungkot            
    7. aweueh                                                                                               hb



VALIDITAS DATA

PENGUJIAN RELIABILITAS DAN VALIDITAS
INSTRUMEN PENELITIAN 
Oleh: Hasan Basri al-Mardawy

A. Pendahuluan
            Reliabilitas dan validitas merupakan dua kriteria utama yang biasa digunakan dalam menentukan kualitas instrumen penelitian. Setiap instrumen yang akan digunakan dalam penelitian harus diuji terlebih dahulu sebelum instrumen tersebut dijadikan sebagai alat pengumpulan data. Sebagian besar prosedur pengambilan data tergantung pada kualitas proses instrumen pengukuran yang digunakan. Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu reliabel dan valid. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang ingin diukur dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat.
            Tingkat reliabilitas dan validitas menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data dalam suatu penelitian, mulai dari penjabaran konsep-konsep sampai pada saat data siap untuk dianalisis. Dalam menilai reliabilitas dan validitas sejumlah pertanyaan penting harus dijawab, antara lain: Apakah konsep-konsep penelitian dijabarkan dengan tepat? Apakah rumusan pertanyaan dalam kuesioner sudah cukup jelas? Apakah responden menjawab dengan jujur dan konsisten? Apakah alat ukur yang dipakai berhasil mengukur apa yang ingin diukur? Untuk mengetahui lebih jauh tentang reliabilitas dan validitas, makalah ini mencoba membahasnya dengan sistematika: pendahuluan, definisi reliabilitas dan validitas, macam-macam validitas, kriteria pengukuran instrumen, teori reliabilitas, pengujian indeks reliabilitas, pengujian validitas, dan penutup.

B. Definisi Reliabilitas dan Validitas

            Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap istilah yang dipakai dalam kajian ini, maka perlu dijelaskan terlebih dulu definisi dua kata kunci seperti yang tertera dalam judul di atas, yaitu: reliabilitas dan validitas.

1. Reliabilitas
Reliabilitas secara literal berasal dari kata reliability yang berarti “dapat dipercaya” atau “dapat diandalkan”. Menurut istilah, reliabilitas berarti “derajat ketepatan dan ketelitian atau akurasi yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran” (Sevilla, et. al., 1993: 175). Linn dan Gronlund (1985: 48) memberi definisi, reliability refers to the consistency of assessment results. If we obtain quite similar scores when the same assessment procedure is used with the same students on two different occasions, we can conclude that our results have a high degree of reliability from one occasion to another. Pada intinya, definisi ini menggarisbawahi bahwa reliabilitas merupakan hasil penilaian yang bersifat konsisten. Makna konsisten di sini ditandai pada keajegan penilaian dan hasil yang sama (consistency of the results) dengan prosedur yang sama pada kesempatan atau waktu yang berbeda. Istilah-istilah lain yang digunakan untuk reliabilitas adalah stabilitas, dapat dipercaya, dan dapat diramalkan. Sebagai contoh: jika suatu instrumen memperoleh hasil yang sama dari dua pengujian di bawah kondisi yang sama, maka tes tersebut dikatakan konsisten, dan karena itu dapat diandalkan. Dalam hal yang sama, kalau seorang peneliti ingin meramalkan hasil tes yang akan datang, yang didasarkan atas hasil pengujian terdahulu, maka dapat dikatakan pengujian tersebut adalah stabil. Kemudian, Hagul (1985: 88) menjelaskan bahwa reliabilitas lebih mudah dimengerti dengan memperhatikan tiga aspek dari suatu alat ukur, yaitu: kemantapan, ketepatan, dan homogenitas.

a.      Kemantapan
Suatu alat ukur dikatakan mantap apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut memberikan hasil yang sama. Tentu saja dengan syarat bahwa kondisi saat pengukuran tidak berubah. Dalam kaitan ini, reliabilitas berarti dapat diandalkan (dependability) dan hasilnya dapat diramalkan (predictability).

b.      Ketepatan
Ukuran ketepatan dapat dilihat pada hasil pengukuran. Apakah ukuran yang diperoleh merupakan hasil pengukuran yang benar dari sesuatu yang ingin diukur.

c.       Homogenitas
Agar suatu karakteristik dapat diketahui secara mendalam, maka diperlukan bermacam-macam keterangan. Seluruh keterangan tersebut mempunyai kaitan yang erat satu sama lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa reliabilitas artinya memiliki sifat dapat dipercaya (reliable). Suatu alat ukur dikatakan memiliki reliabilitas apabila dipergunakan berkali-kali oleh peneliti yang sama atau peneliti lain tetap memberikan hasil yang sama pula. Jadi, reliabilitas mengandung makna stabilitas, konsistensi, dan dependabilitas (Rakhmat, 2004: 17).

2.      Validitas
Menurut bahasa, validitas (berasal dari kata validity) berarti “keabsahan” atau “kebenaran”. Secara terminologi, validitas artinya “derajat ketepatan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur.” (Sevilla, et. al., 1993: 176). Menurut Sugiyono (2003: 1-2), validitas adalah “derajat ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti.” Menurut Linn dan Gronlund (1985: 47), validity refers to the adequacy and appropriateness of the interpretations made from assessments, with regard to a particular use. Linn dan Gronlund mensyaratkan validitas dengan interpretasi-interpretasi yang tepat (appropriateness) dan memadai (adequacy) dari penilaian-penilaian (assessments). Jadi, validitas selalu berhubungan dengan kegunaan khusus dari hasil-hasil penilaian dan kesahihan interpretasi yang dikemukakan peneliti tentang hasil-hasil tersebut. Misalnya, jika seorang peneliti ingin menggambarkan prestasi belajar siswa, maka dia harus mampu menginterpretasikan skor yang relevan dan representatif dari ranah prestasi belajar yang diukur.
Kemudian, Sugiyono menyatakan bahwa data yang telah terkumpul sebelum diketahui validitasnya, maka dapat diuji melalui pengujian reliabilitas dan objektivitas. Pada umumnya jika data itu reliabel dan objektif, maka terdapat kecendrungan data tersebut akan valid. Namun, data yang reliabel dan objektif belum tentu valid. Maka, validitas data penelitian dapat diperoleh dengan cara menggunakan instrumen penelitian yang valid, menggunakan sumber data yang tepat dan cukup jumlahnya, serta menggunakan metode pengumpulan dan analisis data yang benar. Secara singkat dapat dikatakan validitas adalah kesesuaian dan ketepatan alat ukur dengan apa yang hendak diukur.

C. Kriteria Pengukuran Instrumen

Kendatipun reliabilitas dan validitas adalah hal yang sangat penting dalam pengukuran instrumen, ada sejumlah kriteria yang perlu dipertimbangkan, antara lain: sensitivitas, objektivitas, dan fisibilitas.

1.      Sensitivitas
Sensitivitas adalah “kemampuan suatu instrumen untuk melakukan diskriminasi yang diperlukan untuk masalah penelitian” (Sevilla, et. al., 1993: 177). Bila suatu validitas dan reliabilitas suatu tes tinggi, maka tes tersebut cukup sensitif, mempertajam perbedaan dalam derajat variasi-variasi karakteristik yang diukur.

2.      Objektivitas
Objektivitas adalah “derajat di mana pengukuran yang dilakukan bebas dari pendapat dan penilaian subjektif; bebas dari bias dan perasaan orang-orang yang menggunakan tes” (Sevilla, et. al., 1993: 178). Aspek objektivitas ini berkaitan dengan pelaksanaan tes, skoring, dan penafsiran. Jenis kelamin, umur, dan penampilan serta gerak langkah peneliti, responden harus memperoleh skor yang stabil dan akurat, bebas dari berbagai pengaruh variabel individu peneliti. Analisis soal, misalnya, adalah suatu proses yang membuat soal-soal tes objektif.

3.      Fisibilitas
Fisibilitas adalah berkenaan dengan aspek-aspek ketrampilan, biaya, dan waktu. Ada beberapa tes tertentu yang mensyaratkan ketrampilan minimun dalam menyusun tes dan mungkin mempersyaratkan latihan minimum dalam pelaksanaan, skoring, penganalisisan, dan penafsiran data tes (Sevilla, et. al., 1993: 178).

D. Teori Reliabilitas

Pengukuran reliabilitas mempunyai landasan dalam teori measurement error (salah ukur). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa mengukur itu tidak lain daripada memberikan angka pada sesuatu berdasarkan aturan-aturan tertentu. Angka yang diberikan itu menunjuk pada kuantitas atribut yang diukur. Meteran, misalnya, adalah alat yang digunakan untuk mengukur panjang (Rakhmat, 2004: 17; Ary, et. al., t.th: 301-306).
Dalam pengukuran reliabilitas, instrumen yang standar itu secara teoretis dianggap ada; hasil atau angka yang diperoleh dengan menggunakan instrumen itu disebut “angka yang benar” (true score). Sedangkan hasil atau angka yang diperoleh dengan menggunakan instrumen yang ada disebut “angka yang diperoleh” (obtained score). Selisih antara angka yang diperoleh dan angka yang benar disebut “salah ukur” (measurement errorr). Secara matematis ketiga konsep ini dapat disederhanakan dalam bentuk persamaan berikut ini:
Xt = X   + Xe
Xt  = angka yang diperoleh
X   =  angka yang benar
Xe  = salah ukur

Besarnya salah ukur dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
ru = Xt - Xe
                                                        Xt
ru = koefisien reliabilitas

Dari rumus di atas dapat disimpulkan bahwa semakin kecil salah ukur (Xe) semakin kecil pula perbedaan antara angka yang diperoleh (Xt) dan angka yang benar; dan semakin tinggi pula koefisien reliabilitas (ru). Apabila dalam pengukuran tidak terdapat sedikit pun kesalahan, maka angka yang diperoleh adalah sama dengan angka yang benar, dan koefisien reliabilitas sama dengan 1 (satu).

E. Pengujian Indeks Reliabilitas

Reliabilitas instrumen penelitian dapat diuji atau dinilai dengan menggunakan beberapa metode, antara lain:


1.      Metode Pengulangan (Test and Retest Method)
Menguji reliabilitas dengan teknik kesesuaian adalah dengan cara mencari indeks kesesuaian kasar (crude index of agreement). Caranya adalah dengan mengulang penelitian (test and retest) dengan menggunakan alat atau instrumen yang sama, responden yang sama, situasi yang lebih kurang sama, dan pada waktu yang berlainan. Hasil penelitian pertama kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian kedua; dan stabilitas dari jawaban dianalisis. Jika instrumen yang dipakai itu stabil, maka jawaban yang diperoleh dari dua waktu yang berbeda itu seharusnya sama pula. Dengan metode ini dapat dihitung indeks reliabilitas kasar (Nazir, 1999: 168; Hagul, 1988: 91).

2. Metode Paralel (Parallel Method)
Dalam metode ini sebuah variabel atau kelompok variabel diukur dua kali pada waktu yang sama atau hampir bersamaan pada responden atau sampel yang sama pula. Dalam pelaksanaannya terdapat dua kemungkinan: dua orang peneliti menggunakan alat ukur yang sama atau seorang peneliti dengan dua alat ukur yang berbeda; tetapi bermaksud mengukur variabel yang sama. Sebagai contoh, status ekonomi yang diukur dengan pendapatan dapat dibandingkan dengan indeks pemilikan barang-barang berharga. Reliabilitas kedua alat ukur ini tergantung pada sejauh mana keduanya berhasil menempatkan responden dalam urutan yang konsisten (Hagul, 1988: 94).
            Salah satu cara untuk menilai reliabilitas dari dua alat ukur adalah dengan koefisien korelasi (Product Moment Pearson). Koefisien korelasi (r) akan menunjukkan derajat korelasi dua set angka di atas. Apabila koefisien r dikuadratkan maka akan diperoleh koefisien determinasi yang sekaligus merupakan indeks reliabilitas untuk kedua alat ukur.

3. Metode Belah-Dua (Split-Half Method)
Metode ini dipergunakan apabila peneliti ingin menguji suatu alat ukur yang terdiri dari beberapa pertanyaan atau pernyataan, biasanya dalam bentuk skala. Karena sebuah skala biasanya mengukur suatu konsep, pertanyaan atau pernyataan yang membentuk skala itu haruslah mempunyai kaitan erat satu sama lain. Jadi, yang diukur dalam metode belah-dua ini adalah homogenitas dan internal consistency pertanyaan-pertanyaan yang termasuk dalam suatu alat ukur (Hagul, 1988: 95). Proses pengujian reliabilitas dalam metode ini hampir sama dengan metode paralel, di mana suatu instrumen yang dibagi akan menghasilkan dua instrumen. Kelemahan metode ini adalah koefisien korelasi dan indeks reliabilitasnya cendrung fluktuatif, tergantung pada cara pengelompokan pertanyaan-pertanyaan.
            Selanjutnya, Rakhmat (2004: 17-18) menyebutkan bahwa ada tiga cara untuk menentukan reliabilitas: antaruji, antarbutir, dan antarpenilai. Cara pertama untuk menguji reliabilitas ialah membandingkan beberapa hasil pengukuran dari populasi yang sama pada waktu yang berbeda atau oleh peneliti yang berlainan. Perbandingan ini dihitung untuk mencari angka korelasinya. Cara kedua ialah alat ukur yang terdiri dari sejumlah butir tes dibagi dua. Ini disebut split half procedure. Skor responden pada kelompok butir tes yang pertama dikorelasikan dengan kelompok tes butir kedua. Atau skor responden pada butir-butir tes bernomor ganjil dikorelasikan dengan kelompok butir tes bernomor genap. Cara ketiga, responden yang sama diukur, diuji, dan diamati oleh beberapa orang penguji. Skor yang diberikan oleh setiap penguji kemudian dikorelasikan. Reliabilitas antarpenilai biasanya dinyatakan dengan angka kesepakatan di antara penilai.

F. Macam-macam Validitas

            Validitas banyak macamnya. Menurut Ebel (1972: 436-437), validitas dibagi menjadi tujuh macam:

1.      Concurrent validity yaitu validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kriteria penampilan (performance).
2.      Construct validity yaitu validitas yang berkenaan dengan sejauh mana suatu alat ukur mengukur konstruk teoretis tertentu, seperti suatu keadaan yang diduga mempunyai hubungan sebab akibat.
3.      Content validity validitas yang berkaitan dengan baik buruknya sampling dari suatu populasi.
4.      Face validity yaitu validitas yang berhubungan dengan penilaian para ahli terhadap suatu alat ukur.
5.      Factorial validity yaitu validitas suatu alat ukur merupakan korelasi antara alat ukur tersebut dengan faktor-faktor yang sama dalam kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya; dan validitas tersebut didasarkan atas analisis faktor.
6.      Intrinsic validity yaitu validitas yang berkaitan dengan penggunaan teknik percobaan dan bukan teknik korelasi terhadap suatu kriteria untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif yang mendukung bahwa alat ukur tersebut benar-benar mengukur apa yang sebenarnya harus diukur.
7.      Predictive validity yaitu validitas peramalan yang berkenaan dengan hubungan antara skor ujian dengan hasil atau kemungkinan di masa mendatang.

Thorndike dan Hagen (1955: 100-110) membagi validitas atas dua macam saja, yaitu: validitas langsung dan validitas derivatif. Validitas langsung adalah jenis validitas yang bergantung pada analisis rasional dan putusan profesi (professional judgment); sedangkan validitas derivatif bergantung pada pembuktian statistik dan empiris.
Sementara itu, Kerlinger (1973: 456-466) membagi validitas atas tiga jenis, yakni: validitas isi (content validity), validitas yang berhubungan dengan kriteria (criterion related validity), dan validitas konstruk (construct validity).

1.      Validitas Isi
Validitas isi mempersoalkan apakah isi dari suatu alat ukur (bahannya, topiknya, substansinya) cukup representatif atau cukup merupakan sebuah sampling? Validitas isi dipandu oleh pertanyaan: Apakah isi atau substansi suatu alat ukur merupakan representatif dari isi atau substansi universal dari sifat-sifat yang ingin diukur? Validitas isi adalah “derajat tes yang menggambarkan esensi, topik-topik, dan ruang lingkup tes yang dirancang untuk pengukuran” (Sevilla, et. al., 1993: 179).

2.      Validitas yang Berhubungan dengan Kriteria
Validitas yang berhubungan dengan kriteria adalah suatu kriteria atau variabel yang diketahui atau dipercaya dapat digunakan untuk mengukur suatu atribut tertentu. Jika skor atau skala yang diukur dibandingkan dengan satu atau lebih kriteria atau variabel yang dianggap mengukur hal yang ingin diukur, maka yang dikerjakan adalah menetapkan validitas alat ukur. Validitas perdiktif termasuk dalam validitas yang berhubungan dengan kriteria. Jadi, sebuah alat ukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang berhubungan dengan kriteria yang tinggi, jika alat ukur tersebut dapat menolong peneliti dalam membuat keputusan yang tepat dalam menempatkan seseorang, baik dalam pekerjaan maupun tugas tertentu.

3. Validitas Konstruk
Validitas konstruk disebut juga validitas konsep. Kerlinger (1973) menekankan bahwa “validitas konstruk menitiberatkan perhatian pada teori, konstruk-konstruk teoretis dan penemuan empiris ilmiah yang meliputi pengujian hubungan yang dihipotesiskan.” Dalam membahas validitas konstruk, seperti intelegensia, status ekonomi, fertilitas, persepsi, pendidikan tradisional, dan sebagainya, maka yang pertama-tama dikerjakan oleh seorang peneliti adalah menganalisis unsur-unsur apa yang menjadi bagian dari konstruk tersebut.
Selanjutnya, G. Sevilla, et. al (1993: 184), menambah satu macam validitas lagi, yaitu face validity (validitas paras). Validitas paras adalah tipe validitas yang berhubungan dengan keabsahan corak/wajah/paras tes yang jika dipandang dari instrumen tampaknya dapat mengukur apa yang hendak diukur. Soal-soal tes diperiksa dan kemudian secara superfisial dinilai keabsahannya untuk mengukur variable yang akan diukur. Karena itu, suatu instrumen yang hanya menunjukkan validitas paras ini saja, lebih kurangnya terbuka untuk dikritik. Secara umum tipe validitas ini tidak didukung oleh bukti-bukti bahwa tes tersebut dapat mengukur sesuatu. Tanpa validasi isi, instrumen semacam ini tidak dapat digunakan khususnya dalam penelitian tingkat pascasarjana. (Sevilla, et. al., 1993: 184).
Nazir (1999: 179) menjelaskan bahwa ada dua pengertian tentang validitas paras (muka): pertama, validitas muka berhubungan dengan pengukuran atribut yang konkret tanpa memerlukan inferensi. Misalnya, untuk mengetahui kemahiran mengetik seseorang, maka suruhlah dia mengetik dan hitung jumlah huruf atau kalimat yang dapat diselesaikan permenit. Kedua, validitas yang berkaitan dengan penilaian para ahli terhadap suatu alat ukur. Misalnya, jika seorang peneliti ingin menyusun skala tentang persepsi, maka skala tersebut diperlihatkan kepada beberapa ahli. Apabila ahli-ahli ini sepakat bahwa skala tersebut dapat mengukur persepsi secara baik, maka skala itu mempunyai validitas muka yang tinggi.
 Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan validitas paras suatu instrumen:

1. Pemanfaatan Soal
Naskah awal dari instrumen diperiksa oleh suatu kelompok evaluator, misalnya pembimbing tesis, ahli pembuat tes, dan para tenaga profesional yang berpengalaman dalam bidangnya.

2.      Konsistensi Antarpenilai
Naskah awal yang telah diperiksa oleh para ahli tersebut diberi tanda, mana yang layak dan tidak layak. Kemudian, dipilah dan diseleksi mana yang paling cocok untuk dijadikan alat ukur atau instrumen. Tentu saja, layak atau tidak layaknya instrumen tersebut dilihat dari hasil penilaian para ahli secara konsisten dan objektif.
            Selanjutnya, validitas dalam kaitannya dengan pengujian (testing) dan penilaian (assessment), Linn dan Gronlund (1985: 49) menegaskan ada sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan: pertama, validitas mengacu kepada ketepatan interpretasi hasil dari suatu prosedur penilaian terhadap sekelompok individu; bukan kepada prosedur itu sendiri. Kedua, validitas memiliki perihal derajat tertentu dengan kategori-kategori: validitas tinggi (high validity), validitas sedang (moderate validity), dan validitas rendah (low validity). Ketiga, validitas senantiasa mengacu kepada kegunaan atau interpretasi yang spesifik; tidak ada penilaian yang valid untuk semua kegunaan. Keempat, validitas adalah kesatuan konsep yang didasarkan atas berbagai macam bukti yang muncul. Kelima, validitas merupakan sistem evaluasi  secara terpadu dan menyeluruh (overall evaluative judgement). Di samping itu, Linn dan Gronlund menyarankan agar dalam membuat interpretasi dan menggunakan hasil penilaian memperhatikan pertimbangan-pertimbangan mendasar, seperti isi (content), hubungan-hubungan kriteria tes (test-criterion relationships), construct  yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi hasil atau prestasi (performance). dan konsekuensi atau akibat yang bakal terjadi (consequence).

G. Pengujian Validitas

            Untuk menguji tingkat validitas empiris instrumen, maka instrumen tersebut dujicobakan pada sasaran dalam penelitian. Langkah ini lazim disebut dengan kegiatan uji coba (try-out) instrumen. Apabila data yang didapat dari uji coba ini sudah sesuai dengan yang seharusnya, maka berarti bahwa instrumennya sudah baik dan valid. Untuk mengetahui ketepatan data ini diperlukan teknik uji validitas.
            Dilihat dari cara pengujiannya, validitas instrumen dapat dibagi dua: pertama, validitas eksternal; dan kedua, validitas internal.

1.      Validitas Eksternal
Validitas eksternal dapat dicapai jika data yang dihasilkan dari instrumen sesuai dengan data atau informasi mengenai variabel penelitian yang dimaksud. Misalnya, validitas tes hasil belajar IPS dapat dilakukan dengan mencobakan tes tersebut kepada siswa yang diambil sebagai subjek uji coba. Hasil yang diperoleh kemudian dikorelasikan dengan nilai IPS siswa tersebut, misalnya diambil dari nilai tes sumatif atau nilai rapor. Nilai rapor ini dijadikan sebagai ukuran atau kriterium.

2. Validitas Internal
Dikatakan validitas internal jika terdapat kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan. Dengan kata lain, sebuah instrumen dikatakan memiliki validitas internal apabila setiap bagian instrumen mendukung “misi” instrumen secara keseluruhan yaitu mengungkap data dari variabel yang dimaksud. Dalam kaitan ini dikenal adanya validitas butir dan validitas faktor.

a.       Sebuah instrumen memiliki validitas yang tinggi apabila butir-butir yang membentuk instrumen tersebut tidak menyimpang dari fungsi instrumen.
b.      Sebuah instrumen dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila faktor-faktor yang merupakan bagian instrumen tersebut tidak menyimpang dari fungsi instrumen (Arikunto, 2002: 147-148).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengujian validitas sebuah instrumen dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, melakukan analisis faktor (anafak); dan kedua, melakukan analisis butir (anabut).

H. Penutup

Dari pembahasan di atas tampak jelas bahwa reliabilitas dan validitas suatu instrumen dalam pengumpulan data sangat signifikan. Suatu data tidak akan berarti tanpa menggunakan instrumen yang tepat dan konsisten. Demikian juga sebuah penelitian tidak akan bernilai jika tidak menggunakan instrumen yang handal, teruji, dan terpercaya.
            Pemenuhan syarat validitas dan reliabilitas biasanya diawali dengan pengujicobaan instrumen, jika instrumennya dibuat sendiri oleh peneliti. Alangkah baiknya jika instrumen yang dipakai sudah teruji validitas dan reliabilitasnya oleh para peneliti sebelumnya sehingga menjadi instrumen baku dan dapat dipergunakan oleh siapa saja dan kapa saja. Karakteristik instrumen yang baik sebagai alat evaluasi hendaklah memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas. Dengan demikian, alat evaluasi yang baik dapat dilihat dari: validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, daya pembeda, derajat kesukaran, efektivitas opsi, dan efisiensi. ■

ACEH-TURKI


HUBUNGAN ANTARA ACEH DENGAN KHILAFAH TURKI UTSMANI: TINJAUAN HISTORIS *
Oleh: Hasan  Basri al-Mardawy


            Selama ini, kajian tentang sejarah hubungan Aceh-Turki jarang sekali ditemukan dalam buku-buku sejarah yang dipelajari baik di tingkat sekolah menengah maupun di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Sulit dibayangkan, mengapa sejarah yang begitu agung dalam percaturan dunia politik dan peradaban luput dari perhatian para pemimpin bangsa ini, hilang ditelan zaman; atau mungkin sengaja dihilangkan dari lembaran sejarah bangsa Indonesia agar Aceh tidak lagi menonjol seperti masa silam atau segera dilupakan orang tentang zaman keemasan dan perannya dalam perjuangan bangsa.
            Barangkali kinilah saatnya bagi kita untuk menelusuri kembali kisah lama tentang keperkasaan Aceh sebagai sebuah kerajaan (baca: kesultanan) yang pernah eksis di bumi Nusantara, yang dicatat dalam lembaran sejarah oleh para peneliti asing yang tidak bersikap apriori atau tendensius terhadap kemajuan, kejayaan, dan kontribusi Aceh kepada kelangsungan bangsa Indonesia. Bahkan, pada tataran dunia, Aceh pernah menjadi salah satu kerajaan di antara lima kerajaan besar di dunia. Maka, tidak salah kalau dalam forum seminar semacam ini, sejarah Aceh dan perannya dalam panggung politik internasional ditampilkan sebagai pembuka wawasan dan pembangkit semangat menuju masa depan. Karena keterbatasn ruang dan waktu, maka kajian ini dibatasi pada hubungan Aceh dan Turki Utsmani antara abad ke-16 dan 17.

Turki Utsmani: Khilafah yang Tangguh
            Pendiri dinasti ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam waktu sekitar tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian ke Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke-9 atau ke-10, yaitu ketika mereka menetap di Asia Tengah. Karena tekanan serangan Mongol pada abad ke-13, kemudian mereka melarikan diri mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk di Dataran Tinggi Asia Kecil. Di sana, di bawah pimpinan Ertoghrul,  mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Seljuk yang sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin mendapat kemenangan. Atas jasa baik itu, Alauddin menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka membina wilayah baru dan memilih kota Syukud sebagai ibukota.
            Setelah Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289, kepemimpinan dilanjutkan oleh puteranya, Utsman. Putera Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Turki Utsmani. Utsman memerintah antara tahun 1290 dan 1326. Seterusnya, kerajaan Utsmani dipimpin secara turun temurun oleh keluarga besarnya, yang dikenal Padisyah al-Utsman. Dalam perjalanannya, kerajaan ini mengalami pasang surut, kemajuan dan kemunduran dengan tantangan tanpa henti. Namun, kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Utsmani berlangsung demikian cepat. Kemajuan penting mencakup bidang kemiliteran, pemerintahan (politik), bidang ilmu pengetahuan dan budaya, dan bidang keagamaan.
            Mengenai kekuatan militer kerajaan Utsmani mulai dibenahi dengan baik dan teratur ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa. Ketika itu pasukan tempur yang handal sudah terorganisasi sehingga strategi dan taktik tempur militer Utsmani berjalan tanpa hambatan berarti. Bahkan, pada tahap berikutnya, kerajaan Utsmani membentuk pasukan elit yang disebut pasukan Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah negara Utsmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat signifikan dalam penaklukan negeri-negeri kafir (non-muslim). Selain itu, terdapat tentara atau militer handal, Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi dengan baik untuk memperlancar proses ekspansi Turki Utsmani. Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Utsmani mencapai puncak kejayaannya. Kekuatan militer Turki Utsmani yang tangguh itu dengan cepat dapat menguasai wilayah yang amat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Pada saat-saat kejayaan Turki Utsmani inilah, Kesultanan Aceh menjalin hubungan yang erat, dalam rangka melawan dominasi penjajah di kawasan Nusantara.

Aceh di Pentas Politik Internasional
            Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa pada abad ke-16 dan 17, Kesultanan Aceh Darussalam benar-benar menjadi pusat percaturan politik dan ekonomi yang meliputi kawasan Nusantara dan mancanegara, seperti Tiongkok, Korea, Amerika, Eropah, Timur Tengah, India, Afrika, dan Turki. Pada masa itu, Banda Aceh Darussalam sebagai kota yang sangat dinamis dengan berbagai aktivitas konstruktif yang tidak saja menyangkut politik dan ekonomi, tetapi juga peradaban (ilmu dan kebudayaan) dan militer. Aktivitas-aktivitas ini menjadi pusat perhatian negara-negara lain untuk berkunjung ke Aceh, dan bahkan menjalin hubungan diplomatik dengan Kesultanan Aceh.
            Untuk menangani kegiatan-kegiatan tersebut, menurut Mohammad Said, di Banda Aceh Darussalam dibentuk lembaga yang bernama Balai Badul Muluk yang dipimpin oleh seorang menteri yang bergelar Wazir Sultan Badlul Muluk. Pada tataran kenegaraan, Sultan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah menyusun dasar-dasar politik luar negeri yang harus dijalankan oleh Balai Badul Muluk (Kementerian Luar Negeri), sebagai berikut:

1.      Tidak menggantungkan nasib, ekonomi, kepada luar negeri.
2.      Bersahabat erat dengan negara-negara Islam di Nusantara (Indonesia), India, Arab, Malaya, dan Turki.
3.      Selalu waspada terhadap negara-negara Barat yang mempunyai nafsu penjajahan; dan sebaliknya bersahabat dengan negara-negara yang ingin hidup damai.
4.      Bantuan luar negeri lebih diutamakan dalam bentuk tenaga ahli.
5.      Perluasan dakwah Islamiyah ke seluruh kepulauan Nusantara.

Dalam percaturan politik antar negara, Kerajaan Aceh Darussalam dapat dikatakan  sebagai suatu kekuatan nyata di rantau Asia Tenggara, baik politik, ekonomi maupun militer. Pada saat kekuatan imperialis Barat telah mematahkan kekuatan sebagian besar negara-negara Islam lain, pada saat itulah, yakni pada permulaan abad ke-16, lahirlah “Lima Besar Kerajaan Islam” yang menggalang kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan. Secara historis, tulis Wilfred Cantwell Smith dalam Islam in the Modern History, Kerajaan Aceh Darussalam termasuk dalam Lima Besar Kerajaan Islam di dunia, yaitu:

1.      Kerajaan Islam Turki Utsmani di Istanbul.
2.      Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara.
3.      Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4.      Kerajaan Islam Mughal di India.
5.      Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

Sebagai salah satu dari Lima Besar Kerajaan Islam, Kerajaan Aceh Darussalam menjalankan politik luar negerinya dengan berpedoman pada empat macam diplomasi yang dianutnya:

1.      Diplomasi Kancil, kemudian dikenal dengan “tipee Aceh” (tipu Aceh) di dunia internasional.
2.      Diplomasi Meubison, yaitu “perkawinan agung” antar negara.
3.      Diplomasi Ekonomi, yaitu diplomasi yang didasarkan pada kekuatan ekonomi untuk mendapat pengaruh dan mencapai tujuan politik.
4.      Diplomasi Militer, yakni diplomasi dengan mengandalkan pada kekuatan senjata atau militer.

Keempat macam diplomasi ini dipergunakan oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjalankan lima pasal program politik luar negerinya, yaitu:

1.      Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan yang berbatasan dengan Selat Malaka serta menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri itu sehingga tidak mungkin terjadi “divide et impera” oleh negara asing.
2.      Menaklukkan Johor supaya tidak dapat lagi ditunggangi oleh Portugis dan Belanda.
3.      Menaklukkan negeri sebelah Timur Malaya, seperti Pahang dan Patani, yang merugikan pedagang Aceh.
4.      Mengalahkan Potugis dan merebut Malaka.
5.      Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor dengan jalan memusatkan pelabuhan Samudra ke satu Pelabuhan Aceh dan mengadakan pengawasan secara intensif sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan.

Kelima kebijakan politik tersebut ditempuh untuk menghadapi bahaya agresi yang haus jajahan dari Portugis, Belanda, dan Inggris. Berdasarkan lima kebijakan inilah Sultan Iskandar Muda, kemudian, dapat memukul mundur Portugis yang bercokol di sepanjang Selat Malaka. Tentu saja, Sultan Iskandar Muda dalam menghadapi Portugis, Belanda, dan Inggris tidak sendiri, tetapi dibantu oleh negara-negara Islam pada masa itu, antar lain, Turki yang secara aktif menopang dalam bidang persenjataan dan kemiliteran.

Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani: Fakta Sejarah

Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Dinasti Turki Utsmaniyah bermula ketika Sultan Turki membantu Aceh dalam mengusir bangsa Portugis dari pendudukan baru mereka di Pidie (1521) dan Pase (1524). Kemudian, Sultan Aceh, Alaiddin Riayat Syah al-Kahhar (1537-1571), mengambil langkah formal untuk tunduk secara sukarela pada kekuasaan Dinasti Turki Utsmaniyah sebagai balasan atas bantuan militer yang diberikan oleh Utsmaniyah. Menurut Voorhoeve, seperti dikutip Azyumardi Azra, dokumen Turki menyebutkan bahwa Alaiddin Riayat Syah mengirimkan seorang utusan ke Konstantinopel pada tahun 1523 untuk meminta bantuan guna melawan Portugis, yang setelah diusir dari Pase kemudian menduduki Malaka, dan mengatakan bahwa sejumlah penguasa kafir di Asia Tenggara telah berjanji akan memeluk agama Islam jika Dinasti Utsmaniyah membantu mereka.
Untuk mempercepat mendapat bantuan, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Turki. Turki pada masa itu berada dalam masa kejayaan di bawah pimpinan Sultan Sulaiman. Utusan dari Aceh harus menunggu dua tahun di Istanbul sebelum sebuah ekspedisi laut dikirim di bawah komando Laksamana Suez, Kurdoghlu Kizir Reis, yang terdiri dari sembilan belas kapal dan beberapa kapal lain lengkap dengan persenjataan, makanan, dan sebagainya. Namun, ekspedisi ini berubah haluan menuju ke Yaman untuk mengatasi pemberontakan di sana. Selanjutnya, dua kapal dengan makanan dan sejumlah penasihat militer dikirim ke Aceh. Setiba di Aceh, mereka diterima oleh Sultan dengan penuh suka cita dan tinggal di sana. Sampai sekarang sisa perkampungan Turki di Aceh masih ada dan kuburan mereka pun tetap terpelihara, yang dikenal dengan perkuburan Teungku Chik Di Bitai, terletak di desa Surin sekitar 2 kilometer dari kota Banda Aceh). Hubungan ini kemudian diabadikan dalam bendera merah bulan sabit Turki Utsmani, yang berbeda dengan bendera yang digunakan Sultan Aceh, dan meriam besar untuk menjaga pusat kesultanan di ibukota Banda Aceh. Pemberian ini selalu dikenang oleh rakyat Aceh sebagai hadiah yang sangat berharga dari Khalifah Islam Turki. Jalinan persaudaraan masa silam tetap terjalin sampai sekarang, terutama ditunjukkan oleh bangsa Turki sebagai solidaritas yang sangat tinggi terhadap rakyat Aceh setelah terjadi bencana besar, gempa bumi dan gelombang tsunami tanggal 26 Desember 2004. Muslim Turki sampai saat ini masih tetap tinggal di Aceh, dengan membangun sarana pendidikan dan tempat-tempat ibadah yang megah dengan gaya artistik Istanbul.
Tidak sedikit meriam yang dikirim ke Aceh oleh Khalifah Turki yang sampai saat ini masih tersimpan di mesium Aceh dan sebagian dipajang di depan Pendopo Gubernur Aceh. Dan meriam ukuran yang paling besar (panjangnya mencapai 12 meter) diboyong Belanda ke negerinya, yang disimpan di sebuah mesium di negeri Kincir Angin itu. Selain hadiah, sebagian meriam tersebut sengaja dibeli oleh Sultan atas nama rakyat Aceh dengan harga yang mahal, sehingga di Aceh dikenal dengan istilah “meriam lada sicupak”, yaitu meriam yang dibeli atau ditukar dengan harga lada yang sangat mahal pada waktu itu. Tidak mengherankan jika kemudian di Aceh lahir  ahli-ahli senjata yang mampu merakit bom dan membuat meriam. Sebagai kaderisasi tenaga ahli bidang persenjataan dan militer, di Jami’ah Baiturrahman Banda Aceh dibuka fakultas Ilmu Peperangan (Darul Harb), di samping fakultas-fakultas lain.
Sebelum munculnya kesultanan Aceh, kawasan utara Sumatra merupakan kedudukan beberapa kerajaan Islam, yang paling penting adalah Kerajaan Peureulak dan Kesultanan Pase yang keduanya terletak di ujung timur laut Sumatra. Marco Polo yang mengunjungi Peureulak pada 1292 memberikan bukti pertama tentang sebuah Kesultanan Islam di Asia Tenggara. Kerajaan awal lainnya adalah Pase, digambarkan sebagai suatu pusat penting penyebaran Islam di Nusantara. Kesultanan Aceh, yang mulanya bukan merupakan kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughaiyat Syah (w. 1530?) berhasil mempersatukan berbagai kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatra menjelang awal abad ke-16.
Selanjutnya, Aceh meraih kejayaan politiknya, baik secara internal maupun eksternal, di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang brilian dan perkasa (1607-1637). Kontrol kerajaan sangat efektif atas seluruh pelabuhan penting di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Aceh mendominasi perdagangan di utara dan barat Sumatra, Selat Malaka. Selain itu, Aceh melakukan kontrol atau paling tidak penguasaan atas bagian-bagian tertentu Semenanjung Malaya, yakni Pahang, Kedah, dan Perlis. Dengan bantuan penasehat-penasehat militer, senjata, dan amunisi dari Turki, Kesultanan Aceh mampu melancarkan serangan yang beruntun atas benteng Portugis di Malaka.
Setelah wafat Sultan Iskandar Muda, kekuasaan Kesultanan Aceh mulai surut. Selama lebih dari setengah abad (1614-1699), Aceh diperintah oleh sultan wanita secara berturut-turut. Selama waktu itu, kekuasaan yang efektif dipegang oleh uleebalang (kepala-kepala daerah). Sementara itu, Kesultanan Aceh tereduksi menjadi sebuah simbol. Waktu dan jarak juga telah menghapus substansi pengakuan Aceh sebagai vassal (bagian wilayah kekuasaan) Dinasti Turki Utsmaniyah meskipun ikatan sentimental tidak pernah mati di hati orang-orang Aceh.
Pada paruh kedua abad ke-18, perusahaan Hindia Inggris yang berpusat di India mulai mengendus Aceh sebagai basis yang sangat mungkin untuk mengumpulkan produk-produk Indonesia dan mengirimkan armada Hindia Inggris selama musim angin timur. Setelah serangkaian tawaran Inggris sejak 1762 ditolak mentah-mentah Kesultanan Aceh, akhirnya perjanjian pertahanan antara kedua pihak ditandatangani pada 22 April 1819 di Banda Aceh. Perjanjian itu memperkuat dominasi Inggris atas perdagangan yang menguntungkan di sepanjang Selat Malaka. Hal ini membuat persaingan politik dan dagang antara Inggris dan Belanda semakin meningkat. Setelah negosiasi panjang, Perjanjian London pada 17 Maret 1824 ditandatangani Inggris dan Belanda. Menurut perjanjian tersebut, Belanda tidak akan memperluas kekuasaannya di Hindia Belanda sampai ke Aceh dan akan menjamin kebebasan perdagangan khususnya di sepanjang Selat Malaka.
Namun jelas bahwa konflik kepentingan antara dua kekuatan Eropa itu sama sekali tidak dapat diatasi perjanjian. Belanda, karena kebutuhan mendesak akan pendapatan, tidak dapat memberikan toleransi terhadap supremasi dagang Inggris yang terus berlanjut atas daerah-daerah yang dianggap Belanda termasuk ke dalam kekuasaannya. Karena itu, Belanda berupaya merevisi Perjanjian London dan akhirnya berhasil merevisi perjanjian tersebut; kemudian ditandatanganilah sebuah perjanjian baru antara Belanda dan Inggris pada 1871 yang membebaskan Belanda dari janji mereka untuk tidak memperluas kekuasaan terhadap Aceh.
Pada saat kedua kekuatan kolonial itu seolah-olah seenaknya menentukan nasib Aceh, Kesultanan Aceh pada waktu itu sedang diperintah oleh Tuanku Ibrahim (1838-1870) yang bergelar Sultan Ali Alaiddin Manshur Syah. Di tangan Sultan Ibrahim, Kesultanan Aceh kembali menjadi kekuatan aktual yang berupaya menegakkan otoritasnya atas seluruh kawasan utara Sumatra. Menurut sumber-sumber Belanda, dia mengirim Sidi Muhammad sebagai Duta Besar Aceh ke Pelabuhan Istanbul (Sublime Porte) pada 1850-1851 untuk meminta Utsmaniyah kembali mengakui Aceh sebagai vassal dari Dinasti Turki Utsmaniyah. Sultan Abdul Majid memenuhi permintaan itu dengan menerbitkan dua firman (keputusan Sultan Turki): pertama, memperbarui perlindungan Turki atas Aceh; dan kedua, menegaskan bahwa Sultan Ibrahim berada dalam status sah pada kesultanannya. Selanjutnya, Gubernur Turki Utsmaniyah di Yaman diperintahkan penguasa Turki Utsmaniyah untuk mengurus kepentingan Aceh. Beberapa tahun kemudian, Sultan Ibrahim mengirim uang sejumlah $10,000 ke Istanbul untuk membantu biaya perang Turki di Crimea. Penguasa Turki Utsmaniyah membalas pemberian dana itu dengan tanda jasa Mejidie bagi Sultan Aceh.
Sejauh menyangkut sejarah Islam di Nusantara, Kesultanan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Aceh adalah kekuatan pribumi utama di dalam menolak ekspansi kolonialisme Belanda dan menjadi bagian paling akhir dari Indonesia yang ditaklukkan Belanda. Pada 1873, Belanda secara tergesa-gesa menerjunkan diri ke dalam peperangan melawan Aceh. Ia merupakan salah satu perang kolonial paling desktruktif yang pernah dilakukan Belanda di Hindia Belanda yang hampir  menyedot habis ekonomi Hindia Belanda selama sekitar 30 tahun.
Sejarah panjang Aceh sebagai sebuah negara independen, menurut Azyumardi Azra, merupakan sumber kebanggaan mereka yang mampu memotivasi semangat penolakan yang keras terhadap kekuatan kolonial. Terkenal dengan kepenganutan yang kuat pada Islam, rakyat Aceh kelihatannya mengaitkan agama dan patriotisme lebih erat dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya di Indonesia. Karena itu, perang gerilya yang berlangsung lebih dari tiga dekade dipandang sebagai perang suci oleh rakyat Aceh.
Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Dinasti Turki Utsmaniyah tampak unik karena Aceh, secara geografis, sangat jauh dari Turki. Namun, Islam sebagai agama rakyat telah mempersatukan perasaan mereka. Dalam hal apa pun, hubungan itu mengungkapkan kenyataan tentang adanya sentimen kuat kaum Muslimin terhadap “kekhalifahan universal”. Tetapi, kegagalan Dinasti Utsmaniyah mengulurkan bantuan substansial kepada rakyat Aceh, yang tengah berada dalam keadaan bahaya serangan Belanda, menegaskan semakin merosotnya Kesultanan Turki di tengah-tengah tumbuhnya kekejaman Barat terhadap kaum Muslimin di hampir setiap bagian dunia. Gagasan kaum Muslimin mengenai pan-Islamisme dan “kekhalifahan Islam” pada gilirannya dan, pada kenyataannya, tidak lebih dari retorika belaka.
Keberanian dan keteguhan rakyat Aceh mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perjuangan Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan mereka dari kekuasaan kolonial. Penolakan rakyat Aceh telah menjadi sebuah daya dorong yang penting bagi semakin tumbuhnya sentimen kaum nasionalis di Indonesia. Kekalahan Aceh pada dekade kedua abad ke-20 membuat masyarakat Indonesia secara keseluruhan menyadari bahwa mereka tidak akan mampu memperoleh kemerdekaan kecuali jika mempersatukan segenap upaya mereka.

Kesimpulan

            Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Aceh dalam perjalanannya telah menuai kesuksesan yang luar biasa baik di tingkat regional maupun internasional melalui perjuangan tanpa henti.
  2. Keberadaan Aceh sebagai sebuah kerajaan (kesultanan), telah membuka jalan bagi dunia untuk menjalin hubungan diplomtik dan sekaligus kerjasama dalam bidang perdagangan dan politik.
  3. Aceh telah berperan aktif dalam mengusir bangsa Portugis di Selat Malaka. Dalam pengusiran ini tanpa dapat dilupakan peran Turki Utsmani yang amat penting dalam bentuk bantuan dana, senjata, dan militer.
  4. Hubungan Aceh dan Turki telah terjalin semenjak abad ke-15. Secara emosional Turki tetap mengakui bersaudara dengan rakyat Aceh. Bukti persaudaraan ini diwujudkan kembali pasca tsunami di Aceh pada penghujung tahun 2004 lalu.
  5. Hubungan kerjasama dijalin dengan negara Islam dalam bentuk persadaraan  seiman seagama, ukhuwah Islamiyah universal, dan bersatau melawan penjajahan dari golongan kafir. Semangat ini didorong oleh semangat jihad fi sabilillah dan solidaritas khilafah yang mapan dan berwibawa. 
  6. Tanpa menafikan peran penting para pejuang yang lain, Aceh telah memberikan kontribusi besar dalam mempercepat kemerdekaan Indonesia dan menopang eksistensi negara Indonesia pasca kemerdekaan.


Rujukan

Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002.

Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Reid, Anthony, The Contest of  North Sumatra, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1969.

------. The Blood of The People, Kuala Lumpur dan New York:  Oxford University Press, 1979.

Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, Medan: Penerbit Waspada, 1980.

Siegel, James, The Rope of God, Barkeley dan Los Angeles: University of California, 1969.

Sjamsuddin, Nazaruddin, Revolusi di Serambi Mekah, Jakarta: UI-Press, 1999.

Suny, Ismail, Bunga Rampai tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980.

Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani, Jakarta: Kalam Mulia, 1988.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.



* Makalah disampaikan pada seminar dengan tema “Aceh, Nusantara, dan Khilafah Islamiyah”, yang diadakan oleh TIM Cabang Ciputat, BDK HTI UIN, dan IMAPA Cabang Ciputat tanggal 28 Maret 2007 di Meunasah Fatahillah Ciputat. Penulis adalah Dosen IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Alumnus Universitas Leiden, Nederland, peserta program S3 pada Program Pascasarhana UIN Jakarta, dan Direktur Yayasan Shabrun Jamil Jakarta.